Senin, 31 Desember 2012

Catatan Pendidikan 2012


Catatan Pendidikan 2012
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



DUNIA pendidikan kita masih tampak buram sepanjang 2012. Baik capaian di bidang akademis maupun nonakademis. Yang paling menonjol ialah data terbaru dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Studies) dan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Studies). Kemampuan para siswa kita di bidang matematika dan sains terus turun, bahkan di lingkungan Asia Tenggara.

Rata-rata matematika siswa kelas VIII di Indonesia hanya 386 dan menempati urutan ke38 dari 42 negara. Hasil sains tak kalah mengecewakan. Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains siswa kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan.

Di bidang literasi, posisi Indonesia juga masih memprihatinkan meskipun sedikit mengalami kenaikan. Siswa kelas IV Indonesia berada di urutan ke42 dari 45 negara dengan nilai rata-rata 428. Di bawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko. Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tecermin dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata.

Masih terkait dengan capaian di bidang akademis, kecurangan dalam ujian nasional (UN) juga masih menandai lemahnya sistem evaluasi pendidikan kita. Jika dikaitkan dengan capaian di bidang nonakademis seperti berfungsi dan tidaknya pendidikan karakter, situasinya mungkin bisa dibilang lebih parah. Hal itu bisa dilihat dari maraknya kasus kekerasan di sekolah, baik yang bersifat individual maupun kelembagaan.

Di Jabodetabek saja sepanjang 2012 tawuran pelajar telah menewaskan 17 pelajar. Jumlah itu sangat besar karena mereka ialah para siswa yang notabene ialah pelajar yang tidak seharusnya melakukan tawuran.

Belum lagi kasus-kasus terungkapnya lembar kerja siswa (LKS) yang memasukkan gambar bintang porno Jepang, Miyabi, serta cerita tentang poligami yang juga masuk praktik belajar-mengajar di sekolah. Buku ajar berbahan dasar bahasa daerah bahkan juga tak luput dari minimnya sensitivitas para pendidik kita dalam memilih bahan ajar.

Buku ajar Bahasa Jawa SD terbitan CV Sindunata, misalnya, memuat cerita berjudul Resepe Simbah yang memuat percakapan seorang pemuda bernama Glendhoh dengan seorang kakek bernama Klithuk.

Pemuda itu bertanya tentang cara agar awet muda. Sang kakek lalu menjawab, caranya dengan nyimeng (mengonsumsi ganja), ngombe rong gendul (minum minuman keras dua botol), dan merokok sebanyak dua bungkus dalam sehari (Tempo.co, 12 November 2012).

Masih banyak lagi potret buram pendidikan, yang kesemuanya harus diselesaikan dalam satu tarikan napas yang bernama sistem pendidikan.
Jika sistem harus diterjemahkan ke dalam bentuk petunjuk operasional, konsep pengembangan kurikulum ialah salah satu solusinya. Karena itu, rencana pemerintah mengganti orientasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan kembali lagi kepada pola lama, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dengan titik tekan pada pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan perlu didukung semua pihak secara kritis. Salah satu caranya ialah dengan memberikan rekomendasi perbaikan manajemen dan leadership kepala sekolah.

Salah satu temuan menarik dari Research Findings to Support Effective Educational Policies: A Guide for Policymakers (2011) ialah perlunya melakukan investasi dengan mengangkat para kepala sekolah yang memiliki visi yang baik dalam membangun budaya sekolah yang sehat. Tata cara dan prosedur pengangkatan kepala sekolah yang diduga penuh dengan praktik koruptif dan nepotisme harus segera dihentikan, terutama dalam rangka mempersiapkan proses implementasi kurikulum baru.
Tanpa ada perubahan berarti pada sisi leadership kepala sekolah dan manajemen sekolah, akan sulit mencapai target kompetensi sikap.

Seperti diketahui, perdebatan tentang perbedaan mendasar antara kepemimpinan (leadership), manajemen (management), dan administrasi (administration) ialah hal biasa dan lumrah dalam ilmu pendidikan modern. Dimmock (1999: 442) secara tegas dan menarik berusaha membedakan ketiga kata kunci di atas dalam konteks kepemimpinan sekolah. Dalam analisisnya, tensi di antara ketiga kata kunci itu terlihat pada aspek yang ditanganinya. Jika titik tekan leadership ialah pada pengalaman dalam mengambil keputusan secara seimbang antara aspek pengembangan kapasitas serta student and school performance, manajemen lebih berorientasi pada aspek operasional dan pemeliharaan (fi sik dan nonfi sik) kondisi sekolah.

Administrasi ialah fungsi yang melekat baik pada aspek leadership maupun management karena orientasinya lebih banyak pada hal-hal teknis yang rutin dan sangat dibutuhkan keduanya. Dari sudut pandang pedagogis, jelas sekali perebutan kewenangan antara leadership dan management kerap terjadi dan berlangsung secara terus-menerus. Keuntungan leadership ialah dapat mengambil bentuk lain dan keluar dari faktor management yang kerap dilingkupi sebuah proses dan prosedur yang kaku sehingga leadership bisa secara bebas dinilai berdasarkan pe ngaruh sosial yang dimilikinya.

Dalam konteks implementasi kurikulum baru, definisi leadership dalam konteks pendidikan dikatakan berhasil jika pengaruh (influence) seorang kepala sekolah secara sosial dan individual tetap hidup dalam pikiran dan perilaku banyak orang, terutama guru dan siswa (Yukl, 2002:3). Dalam skala yang lebih kecil, seorang kepala sekolah dapat dikatakan memiliki pengaruh yang kuat bagi para guru lainnya jika mereka mampu menebarkan ide dan gagasan yang terus hidup di hati dan pikiran rekan sekerjanya. Selamat tahun baru 2013, semoga dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar