Senin, 31 Desember 2012

Geokultur Indonesia


Geokultur Indonesia
Daoed Joesoef ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Panthejon-Sorbonne
KOMPAS, 31 Desember 2012



Istilah kultur sudah diterima sebagai unsur kosakata Indonesia, sinonim dari istilah budaya. Sama dengan istilah intelektual, ia agaknya merupakan konsep terluas dibanding semua konsep dalam ilmu-ilmu sosial historis.
Keluasan ini terlihat pada pemunculan neologisme baru, sintagma aneh, proliferasi ungkapan yang tak henti-hentinya memperluas bidang semantik, yang dalam dirinya merupakan bidang kompleks. Namun, semua itu pasti bukan merupakan ekspresi modis. Aneka petunjuk membuktikan adanya kepentingan orang terpelajar yang dahulu ditanggapi sebagai masalah politik, kini bergeser ke hal-hal yang dianggap kultural, seperti ”revolusi kebudayaan” dan cultural meeting.
Geokultur
Di dunia Barat istilah cultuur (Belanda), culture (Inggris, Perancis), dan kultur (Jerman) berakar kata Latin colere (mengolah tanah). Sama halnya pada kata cultivate (cara pembudidayaan) dan agriculture (pertanian). Para antropolog menggunakan istilah kultur atau budaya sebagai sistem nilai yang dihayati manusia (individual atau berkelompok). Maka, kata kultur/budaya sejak awal punya implikasi sesuatu yang tumbuh dan tidak spontan, sebagai hasil kemauan manusia. Namun, ia sering dipakai menyatakan fenomena yang berlawanan dengan hasil kemauan manusia yang bermartabat, seperti ”budaya korupsi”, ”tak punya malu”, dan ”tak punya harga diri”.
Jadi, istilah kultur/budaya mengacu sekaligus pada usaha yang bermanfaat atau memberi hasil (budidaya) dan sistem nilai serta ide vital (kreasi pikiran dan perasaan). Jika kedua unsur pokok ini ditanggapi secara ekologis, ungkapan geokultur menggambarkan keseluruhan yang terintegrasi dan tradisional dari cara mengondisikan dan memanfaatkan Bumi, merasakan, berpikir, yang memberikan ciri khas pada kelompok sosial di suatu wilayah hidup tertentu (ruang) dan selang kehidupan tertentu (waktu).
Istilah kultur/budaya dalam artian ”pembudidayaan” segera mengingatkan agar kita eling lan waspada terhadap kelalaian sendiri tentang kelebihan alami yang dulu menjadi rebutan bangsa-bangsa asing. Mereka belum sempat mengeksploitasi hutan tropis, dan justru inilah yang sekarang kita manfaatkan dengan rakus. Pemanfaatan hutan seharusnya berdasar kearifan lokal: ”ambil kayu, tetapi jangan habiskan hutan!”
Kita sungguh melalaikan geoendownments negara maritim. Di pantai timur Pulau Sumatera terdapat Bagan Siapi-api, pelabuhan dan kota pengolah ikan terbesar di Asia Tenggara tempo doeloe. Kini kita malah mengimpor ikan basah dan kering dari Thailand. Kita juga mendatangkan garam dari India yang panjang pantainya jauh lebih pendek daripada garis pantai arsipel Indonesia.
Di sepanjang pantai tumbuh subur pohon kelapa hingga ke pedalaman. Indonesia memang memiliki perkebunan kelapa rakyat terluas di dunia. Namun, nilai ekspor produknya jauh lebih rendah daripada Filipina yang berlahan kelapa jauh lebih sedikit. Berarti, industri kekelapaan kita masih diabaikan, padahal nilai lebih kelapa tidak hanya kopra, tetapi juga akar, batang, sabut, hingga daun.
Pembudidayaan (kultur) tanaman khas tropis lain kira-kira bernasib sama. Tanaman tebu dan industri gula di zaman kolonial pernah merajai ”pasar manis” dunia dan menyelamatkan keuangan Kerajaan Belanda. Sekarang kita malah mengimpor gula.
Yang masih juga diabaikan oleh pemerintah adalah tanaman berkhasiat obat sebagai dasar industri farmasi. Kegiatan riset resmi lembaga-lembaga pemerintah selama ini tidak pernah menyentuh hakikat masalah industri obat secara menyeluruh, dan terpadu dari hilir hingga ke hulu. Beberapa industri negara maju tidak segan-segan mematenkan khasiat tanaman kultur asli Indonesia.
Waspadai Penyalahgunaan
Ketika ke Amerika Serikat lebih dari seabad lalu dan mengamati padang luas dan keuletan 13 juta penduduknya, Alexis de Tocqueville menulis: ”A democratic power is never likely to perish for lack of strength or of resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources”.
Kultur/budaya dalam artian ”sistem nilai ide vital” menyuluh nalar kita mengenai akar keresahan dan pergolakan suku/daerah tertentu. Betapa tidak!
Indonesia adalah suatu negara-bangsa. Negara adalah bangsa yang terorganisasi. Bangsa adalah suatu pengelompokan dari orang-orang yang bertekad hidup bersama. ”Bangsa” sering dikatakan punya ”kultur/budaya nasional”. Maka, istilah kultur/budaya di sini mendeskripsikan kumpulan ciri-ciri tertentu, perilaku dan sikap tertentu, kepercayaan ideal tertentu, apa-apa yang sama-sama dihayati dalam suatu kelompok dan dipercaya tidak simultan dihayati (atau tidak seluruhnya dihayati) oleh kelompok lain. Jadi, pengertian ”kultur/budaya nasional” mengandung sejenis ”kesadaran diri” (self- awareness) dan, karena itu, sense of boundaries, menjadi organisasi kehidupan bersama yang sama-sama mau dilestarikan.
Namun, Negara-Bangsa Indonesia yang lahir dari satu revolusi unik tidak hanya produk dari kemauan hidup bersama dari orang-orang individual yang sudah tercerahkan, tetapi juga dari kelompok-kelompok etnis (suku) dan daerah-daerah yang juga sudah ”berkultur” sendiri, punya sejenis pola sosialisasi serta pengukuhan nilai-nilai sendiri atau perilaku yang dianggap luhur (hukum adat, pengertian mitologis dan religius, dan lain-lain).
Keanekaan ”kultural” ini tetap dihormati para pejuang-pendiri bangsa. Namun, dengan terbentuknya Indonesia selaku negara-bangsa merdeka dan berdaulat, anak daerah tidak layak lagi menyebut diri ”rakyat Aceh”, ”rakyat Papua”, dan lain-lain. Dia tetap dibolehkan menyebut dirinya ”orang Aceh”, ”orang Papua”, dan lain-lain. Istilah ”rakyat” hanya dikaitkan dengan negara. Itulah yang kiranya dimaksud dengan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Artinya, yang secara historis sebelumnya merupakan entitas-entitas terpisah, sesudah terbentuk Negara-Bangsa Indonesia, sama-sama menyikapi ”berkelompok demi hidup bersama” bersandikan asas kewarganegaraan. Semua orang yang lahir dalam suatu negara merupakan warga negara, ”rakyat Indonesia”.
Yang disebut negara-bangsa selaku ”kontainer kultural primer” adalah sebuah kreasi baru. Dunia yang terdiri atas berbagai negara-bangsa baru tampil di abad XVI. Dunia tersebut diteorisasi dalam perkuliahan akademis dan baru pada abad XX menjadi kesadaran yang menyebar. Ia menjadi fenomena universal sejak akhir Perang Dunia II. Kini di kalangan manusia beradab ada adagium ”it is not our human nature that is universal, but our capacity to create cultural realities, and then to act in terms of them”.
Apresiasi Kultural Dualistik
Perkembangan ganda—kreasi historis negara-negara sebagai primas kultur di wilayah nasional berdampingan dengan kreasi historis berupa suku/daerah berkultur partikular—memercikkan anomali di Indonesia, berupa penggunaan ganda istilah kultur. ”Kultur” sebagai seperangkat karakteristik yang membedakan satu kelompok primas (negara-bangsa) dengan kelompok primas lain (penggunaan I), dan ”cultur” sebagai beberapa set fenomena yang diakui berbeda dengan (dan ”lebih tinggi” daripada) lain-lain set fenomena setiap kelompok primas (pengguna II).
Anomali ini terkait dengan pertanyaan kultural humanistik fundamental. Kalau benar kita (manusia) punya kemampuan menciptakan realitas kultural dan bertindak dalam term itu, pertanyaannya adalah ”siapa” sebenarnya ”kita”, yang katanya berkualifikasi begitu bermartabat, begitu manusiawi? (penggunaan I).
Maka, wahai para penguasa di pusat dan daerah, para gembong politik, sadarilah bahwa rakyat yang gelisah, terutama di daerah, karena ingin diwongke, tidak hanya sebagai penonton dalam setiap usaha pembangunan ekonomi, politik-sosial (demokrasi dan budaya). Ajaklah mereka bermusyawarah (Pancasila) dalam memilih dan memutuskan setiap proyek di daerahnya hingga mereka tidak hanya mendapatkan ”getah” dari ”nangka” kultur buminya. Berikanlah mereka kesempatan ”menikmati” kebajikan ”demokrasi langsung” di tengah-tengah praktik ”demokrasi-tak-langsung”. Mereka berhasrat dalam proses pembentukan NKRI.
Berarti, selain serius berusaha agar setiap warga negara Indonesia bisa enjoy equal rights, kita kaitkan asas kewarganegaraan ini (humanitas universal) pada asas ”kemanusiaan yang adil dan beradab” (Pancasila!) yang dalam dirinya merupakan universal moral law. Proses yang paling ampuh memupus dualisme kultural, dalam arti bisa membuat setiap warga negara menjadi ”lebih luhur” hingga berkesanggupan intrinsik turut membuat ”kultur nasional” suatu sistem pendidikan nasional, jadi suatu geoeducation. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar