Sabtu, 29 Desember 2012

Harapan Baru untuk 2013


Harapan Baru untuk 2013
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 28 Desember 2012



KEPERGIAN sebuah tahun menyisakan rasa haru karena secara abstrak menandakan berakhirnya suatu episode dalam perjalanan hidup manusia. Akan datang tahun baru dengan krisis-krisis baru. ‘Another X-mas, another year, another crisis in the gulf...Yet another chance, if not to change to world, to love it more. Life is a gift...’. Begitu pernah ditulis penyair Goenawan Mohammad. Pesannya memberi harapan baru.

Memasuki 2013, apa makna yang terbaca dari peristiwa-peristiwa lalu? Abad nuklir menawarkan berbagai kemungkinan positif. Namun, manusia, dengan sifat dan adatnya, memiliki kepentingan yang berbeda, baik sebagai anggota masyarakat dunia ataupun sebagai individu. Rasanya kita bersepakat, mudah-mudahan dalam tahun baru kita memiliki pemimpin-pemimpin dunia yang bersikap bijak, tegas, dan kuat, yang mampu memberikan kepemimpinan teladan, suaranya didengar rakyat banyak, dan tidak segan mendengarkan suara rakyat banyak.

Seperti kata mantan Wapres Jusuf Kalla dalam diskusi terbuka Indef dan Media Group minggu lalu, semua bergantung pada para pemimpin.Untuk kita di Indonesia, yang mendesak dan kasatmata saat ini ialah kebutuhan akan kese jahteraan ekonomi, yang banyak disuarakan mayoritas rakyat yang belum sejahtera. Sekalipun pertumbuhan ekonomi tergolong tinggi, sekitar 6,5%, kesenjangan sosial pun tetap tinggi.

Karena itu, jajaran pemimpin diharapkan lebih memfokus pada masalah pemerataan distribusi--baik kekayaan pendapatan maupun pelayanan. Kontrol terhadap kekayaan pribadi atau sumber-sumber ekonomi masih terabaikan. Pajak progresif belum berlaku seperti yang diharapkan, sedangkan hukum belum bisa diandalkan sebagai pelindung yang lemah.

Pada gilirannya yang lemah masih jauh dari kesempatan mobilitas ke atas karena pengaruh dan kesempatan politik pun belum sepenuhnya terbuka bagi mereka; sebuah fakta yang tentunya semakin merugikan kesempatan sosial mereka. Sangat tidak adil bahwa puluhan juta penduduk hanya berpenghasilan kurang dari Rp8.000 sehari, sedangkan kelompok yang beruntung bisa mendapat sekitar seratus kali lipatnya sehari.

Kelanggengan Kemelaratan

Menurut James K Galbraith, ahli ekonomi lulusan Universitas Texas, di negara-negara berkembang sebagian besar masyarakat tinggal di daerah perdesaan tempat kemelaratan justru kukuh mengakar. Ada alasan mengapa mereka sulit meng angkat diri dari nasib buruk itu. Antara lain mereka menganggap kemelaratan sebagai takdir sehingga setiap usaha perbaikan mereka lawan.

D i negara-negara kaya keadaannya berbeda. Masyarakatnya mau hidup sejahtera. Untuk itu, mereka bekerja keras meningkatkan produktivitas dan penghasilan. Tekad seperti itu yang oleh Galbraith dianggap kurang di negara-negara berkembang. Menurut hasil penelitiannya di sejumlah masyarakat berkembang, rakyat miskin ragu-ragu mengikuti pembelajaran dan pendidikan dan bahkan curiga terhadap teknologi baru karena khawatir akan risiko kegagalan. Kegagalan bisa berarti kelaparan atau bahkan kematian. Tabung an sedikit yang terkumpul untuk berjagajaga dikhawatirkan akan habis untuk biaya pembelajaran dan pendidikan.

Kemelaratan bersifat melemahkan motivasi orang miskin untuk melawannya karena mereka terlalu malas untuk menjajaki kemungkinan memperbaiki nasib. Bagi mereka, cara paling wajar ialah menjaga ketenangan batin. Menurut Galbraith, tugas paling penting jajaran pemimpin di negara-negara berkembang ialah meyakinkan bahwa sikap itu destruktif dan tidak manusiawi, suatu penyakit yang harus dimusnahkan bersama.

Senjata paling ampuh berupa pendidikan. Sayangnya sistem pendidikan di negara-negara berkembang kurang mendapat fokus perhatian. Dalam hal Indonesia, kita tidak habis pikir mengapa tingkat pendidikan kita tergolong paling rendah di wilayah ini.

Kesejahteraan yang Didambakan

Tata tentrem kerto raharjo: tenang dan damai di negara sejahtera. Tidak mudah menciptakannya bagi rakyat yang jumlahnya mendekati seperempat miliar. Kita sudah hampir tiga perempat abad merdeka. Seperti yang sering diserukan para ahli ekonomi kita, sudah saatnya demokrasi ekonomi sungguh-sungguh dilaksanakan mengingat pemerataan tampaknya menjadi masalah laten yang menuntut penanggulangan cepat.

Bila merenungkan yang telah kita alami sejauh ini, dan membandingkannya dengan pergolakan yang masih terjadi di sejumlah negara lain, kita bersyukur negara ini hidup dalam suasana tenteram dan aman. Sayangnya, demokrasi ekonomi, suatu sistem yang berkembang sesuai dengan integritas ilmiah secara universal, kita jalankan tanpa mengindahkan asas-asas Pancasila. Dalam diskusi dengan Media Indonesia, Prof Ahmad Erani Yustika, ahli ekonomi lulusan Universitas Gottingen, menyatakan sistem ekonomi apa pun memerlukan aturan main yang harus dipatuhi agar bisa berhasil.

Bukankah Pancasila menjadi aturan main kita? Sebab usaha pemerataan, di mana pun, termasuk di negara-negara maju, menghadapi banyak kendala.
Sampai ada anggapan, kalau terlahir di kalangan orang tak punya, anak-cucu dan keturunan selanjutnya pun akan tetap dalam golongan tidak punya. Studi yang pernah diadakan di Amerika tentang mobilitas sosial menunjukkan anak-anak dari keluarga kelas bawah memiliki kesempatan jauh lebih kecil daripada anakanak dari kelas menengah/atas untuk memperoleh pekerjaan kelas atas.
Karena itu, pemikir-pemikir kita di bidang ekonomi dan pendidikan rasanya memang harus merumuskan sistem ekonomi dan pendidikan macam apa yang sebaiknya kita terapkan untuk membangun tata tentrem kerto raharjo. Semoga tahun baru 2013 memberi harapan baru bagi segenap rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar