Kamis, 29 November 2012

Topeng-Topeng Kekuasaan


Topeng-Topeng Kekuasaan
L Murbandono Hs ; Peminat dan Pengamat Peradaban, Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 28 November 2012


NEGARA kita hari-hari ini disandera tiga dagelan. Pertama; sejumlah individu bermasalah mengibar-ngibarkan diri sebagai tokoh di panggung politik, didukung aneka entitas bertopeng warna-warni. Kedua; para koruptor kakap makin pandai berkilah dan makin hebat berkongkalikong dengan banyak pihak hingga makin sulit diseret ke penjara. Ketiga; di arena drama nasional konflik penjahat lawan bandit dalam perebutan uang dan kuasa terus terjadi, dimanipulasi seolah-olah menjadi konflik si baik lawan si jahat, manakala tidak ada tokoh protagonis di dalamnya.

Tiga dagelan itu mulai bergulir sejak Soeharto lengser dan makin seru pada hari-hari ini. Maka lahirlah tiga malapetaka. Pertama; nalar sehat digiring menjadi lumpuh. Kedua; sikap pikir rakyat dibuat macet hingga hanya mampu menonton perang topeng tanpa bangkit kesadaran untuk membuka topeng-topeng itu. 

Ketiga; rakyat terus-menerus dimanipulasi, lelah terperangkap dalam banyak isu tetek-bengek, dan tak bisa fokus menghadapi soal-soal mendasar kenegaraan.
Artinya, negara kita saat ini terpuruk dalam tragedi karena kelengahan dan kebodohan kita sendiri. Kita lengah sehingga taktik tatanan kekuasaan berhasil mengecoh seluruh sektor kehidupan. Kita bodoh sehingga manipulasi media mengecoh publik hingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi ruwet.
Artinya, siapa saja bisa melakukan apa saja menuju peradaban yang makin tidak bermutu. Jadi, jangan lagi lengah dan jangan membiarkan diri tetap bodoh. Kita harus lebih waspada pada manipulasi tatanan kekuasaan dan mempercerdas diri menghadapi manipulasi media. Ini sukar sekali tapi harus dilakukan. Syarat utama pelaksanaannya adalah terus-menerus fokus pada persoalan-persoalan mendasar sesungguhnya yang memanipulasi negara kita.

Kegagalan Reformasi

Salah satu persoalan dasar yang harus terus dipersoalkan adalah kegagalan reformasi. Di atas kertas Orba sudah tercoret tetapi dalam praktik tidak diikuti sikap pikir sospolekbudhankam yang tepat sehingga kelengseran Soeharto tidak menghasilkan tatanan kekuasaan reformis. Dengan tambal-sumbal sana sini, bagian-bagian kinerja semua pemerintahan setelah Soeharto pada hakikatnya meneruskan peradaban Orba dalam sosio budaya, ekonomi, dan politik.

Fenomena-fenomenanya amat banyak yang intinya: tatanan kekuasaan memberi peluang kiprah apa saja bagi tokoh-tokoh Orba, klik-klik dan seluruh ikutannya yang dalam logika reformasi mestinya masuk bui. Itu terjadi sebab para reformator secara bertahap dicaplok mereka yang mestinya direformasi.

Transisi menuju tatanan demokratis dari tatanan otoriter tidak pernah lewat jembatan transisi, padahal itu prinsip suatu reformasi. Jembatan transisi yang mutlak itu tak pernah ada sehingga “gelembung-gelembung jahat jasad rahwana” Orba bisa kiprah mengobrak-abrik segala unsur reformasi. Reformasi yang intinya melakukan perubahan struktural tatanan kekuasaan, tidak bisa terjadi. 

Maka kapitalisme vulgar, neofeodalisme, koncoisme, kongkalikongisme, slintutanisme, dan premanisme yang menjadi watak Orba selama 32 tahun itu tetap awet, dilanjutkan para penguasa sekarang dalam bentuk-bentuk lain dan topeng-topeng halus dengan ditopang retorika muluk-muluk demi rakyat.

Karena itu, refleksi politis yang mendasar tentang inti reformasi menjadi mutlak, misalnya refleksi berikut: jika PPP dan PDIP semasa Orba tak lebih adalah Golkar jilid I dan II, apakah semua partai saat ini, yang bisa lulus berkibar-kibar dalam arena perebutan kekuasaan setelah melewati saringan “aturan main”, adalah berbagai jilid goltah (golongan entah)?

Ultra Kanan

Goltah adalah individu-individu, agen, sindikat dan sejenisnya yang membebek jadi budak ideologi “ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme global” yang harus ditolak. Mengapa? Sebab ia bertentangan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila) yang telah dijabarkan Bung Karno dalam sosialisme ala Indonesia, yakni sistem sosialis yang memberi tempat pada “kapitalisme rakyat”.

Maka seluruh rakyat Indonesia hendaknya bersatu melawan ’’golongan entah’’ sebagai musuh bersama. Ideologi “ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme global” harus dilawan sebab itu jenis kapitalisme paling kasar yang mendewakan kapital atau uang di atas segalanya. Ia tidak peduli pada semua jenis moral kerakyatan.

Dengan mengutamakan akumulasi keuntungan demi pemupukan modal, ia tergantung dari kontrol absolut para pemilik modal besar. Maka para kapitalis menjadi penentu apa saja, termasuk mendikte beleid pemerintah sehingga selalu hanya menguntungkan kaum kaya ketimbang demi kesejahteraan rakyat luas. Ia menjajah pasar, merusak etika pasar, tidak memungkinkan persaingan yang adil di antara seluruh pelaku pasar ekonomi rakyat. Ia juga tidak mungkin menjadi malaikat bagi kaum buruh yang tetes keringatnya dalam proses produksi tidak pernah dihitung sebagai bagian intrinsik modal selain sebagai sekrup industri.

Terpenting, “ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme global” adalah ideologi jahat (untuk mengetahui kejahatannya generasi muda harus tekun mempelajari sejarah dunia kiri dan sejarah dunia kanan secara seimbang) yang akan terus memantapkan eksistensinya. Maka ia masuk politik dan di negara kita terus mempoduksi topeng-topeng kekuasan yang merusak demokrasi rakyat.

Untuk menjadi lurah, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden, kita harus didukung para kapitalis; dari lurah sampai presiden, siapa di negara kita saat ini yang bisa terpilih tanpa uang? Berapa anggota DPRD, DPD, dan DPR yang berhasil menduduki posnya tanpa dukungan uang? Bendera partai-partai apa di Indonesia yang bisa berkibar-kibar tanpa dukungan uang? Kapan topeng-topeng itu dibuka sehingga tampak wajah sebenarnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar