Rabu, 28 November 2012

Perut Republik


Perut Republik
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 27 November 2012


Ketika menerima proposal renovasi masjid di lingkungan tempat tinggal, saya tersenyum. Bukan apa-apa, nama saya langsung menduduki posisi penting, yaitu sebagai ketua pelaksana dan koordinator pengumpulan dana sekaligus. Jadi, mohon dimaklumi apabila suatu saat saya mohon bantuan.

Di ranah religiositas, posisi tidak diperebutkan. Orang tahu diri, termasuk kalau harus menjadi imam sembahyang. Sebaliknya, di ranah politik, posisi eksekutif dan legislatif diperebutkan. Para politisi, terutama petualang politik, berani melakukan apa saja. Main politik uang, pencitraan, intimidasi, bahkan fitnah. Itulah sebagian dari isi perut demokrasi kita.

Dalam perspektif politik, ilustrasi yang pas untuk melihat praksis politik Indonesia sekarang adalah realitas sumber daya energi kita. Tidak mengherankan jika Moeslim Abdurrahman (almarhum) pernah berkata kepada penulis bahwa siapa yang bisa menguasai perut bumi, sejatinya dia menguasai Republik.

Pemilik Perut Bumi

Kang Moeslim benar. Mencermati figur-figur yang berani menyatakan siap maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2014, tampak bagi saya, mereka adalah para pemilik perut bumi. Mereka memiliki, setidaknya berkaitan dengan, usaha minyak dan gas bumi. Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, dan Prabowo Subianto, untuk menyebut beberapa nama, lekat dengan dunia itu.

Munculnya nama-nama penguasa perut bumi tersebut mempertegas persepsi publik bahwa kontestasi politik itu mahal. Ini terkait dengan citra yang berkembang selama ini bahwa bisnis minyak bergelimang uang. Hanya tokoh yang mampu menghidupi partai, mengongkosi kampanye, dan membeli partai lain untuk berkoalisi yang kuat bertahan.

Akibatnya, seperti kondisi obyektif cadangan energi fosil kita yang tinggal 4 miliar barrel minyak bumi, 104 triliun kaki kubik (TCF) gas, dan 21 miliar ton batubara, stok kepemimpinan nasional dari sumber primer, yaitu partai politik, juga sangat terbatas. Dengan istilah lain, sejatinya kita mengalami kemiskinan berlapis, yaitu miskin energi dan pemimpin dengan karakter negarawan.

Sehubungan dengan hal itu, omong besar kita tentang demokrasi yang telah terkonsolidasi dan posisi Indonesia sebagai negara demokratis nomor tiga terbesar di dunia tak ubahnya dengan ilusi kita tentang kekayaan energi fosil yang masih kita miliki. Kenyataannya, praktik demokrasi di Tanah Air sampai sekarang masih kuat tarikan proseduralnya ketimbang substansinya. Jika situasi demokrasi mengambang ini berlanjut, alih-alih menjadi tenteram, masyarakat menjadi terpinggirkan dan hidup tidak tenang.

Sementara itu, keraguan pemerintah menyetop subsidi bahan bakar minyak tak ubahnya seperti ketakutan elite parpol membunuh praktik oligarki dan paternalistik dalam dirinya. Akibatnya, secara prediktif bisa dikalkulasi, pembangunan nasional akan terus merosot dan kemiskinan meluas. Ini mirip dengan kondisi parpol yang gagal menjadi penyalur aspirasi rakyat akibat keengganan elitenya melakukan kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan.

Karakter jumud parpol itulah—apalagi kalau ditambah dengan kecenderungannya yang mudah lupa terhadap perjuangan ideologisnya—yang menjadi penyebab utama miskinnya pilihan figur untuk menjadi kandidat presiden pada pemilu nanti. Dalam konteks ini, masyarakat dipaksa untuk menengok, bahkan menerima, siapa pun tokoh yang disodorkan parpol, termasuk kalau itu adalah sandal jepit.

Padahal, secara obyektif, ibarat melimpahnya kandungan energi alternatif di perut Ibu Pertiwi, khususnya geotermal yang potensinya mencapai 29.000 megawatt (setara dengan 1,1 juta barrel ekuivalen minyak per hari atau barrels of oil equivalent per day), bangsa ini sebenarnya sangat kaya dengan tokoh alternatif. Mereka mempunyai integritas, kapabilitas, dan elektabilitas. Seandainya variabel terakhir tersebut (elektabilitas) belum mencukupi, adalah tugas bersama untuk mengibarkan dan memperkenalkan tokoh ”baru” itu kepada publik.

Apabila ia tidak mempunyai dana, adalah tugas masyarakat sipil untuk menggalang solidaritas dalam bentuk kerja lapangan, pengumpulan koin, bahkan lelang domba! Semua ini untuk mengurangi dominasi para pemilik perut bumi dalam kontestasi politik 2014. Secara hipotesis, apabila tekanan publik tinggi dan tokoh tersebut berkarakter kuat, berintegritas, dan mempunyai kapabilitas, kuat dugaan akan ada parpol yang mau mengusung.

Isi Perut

Praktik oligarki dan paternalistik di tubuh parpol, besarnya dana yang diperlukan dalam kontestasi politik, serta absennya kesadaran para politisi bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi, membuat perilaku korup politisi susah dibendung.

Kenyataan itu menjadi lebih buruk karena rumah civil society yang seharusnya menjadi tempat persemaian kader transformatif kini sudah kosong. Tidak ada lagi darah segar yang bisa dipersiapkan untuk memanggul perbuatan cinta kasih (al-ma’un). Sementara itu, rumah kebangsaan dengan segala kemuliaannya acap digoyang kekerasan atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Itulah isi perut Republik. Begitu kotor tak ubahnya perut bumi. Tak heran jika Kang Moeslim percaya bahwa siapa yang bisa menguasai perut bumi, sejatinya dia menguasai Republik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar