Kamis, 29 November 2012

Pahlawan Masa Depan


Pahlawan Masa Depan
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 28 November 2012


Tahun 1945, ketika kaisar Jepang Hirohito harus menerima fakta kalah dalam perang melawan Sekutu dan negerinya hancur, ia bertanya kepada bawahannya, ”Berapa banyak guru masih kita punya?”

Para bawahannya, terutama petinggi militer, keberatan dengan pertanyaan itu, apalagi sudah lebih dari dua juta tentara Jepang gugur membela kehormatan nama Kaisar.

Kaisar menjelaskan, bukannya ia menganggap murah nyawa prajurit atau merendahkan profesi lain, tetapi masa depan Jepang tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer. Jepang akan bangkit dari puing-puing kehancuran dan kembali menjadi bangsa bermartabat dengan jalan pendidikan.

Realisasi visi besar kebangkitan Jepang ternyata jauh lebih cepat daripada perkiraan. Jepang mengalami keajaiban ekonomi dan menjadi salah satu kekuatan teknologi dunia menyaingi Barat. Salah satu pemicu kerusuhan sosial di Indonesia yang dikenal sebagai Peristiwa Malari 1974 adalah protes atas investasi Jepang yang mendominasi perekonomian di Tanah Air, penjajahan modern dalam bentuk ekonomi.

Obyektifikasi Guru

Kita sebenarnya mengakui kepahlawanan guru dalam ”Hymne Guru” yang menjadi lagu wajib nasional sejak 1980. Guru adalah patriot ”pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”. Sayangnya, atribut ”tanpa tanda jasa” hanya membenarkan politik pemerintah untuk mengabaikan kesejahteraan guru. Pahlawan tanpa tanda jasa pun tak dimakamkan di taman makam pahlawan yang tersebar di banyak kota Indonesia.

Meski dipuja sebagai pahlawan, kepahlawanan guru nyatanya tak dihargai. Perannya diakui besar untuk masa depan bangsa, tetapi semua baktinya cukup terukir di dalam hati siswa. Realitas guru tanpa masa depan itu membuat orang muda tak tertarik menjadi guru. Institut keguruan negeri pun kekurangan mahasiswa dan akhirnya mengubah nama menjadi universitas negeri.

Peraturan pemerintah diubah untuk memberikan peluang bagi lulusan sekolah non-perguruan menjadi guru. Profesi guru pun disamakan dengan profesi lain yang bersifat teknis. Padahal, guru adalah profesi yang menyentuh intelek dan jiwa siswa. Menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup, yang membuat Oemar Bakri bertahan di jalan pengabdian dengan hidup sederhana.

Perlakuan sebagai kaum terpinggirkan membuat guru negeri kerap menjadi obyek politisasi saat pemilihan umum. Suara mereka diarahkan kepada satu kandidat tertentu. Seusai pilkada, biasa terjadi mutasi dan pegawai negeri yang tak termasuk gerbong penguasa digurukan. Murid pun dididik oleh orang yang tak memiliki ilmu pendidikan dan panggilan sebagai guru.

Untuk mengakhiri jalan panjang derita guru, lirik ”Hymne Guru” sedikit diubah atas persetujuan penggubahnya menjadi ”pahlawan pembangun insan cendikia”. Surat edaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia pada 27 November 2007 mengukuhkan perubahan paradigma kepahlawanan guru sebagai ”tonggak pembangun dari sebuah bangsa”.

Balada guru di Indonesia masih ditambah lagi dengan penyunatan gaji yang tidak seberapa, baik resmi oleh birokrasi ataupun pungutan liar oleh oknum birokrasi. Birokrasi haus pungutan menjadikan guru sebagai obyek apakah itu atas nama sertifikasi portofolio, uji kompetensi guru, pendidikan dan pelatihan profesi guru, atau penelitian tindakan kelas.

Persoalan kompetensi guru menjadi urusan teknis belaka. Pendidikan pun berarti proyek. Proyek berarti uang. Uang berarti peluang untuk korupsi. Begitu logika korupsi di Indonesia. Tidak adanya tindakan tegas dari instansi terkait untuk praktik pungli yang membebani guru membuktikan bahwa korupsi sungguh terstruktur sampai ke atas.

Kebangkitan Bangsa

Heroisme guru tak bisa dipisahkan dari kebanggaan tertingginya untuk berbagi ilmu dan memimpikan siswa kelak jadi orang berguna. Kehadiran guru di kelas seharusnya menyentuh aspek kognitif dan kesadaran siswa. Siswa disadarkan akan masa depannya dan harkatnya sebagai insan bermartabat. Kesadaran eksistensial itu bertentangan dengan tawuran, plagiarisme, dan konsumtivisme. Mereka suka dan sibuk belajar, memiliki cita-cita untuk berkarya.

Dalam rangka mempersiapkan generasi emas 100 tahun kemerdekaan, Indonesia memiliki periode bonus demografi dengan usia produktif. Jumlah penduduk Indonesia di antara usia anak dan orang tua adalah tertinggi selama periode tahun 2010-2035.

Kesempatan emas seperti itu belum tentu akan berulang untuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk usia muda Indonesia tahun 2010 lebih banyak daripada usia tua.

Sayangnya, pada saat yang sama posisi indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2011 melorot ke posisi 124 dari 179 negara, dari posisi ke-108 (tahun 2010 dan 2008) dan ke-111 (2009). Sebagian persoalan melorotnya kualitas sumber daya manusia Indonesia tentu tidak lepas dari kerja birokrasi pemerintah yang justru memadamkan kepahlawanan guru. Darurat kepahlawanan guru itulah yang memunculkan Gerakan Indonesia Mengajar.

Masih cukup banyak kaum muda terdidik Indonesia yang untuk suatu masa yang singkat mau mengabdi di tempat terpencil.

Gerakan yang tak terkontaminasi birokrasi pemerintah itu seharusnya menyadarkan presiden dan parlemen bahwa dunia pendidikan adalah kunci masa depan Indonesia. Namun, gerakan idealis seperti itu bukan solusi jangka panjang kemerosotan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Hari Pahlawan hendaknya bukan hanya berorientasi ke masa lalu dengan menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur. Lebih penting lagi, Indonesia yang untuknya para pahlawan telah gugur adalah sebuah cita-cita yang masih harus diwujudkan.

Untuk itu, kembalikan martabat profesi guru yang Hari Nasional Guru juga jatuh pada bulan November. Kembalikan peran strategis guru ke dalam politik bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Membahagiakan guru adalah prasyarat bangsa yang bahagia. Jika guru berkualitas tidak diproduksi secara massal, Indonesia akan menyia-nyiakan kesempatan emas bonus demografi itu.

Sebagaimana Jepang sudah lama bangkit, Indonesia masih belum terlambat untuk menjadikan guru sebagai kunci kebangkitan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar