Rabu, 28 November 2012

Teladan Konsistensi Nalar Sokrates


Teladan Konsistensi Nalar Sokrates
Asep Salahudin ; Dekan IAILM Suryalaya
MEDIA INDONESIA, 28 November 2012


SEPERTI banyak ditulis dalam traktat filsafat, Socrates ialah seorang filsuf yang pernah menjadi terdakwa dari sebuah dakwaan yang absurd. Itu terjadi di 399 SM. Ia dituduh telah meracuni kaum muda dengan pemikirannya yang liberal, antikemapanan, dan selalu mempertanyakan ihwal yang dianggap kebenaran. 

Kedua, Socrates dianggap telah melecehkan agama karena menolak melakukan upacara dogmatis terhadap dewa di Yunani, mempersoalkan iman yang telah dikukuhi masyarakat Athena tentang dewa-dewa di Kahyangan sekaligus dituduh menodai kesakralan keyakinan karena mempersoalkan teks agama yang telah baku.

Dua tuduhan itu tentu sangat serius karena dianggap bisa meruntuhkan wibawa status quo baik yang berkaitan dengan wibawa agama ataupun karisma negara. Apabila tidak dihentikan, nalar Socrates bisa menjadi wabah yang meracuni kaum muda dan masyarakat Athena. Itu artinya pada suatu saat akan menjadi energi dahsyat yang bisa merobohkan pranata sosial dan sistem keyakinan yang tertutup.

Socrates bukanlah terdakwa yang cengeng. Dia datang ke majelis pengadilan dengan wajah tengadah karena sejak awal merasa tidak pernah bersalah.
Tidak ada pembela. Yang menjadi penuntutnya simpul dari tiga pilar kekuatan. 

Pertama Anytus (politikus demokratik di kota itu). Kedua, Meletus (penyair dengan kepandaian mengolah logika dan menangkap makna kata), dan ketiga Lykon (pakar retorika yang kata-katanya bisa meyakinkan khalayak).

Yang terjadi berbeda dengan para terdakwa di negara kita, apalagi terdakwa korupsi yang menjadikan pengadilan sebagai panggung berkelit dan bersilat lidah, menjadi arena untuk mempertontonkan kedunguannya dengan terusmenerus memproduksi dusta dan memperlihatkan penyakit amnesia seperti dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

Socrates tidak. Justru pengadilan dijadikan medan untuk mempertaruhkan kebenaran dan membuktikan prinsip yang diyakininya. Pengadilan pun dalam sekejap jadi ruang ceramah filosofis mencerahkan sang terdakwa yang ditengarai sang Apollo sebagai manusia terpandai dan hadiah para dewa untuk Athena.

Argumen Socrates benar-benar dijangkarkan dalam dialektika nalar yang kukuh, logika yang runtut, dan akal budi yang ajek. Tidak sekadar membantah, tetapi juga sekaligus menawarkan letak kesalahan para penuntutnya. Bukan apologia agar dianggap benar, melainkan spirit logika menunjukkan makna kebenaran yang autentik.

Pembelaan yang dilakukannya bukan sebagai pembenaran, melainkan cermin untuk meneguhkan reputasi kebenaran dan kejujuran yang harus dijunjung tinggi oleh siapa pun. Kebenaran dan kejujuran sebagai kebajikan utama dari keseluruhan konstruksi moralitas kebudayaan manusia. Mengingatkan saya pada sabda sang Nabi, “Kejujuran pintu kepada kebenaran dan kebenaran awal dari tergelarnya keadaban publik.“ Dia berdebat dengan tiga prosecutor dengan sangat meyakinkan sekaligus mematahkan seluruh dakwaan yang sangat tidak berdasar.

Tentu kuasa berbicara dengan logikanya sendiri. Sejak awal telah dipersiapkan strategi untuk membungkam terdakwa, rekayasa. Ujung cerita dari pengadilan itu dapat diterka kemana muaranya.

Socrates sadar bahwa ia tengah berbicara dengan `tembok' kekuasaan yang tuli, dan dengan massa yang telah terprovokasi. Socrates semakin tersudutkan. Namun, dia tetap tidak mau berkompromi. Negosiasi untuk mengatur perkara ditampik. Kesempatan untuk memengaruhi jaksa dan hakim dengan cara disogok tidak diterimanya. Ditolak juga tawaran para muridnya yang dapat membantunya kabur ke `luar negeri' dengan cara menyumpal para penjaga.

Socrates lebih terpikat memilih bersama kebenaran dan keyakinannya. Kematian bahkan dianggap sebagai ruang untuk meneruskan renungan renungan filosofisnya. Katanya, “Orang mesti ikhlas menerima kematian. Di seberang kematian ada kehidupan yang lebih indah dan ramah. Setelah mati pertanyaan-pertanyaan filsafat itu akan aku lanjutkan walaupun tidak akan pernah menemukan jawaban.“

Kemudian dia sampaikan juga, “Tidak ada yang harus disesali. Sebuah kematian yang saya hadapi demi menyambut fajar kehidupan yang lebih indah bagi generasi masa depan, bagi kaum muda yang suatu saat akan larut atu saat akan larut dalam nalar filosofis yang mencerahkan seperti yang kuajarkan! Untuk dicatat bahwa pernah ada manusia yang tidak mau larut dalam keadaan; menjadi limbo sejarah logika yang kacau, dari massa yang tidak memiliki pendirian kecuali sekadar mengikuti sabda sang raja.“

Socrates sangat bertanggung jawab dengan pilihannya, diambillah salah satu cawan dari tiga cawan yang diserahkannya. Cawan yang dipilihnya tak lain racun. Diteguknya dengan tenang. Tidak berkelit, apalagi mundur. Bukankah sedari awal dia sudah berujar bahwa hukum harus dipatuhi walaupun hakim yang menjatuhkannya keliru.

Penuh Pesona

Dahsyat. Itulah kesan saya ketika membaca fragmen-fragmen kehidupan Socrates. Itu pula yang kemudian menyebabkan filsuf eksistensial Denmark Soren Keargaard di kemudian hari menahbiskan Socrates sebagai contoh manusia yang telah sampai pada maqom etis. Sosok yang telah berhasil menjadi `manusia' sempurna karena hidupnya berbanding lurus dengan etika, prinsip dasarnya tidak pernah dibarterkan dengan kuasa, benda, dan kepentingan diri. 

Satu level di bawah manusia religius serupa Ibrahim yang mencapai keutamaan dengan cara `lompatan iman'; seluruh miliknya dipertaruhkan termasuk anak yang dicintainya atas nama Tuhan (kebenaran dengan K besar). Yang paling rendah tentu, dalam tipologi Keargaard, ialah manusia estetis yang hidupnya berporos untuk menghamba kan diri pada kepentingan sesaat, keserakahan, dan kebendaan.

Socrates sesungguhnya tengah menyampaikan pidato etik yang sangat relevan dalam konteks kebangsaan. Relevansinya justru ketika hukum dan politik hari ini tidak meresapkan rasa keadilan yang merata. Politik tidak membawa keberkahan bagi khalayak kecuali hanya kegaduhan yang berujung pada uang, transaksi, dan atraksi berebut jabatan dan mencuri anggaran.

Pengadilan menjadi panggung yang dengan sangat sempurna memerankan dramaturgi kejujuran dan kebenaran yang terus mengalami defisit. Tentu pada saat yang sama ialah surplus arogansi, dusta, dan rekayasa.

Itulah yang menjadi alasan utama mengapa koruptor tidak pernah jera. Korupsi terus menampakkan grafik menaik. Kasus mafia anggaran, Wisma Atlet, mafia pajak, pengemplangan BUMN, titipan pejabat di setiap kementerian sebagai sapi perah partai, dan lain sebagainya semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya kita tengah menerapkan sistem kleptokrasi. Korupsi dilakukan secara berjemaah, sistemis, dan terorganisasi.

Di titik ini rakyat yang tempo hari direpresentasikan Deddy Sugardi dengan geram membacok seorang mantan jaksa korup di Kejaksaan Tinggi Cibinong Bogor, Sistoyo, karena melihat justru pengadilan yang seharusnya menjadi pilar utama tegaknya keadilan malah menjadi bagian dari lembaga korup.

Alhasil, Socrates menjadi sebuah terdakwa yang sangat panas pada masanya. Kita menunggu terdakwa-terdakwa (dan calon terdakwa) dengan tegap mengikuti langkah Socrates. `Meminum racun' untuk membuktikan kebenarannya. Bukan sekadar pernyataan siap digantung di Monas, sumpah pocong, dan lain sebagainya yang sekadar retorika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar