Selasa, 27 November 2012

Perbaiki Kualitas Demokrasi


Diskusi Kompas “Membedah RUU Pemda”
Perbaiki Kualitas Demokrasi
KOMPAS, 27 November 2012


Usulan pemerintah untuk mengubah sistem pemilihan umum kepala daerah, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih tidak langsung lewat DPRD, dinilai tidak akan menyelesaikan permasalahan yang menjadi dasar pemerintah mengusulkan perubahan tersebut. Justru bisa jadi menimbulkan masalah baru.

Paling tidak, pilkada secara tidak langsung lewat DPRD sebagaimana diusulkan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang merupakan bagian dari revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak akan menyelesaikan masalah besarnya, yaitu biaya politik pilkada. Biaya politik inilah yang menjadi sumber masalah banyaknya kepala daerah terjerat kasus hukum, terutama korupsi. Di tengah kondisi buruknya kinerja partai politik saat ini, sulit rasanya memercayakan pilkada kepada DPRD.

Cara tersebut dinilai hanya akan mengembalikan ”politik dagang sapi” secara eksklusif antara anggota-anggota DPRD atau partai politik dan para calon kepala daerah. Dengan asumsi anggota DPRD ”memasang tarif” Rp 1 miliar per anggota, jika dibutuhkan 30 suara untuk terpilih, calon kepala daerah harus menyediakan dana sebesar Rp 30 miliar untuk anggota DPRD saja. Belum lagi biaya-biaya lainnya, seperti untuk membeli kendaraan politik.

Sistem Baru

Besarnya biaya tersebut mungkin tak akan beda jauh dengan biaya pilkada secara langsung selama ini yang disebut setiap calon paling tidak harus menyediakan Rp 60 miliar agar dapat terpilih. Uang tersebut untuk membeli kendaraan politik/dukungan partai politik, pengadaan alat peraga kampanye, biaya tim sukses, honor saksi di tempat pemungutan suara, dan bantuan untuk masyarakat atau lembaga sosial.

Dengan perhitungan gaji gubernur sekitar Rp 8,6 juta per bulan atau Rp 516 juta selama lima tahun, ditambah pendapatan upah pungut yang sekitar Rp 34 juta-Rp 90 juta per bulan atau Rp 2,04 miliar-Rp 5,4 miliar selama lima tahun, tidak akan cukup untuk menutup modal saat mencalonkan diri tersebut, baik dalam pemilihan secara langsung maupun tidak langsung.

Hal ini tak akan dapat mengatasi masalah banyaknya kepala daerah yang bermasalah secara hukum, terutama korupsi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dari 863 pasangan kepala daerah yang terpilih secara langsung dari tahun 2005 hingga November 2012, sebanyak 280 orang atau 16,2 persen di antaranya terjerat masalah hukum, terutama korupsi (83 persen).

Mungkin sistem baru yang ditawarkan pemerintah dalam RUU Pilkada, dengan pilkada secara langsung menggunakan sistem monoeksekutif, yaitu hanya memilih gubernur, akan mencegah masalah ”pecah kongsi” yang terjadi pada hampir semua pasangan kepala daerah saat ini (sekitar 97 persen dari 863 pasangan kepala daerah).

Namun, masalah baru bisa saja timbul, yaitu memecah belah birokrasi karena kepala daerah akan memilih wakilnya dari kalangan birokrat. Sistem pemilihan monoeksekutif tersebut juga diusulkan diterapkan dalam pemilihan wali kota meski dalam hal ini wali kota tetap dipilih secara langsung.

Semangat RUU Pilkada untuk memperbaiki sistem pilkada, termasuk penyalahgunaan anggaran oleh petahana (incumbent) dan mencegah maraknya ”politik dinasti” selama ini, memang patut diapresiasi. Namun, jangan sampai upaya perbaikan tersebut justru menyebabkan kemunduran demokrasi karena menempatkan masyarakat yang selama ini berperan menentukan pemimpinnya hanya sebagai ”penonton”.

Demokrasi dalam pilkada selama ini memang mahal. Namun, bukan berarti untuk mengatasinya dengan menghilangkan hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Pilkada langsung merupakan sistem terbaik saat ini di tengah segala kekurangannya. Sistem ini merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkret dari demokrasi di daerah.

Praktik politik uang yang marak terjadi dalam pilkada dan tumbuh suburnya politik dinasti yang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi bukan alasan tepat untuk mengubah sistem pilkada. Mengembalikan pilkada kepada DPRD sama saja dengan lari dari masalah dan hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lainnya, misalnya, politik uang akan berpindah dari antara calon dengan rakyat ke calon dengan anggota DPRD.

Praktik-praktik semacam itu harus diatasi dengan cara memperbaiki kualitas demokrasi dan menumbuhkan semangat birokrasi yang sehat. Dan, ini perlu terus diupayakan oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa Indonesia secara bersama-sama dan saling melengkapi.

Upaya yang bisa dilakukan, misalnya, dengan menyederhanakan tata cara pemilihan, terutama dalam tata cara dan sistem kampanye. Untuk menghemat biaya kampanye yang selama ini besar, misalnya, dapat dilakukan dengan cara pemerintah memfasilitasi kampanye melalui media elektronik. Selain itu, kampanye juga tidak perlu mengerahkan massa pemasangan atribut kampanye, seperti spanduk, di tempat-tempat umum.

Satu hal penting yang harus dilakukan adalah pendidikan politik kepada masyarakat yang juga menjadi tanggung jawab pemerintah, partai politik, dan termasuk media. Partai politik juga harus membenahi diri, terutama dalam sistem perekrutan dan pengaderan, agar juga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar