Kamis, 29 November 2012

Teradang Persoalan Migas Hilir


Teradang Persoalan Migas Hilir
Rusli Abdullah ; Peneliti dari Institute for Economics Research and Social Studies (Interess) Semarang, Mahasiswa Beasiswa Unggulan Kemendikbud pada Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip
SUARA MERDEKA, 28 November 2012


PEMBUBARAN Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tidak lantas membuat persoalan pengelolaan energi gas dan minyak bumi di Indonesia menjadi lebih baik. Terlebih persoalan kini tereskalasi ancaman kelangkaan BBM di berbagai daerah. Dilema rencana penambahan kuota bahan bakar membawa konsekuensi pada penambahan subsisi yang diprediksi menembus Rp 100 triliun.

Keputusan terkait dengan pembubaran BP Migas sebenarnya baru ’’menyelesaikan’’ persoalan pengelolaan energi di sektor hulu. Padahal, kini kita bisa melihat bahwa pengelolaan energi mencakup permasalahan di sektor hilir, yang ternyata tidak kalah penting. BP Migas yang berperan dalam pengelolaan energi di sektor hulu memiliki wewenang luas. Wewenang badan pelaksana tersebut antara lain membina kerja sama, mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara, dan berkoordinasi dengan pihak/ instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu.

Menentang Konstitusi

Peran BP Migas yang super power di sektor hulu tersebut dinilai menghambat pelaksanaan amanat UUD 1945, terutama Pasal 33 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan lain yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keberadaan BP Migas sebagai representasi sektor hulu pengelolaan migas berperan dalam penguatan pola unbundling. Pola itu memisahkan antara kegiatan hulu dan hilir pengelolaan. Pola ini banyak ditengarai memecah-belah industri migas nasional.

Salah satu ’’hasil’’ dari pola itu adalah penjualan gas Tangguh ke China pada 2002, dengan harga murah. Di sisi lain kebutuhan pasokan gas di dalam negeri cukup besar. Akibat penjualan gas di lapangan ke China, Indonesia kekurangan pasokan gas untuk industri dan pembangkit PLN.

Dampak lanjutan di dalam negeri adalah daya saing industri menjadi rendah karena harus memakai bahan bakar nongas yang harganya lebih mahal. Dampak bagi PLN sudah terbukti. Pembangkit yang seharusnya dijalankan dengan gas terpaksa dioperasikan dengan minyak, yang membuat ongkos produksi menjadi lebih mahal. Hasilnya, efisiensi gagal dilakukan mengingat tak ada ketercukupan pasokan gas untuk pembangkit PLN.

Seperti diketahui, harga gas Tangguh sesuai perjanjian kontrak karya dengan China berkisar pada 3,35 dolar AS per million metric British thermal units (MMBTU), sedangkan harga jual gas dari kilang Bontang 15 dolar AS, sementara harga domestik gas berkisar pada harga 5 dolar AS.

Sebenarnya sektor hilir juga menjadi bagian penting dalam pengelolaan migas di Indonesia. Sektor ini berujung pada kegiatan konsumsi yang menjadi penentu berapa besaran minyak dan gas yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Tak hanya itu, sektor hilir juga menjadi penentu seberapa besar anggaran negara untuk menyubsidi minyak dan gas.

Pengelolaan migas di sektor hilir yang saat ini belum optimal ditandai dengan makin membengkaknya subsidi BBM dan listrik, menjadikan ruang gerak fiskal pemerintah terbatas. Akibatnya, pemerintah tak bisa leluasa membelanjakan anggaran untuk program yang lebih efektif, seperti infrastruktur.

Akibat kebelumefektifan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, anggaran subsidi dalam APBN-P 2012 pun membengkak. Subsidi BBM dalam APBN-P 2012, dialokasikan Rp 137,4 triliun, namun realisasi hingga akhir tahun diperkirakan membengkak hingga Rp 216,8 triliun, atau masih kurang Rp 79,4 triliun. Hal ini karena ada penambahan kuota BBM bersubsidi yang diperkirakan 43,5 juta kiloliter hingga akhir tahun, atau perlu penambahan 3,5 juta kiloliter dari kuota yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. (SM,15/10/12).

Adapun untuk subsidi listrik, mengalami kekurangan hingga akhir tahun ini. Semula dalam APBN-P 2012 subsidi listrik dipatok sebesar Rp 64,97 triliun namun diperkirakan melonjak hingga Rp 89,1 triliun, atau masih kurang Rp 24,1 triliun (SM,15/10/12). Dua Sektor Sektor hulu dan hilir pengelolaan migas di Indonesia sama-sama memiliki perspektif jangka pendek dan panjang.

Pada sektor hulu, keputusan pembubaran BP Migas merupakan perspektif jangka pendek yang berdampak pada perspektif jangka panjang pengelolaan migas nasional. Dalam jangka panjang, seiring berakhirnya kontrak karya beberapa kontraktor, peran negara bisa lebih berdaulat dalam pengelolaan migas.

Pada sektor hilir, besar subsidi BBM dalam APBN harus menjadi sesuatu yang dipertimbangkan. Bukan dengan penghapusan total subsidi BBM melainkan dengan menjadikan subsidi tersebut lebih tepat sasaran.

Dalam jangka panjang, diversifikasi energi ke energi non-fuel harus benar-benar menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Jika tidak, pada masa mendatang Indonesia menjadi negara yang memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap negara lain mengingat cadangan minyak kita akan habis dalam 10 tahun lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar