Sabtu, 29 Desember 2012

Flu Burung Lagi!


Flu Burung Lagi!
CA Nidom ;  Ketua Avian Influenza-zoonosis Research Center Universitas Airlangga
KOMPAS, 28 Desember 2012



Tidak jauh dari Bandara Juanda, Surabaya, ada warung kaki lima dengan tulisan ”Bebek Teroris” secara mencolok. Pengunjungnya antre untuk menikmati kuliner bebek goreng dengan aneka sambal itu.

Tampaknya tidak ada yang terpengaruh berita banyak bebek mati karena flu burung. Memang demikianlah seharusnya. Konsumsi daging dan telur bebek tetap aman.
Situasi di mana bebek terserang flu burung agak mengejutkan. Biasanya bebek tahan terhadap virus flu burung. Bebek punya kemampuan mengubah sifat keganasan dari virus flu burung. Apakah kejadian akhir-akhir ini menunjukkan penurunan kemampuan bebek atau ada faktor lain? Yang jelas, para peternak bebek, kebanyakan petani tulen, bukan berdasi, mengalami kerugian finansial.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, dalam menghadapi keadaan saat ini terlihat lebih sigap dan cepat dibandingkan saat wabah flu burung pertama kali pada 2003. Mengingat mereka punya laboratorium dan SDM yang baik serta tersebarnya petugas reaksi cepat (PDSR) sehingga bisa menyebarkan informasi secara cepat. Faktor lain yang mempermudah, kejadian ini tidak semasif tahun 2003 pada ayam komersial.

Varian 2.3.2

Dalam tata nama virus influenza dunia dikenal beberapa istilah. Ada tiga tipe, A, B, dan C. Tipe A merupakan virus influenza yang banyak ditemukan pada berbagai spesies, termasuk manusia, sehingga tipe A dibagi lagi menjadi beberapa subtipe. Pembagian itu didasarkan pada struktur protein permukaan virus influenza, hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N), seperti virus flu burung H5N1 dan virus flu musiman H1N1.

Sifat virus yang mudah mutasi dan variasi dalam satu subtipe yang bisa bermunculan membuat satu subtipe punya varian (clade dan subclade). Virus flu burung subtipe H5N1 yang selama ini ada di Indonesia merupakan subtipe varian 2.1, selanjutnya terjadi perubahan menjadi 2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3. Kedua varian terakhir juga menginfeksi manusia. Sejak 2008, varian 2.1.3 banyak ditemukan pada hewan dan manusia, yakni sekitar 80 persen. Tidak jarang istilah ini membingungkan, apalagi jika ada tambahan pembeda lain, genotipe, grup, dan lainnya.

Belum ada informasi sebelumnya di Indonesia telah ditemukan varian selain 2.1, apalagi 2.3.2. Sampai kemudian terjadi banyak kematian pada bebek, khususnya di Pulau Jawa. Dari pendekatan pola mutasi, varian 2.3.2 tidak mungkin hasil mutasi dari varian 2.1.3 yang sudah ada di Indonesia. Sebab, bagaimanapun, pola mutasi virus influenza punya tata aturan alamiah.

Secara geografis, varian 2.3.2 banyak ditemukan di Asia sebelah barat dari Danau Qinghai (China). Namun, karena burung migrasi, varian ini ditemukan di bagian timur Asia, seperti Hongkong, Korea, dan Jepang. Bahkan sampai di Bulgaria. Sementara di Indonesia berasal dari mana?

Dari kajian kekerabatan yang dilakukan oleh beberapa laboratorium, tampak bahwa varian 2.3.2 punya kedekatan dengan virus sejenis dari Qinghai (China), Rusia, Mongolia, India, dan Vietnam. Juga merupakan kerabat jauh dengan virus yang berasal dari Hongkong.

Skenario Koalisi Virus

Dari kajian lintasan dan terminal burung migrasi, belum ditemukan lintasan burung yang berasal dari negara-negara tersebut. Oleh karena itu, diduga kuat varian baru ini masuk ”sengaja” melalui importasi semua hewan dan produknya. Bahkan, perlu ditelisik adanya pihak yang memasukkan vaksin flu burung untuk unggas secara ilegal, yang berisi varian baru dan terjadi ”kebocoran” vaksin.

Pertanyaannya, apakah bebek itu ketularan ayam yang terinfeksi varian baru atau sebaliknya? Mutlak perlu dilakukan dan ditelisik hewan lain yang diduga terinfeksi varian baru ini.

Jika memang benar ada kesengajaan dengan tujuan tertentu, bisa dilihat perkembangan selanjutnya. Apakah akan ada bibit atau daging bebek yang akan diintroduksi besar-besar ke Indonesia, termasuk vaksin unggas yang berisi varian 2.3.2, seperti kejadian pada tahun 2003-2004? Hanya waktu yang akan membuktikan.
Adanya introduksi varian 2.3.2 menambah variasi virus influenza yang beredar di Indonesia. Selama ini virus influenza, termasuk flu burung yang beredar di Indonesia, meliputi virus H1N1 dan H3N2 yang populer disebut flu musiman serta H1N1 pandemik (2009) yang sering disebut flu babi.

Ketiganya kebanyakan menginfeksi manusia dan babi. Selain itu, H5N1 dengan berbagai variannya juga telah menginfeksi unggas, mamalia (kucing, babi, dan lain-lain), dan manusia. Sekarang telah ditambah varian baru 2.3.2 pada bebek. Berdasarkan data di beberapa negara, varian baru ini telah menginfeksi unggas, bangau, angsa, merpati, dan elang. Pernah dilaporkan 2.3.2 menginfeksi manusia di Hubei pada 2010 dan Guangxi (China) tahun 2009.

Dua sifat mutasi virus influenza yang dominan selama ini adalah mutasi titik (drift) dan mutasi koalisi (shift). Semua subtipe dan varian virus flu punya peluang untuk saling berkoalisi meskipun masih perlu hewan adaptor. Jika terjadi koalisi, tentunya keselamatan jiwa manusia yang paling utama jadi perhatian karena otomatis aspek ekonomi juga terselamatkan.

Secara teori, yang perlu dicegah adalah terjadinya koalisi antara H5N1 2.1.3, H1N1 pandemik, dan varian 2.3.2 karena bisa membuat kesulitan tersendiri. Varian 2.1.3 merupakan virus flu burung yang sudah beradaptasi pada manusia dengan tingkat keganasan tinggi, 82 persen meninggal. Virus H1N1 pandemik dikenal punya tingkat penyebaran yang cepat, sementara varian baru 2.3.2 diketahui punya mesin (gen internal) yang efisien dalam perbanyakan virus.

Dengan demikian, meski kejadian flu burung masih pada bebek, antisipasi terjadinya loncatan—baik secara utuh atau hasil koalisi—perlu segera dilakukan pada unggas produktif ataupun keselamatan jiwa manusia.

Antisipasi

Kementerian Pertanian sudah membuat rujukan dalam pengendalian pada hewan ternak, mulai dari cara budidaya, biosekuriti, pengaturan lalu lintas perdagangan bebek, sampai mencegah bebek diangon lintas daerah lain. Sebab, virus ini bisa bertahan di air sawah atau kolam dengan suhu 25-32 derajat celsius selama satu minggu.

Sebetulnya ada dua cara yang bisa mempercepat pengendalian varian baru ini. 
Pertama, memusnahkan bebek terinfeksi dengan penggantian yang layak, mengingat kondisi ekonomi peternak bebek (meskipun jumlah bebek Indonesia saat ini tidak kurang dari 2 juta ekor).

Kedua, program vaksinasi ”darurat terkendali” dengan menggunakan virus yang sedang menginfeksi sebagai seed vaksin. Proses pembuatannya hanya perlu waktu sekitar satu minggu. Cara ini seharusnya mudah dilakukan mengingat pemerintah punya unit/industri vaksin hewan di Pusat Veterinaria Farma di Surabaya. Tentunya proses dan standar prosedur lainnya di unit ini telah mengikuti ketentuan yang berlaku. Cara yang kedua ini tidak perlu menunggu pembiayaan dari pusat. Sebab, bisa dilakukan oleh setiap daerah atau provinsi dan pelaksanaan vaksinasi dan pemantauannya bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat melalui kegiatan mahasiswa.

Sementara itu, guna mengurangi risiko pada manusia Indonesia perlu dilakukan pembentengan pada tubuh mereka. Kita tidak bisa hanya pasif menunggu korban jatuh baru bertindak. Hal ini mengingat kecepatan dan sifat infeksi virus 2.1.3 dan juga oleh pola kehidupan masyarakat Indonesia selama ini yang tidak bisa dihindarkan dari kedekatan hidup dengan hewan. Perlu waktu untuk mengubah kebiasaan hidup rumah tangga jauh dari hewan secara simultan.

Hampir 10 tahun flu burung berada di Indonesia, sudah cukup banyak program komunikasi, informasi, dan edukasi yang telah dilaksanakan, tetapi perubahan pola kehidupan masyarakat belum terlihat secara nyata. Karena itu, program vaksinasi pada manusia dengan menggunakan seed virus varian 2.1.3 sebagai pembentengan diri menjadi kebutuhan yang mendesak.

Masalah utama Indonesia dalam mewujudkan masyarakat sehat adalah terhindarnya dari penyakit zoonosis (dari hewan ke manusia). Selama ini masih terjadi antara hewan ternak dan manusia. Jika ditambah adanya ”serbuan” penyakit zoonosis dari satwa liar, akan lebih menyulitkan. Sebab, banyak melibatkan berbagai sektor yang punya kepentingan dan punya titik pandang yang berbeda satu sama lain. Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis (Komnas Zoonosis) bersama kementerian terkait perlu segera turun gunung untuk merumuskan langkah- langkah antisipasi.

Akhirnya, selama 10 tahun virus flu burung di Indonesia bukan berkurang dan terbebas, malah kedatangan varian baru. Sepertinya virus flu burung ini menuntut hak hidup di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar