Sabtu, 29 Desember 2012

Kebutuhan Pangan Terancam Kartel


Kebutuhan Pangan Terancam Kartel
Abdul Hakim MS ;  Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
SUARA KARYA, 26 Desember 2012



Beberapa waktu lalu, publik digoncang oleh naiknya harga kedelai diluar batas normal. Tak ayal, kenaikan harga kedelai yang mencapai 40 - 60 persen ini membuat para pengrajin tahu dan tempe berteriak. Luapan protes pun bermunculan. Tuntutan ini dilakukan agar pemerintah cepat melakukan intervensi agar harga bahan pokok pembuat lauk favorit masyarakat Indonesia ini segera bisa turun. Kenapa harga kedelai bisa melonjak tanpa bisa dikontrol?
Jika merujuk pada analisis Menteri Pertanian, Suswono, melonjaknya harga kedelai itu lebih diakibatkan oleh beralihnya para petani menanam komoditas lain dibandingkan kedelai, misalnya jagung. Komoditas jagung dinilai lebih menjanjikan karena harganya lebih tinggi. Dengan harga kedelai yang hanya Rp 5.000 per kilogram, Suswono mengatakan petani agak berat menanamnya karena harga perawatan yang besar. Itu sebabnya, produksi kedelai tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Untuk menutupi kekurangan, pemerintah kemudian memutuskan untuk melakukan impor.
Dalam konteks impor kedelai inilah, kemudian membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai adanya praktik kartel terkait melonjaknya harga kedelai. Analisis KPPU ini merujuk pada fakta bahwa struktur pasar impor kedelai nasional saat ini bersifat oligopolistik, yakni hanya ada sedikit saja yang menjadi pemasok. Akibatnya, importir bisa dengan bebas memainkan harga (kartel).
Sebetulnya, peristiwa lonjakan harga kedelai pada 2012 ini pernah terjadi 2008 lalu. Kala itu, naik-turunnya harga kedelai sangat tergantung pada dua pemasok utama, yaitu PT Cargill Indo-nesia dan PT Gerbang Cahaya Utama. Hal itu disebabkan 74,66 persen pasokan kedelai impor dikuasai oleh dua pelaku usaha tersebut. Saat itu, KPPU juga mencium adanya upaya praktik pengaturan pasokan oleh keduanya, meski setelah KPPU melakukan penyelidikan, dugaan praktik kartel ini sulit dibuktikan.
Naasnya, meski sudah pernah terjadi, keadaan serupa terulang kembali. Pemerintah seolah tidak menjadikan kasus 2008 sebagai bahan pelajaran penting. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), masih saja memberikan izin impor kedeleai hanya kepada sebagaian kecil kelompok tertentu. Tak heran apabila kemudian kelompok kecil ini memiliki power berlebih dalam menentukan harga komoditas ini. Buntutnya, ketika AS yang menjadi sumber impor kedelai terbesar Indonesia mengalami kekeringan, Kemendag tak kuasa mengatasi lompatan harga.
Semestinya, Kemendag sadar bahwa menyerahkan proses impor komoditas kedelai hanya kepada sebagian kecil kelompok akan sangat rentan terhadap terjadinya praktik kartel. Apalagi, komoditas kedelai saat ini sepenuhnya sudah mengikuti mekanisme harga pasar. Selain itu, hingga kini belum ada lembaga penyangga yang sewaktu-waktu bisa melakukan operasi pasar ketika harga kedelai tak terkontrol. Bulog yang selama ini menjadi pengaman stok pangan nasional juga tak bisa berbuat banyak. Namun, kenapa masih saja terjadi izin impor hanya diberikan kepada sebagian kecil pemasok, yang kelihatannya kurang arif?
Dalam konteks akademis, terjadinya praktik kartel sebetulnya bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik. Kartel bisa terbentuk disebabkan oleh adanya kepentingan para perencana pembangunan (pemerintah) dan politisi yang ketika mengeluarkan kebijakan, motivasi utamanya bukan untuk memakmurkan bangsa, melainkan lebih didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politik dalam jangka pendek (Grindle, 1989). Disaat bersamaan, kepentingan ini kemudian bertemu dengan kepentingan elemen-elemen masyarakat (pengusaha) yang juga memiliki motif mengeruk keuntungan ekonomi jangka pendek. Sehingga, kumpulan tiga elemen ini tak lebih hanya sebagai kelompok pemburu rente semata (self-seeking interset groups).
Keberadaan para pemburu rente ini, menyebabkan tak adanya pertimbangan jangka panjang ketika akan mengeluarkan sebuah kebijakan. Dampaknya, aturan yang dikeluarkan oleh pembuat keputusan hanya berdasar pada motif kepentingan jangka pendek, baik secara ekonomi ataupun politik, yang terkadang sangat mengabaikan kepentingan masyarakat.
Dalam konteks impor kedelai, sebetulnya Kemendag tak akan terlalu kesulitan untuk membuat prediksi bahwa AS akan mengalami kekeringan yang menyebabkan produksi kedelai negeri Paman Sam ini akan turun. Kita yang sangat tergantung pada impor kedelai AS, tentu memiliki kepentingan khusus untuk mengkajinya. Namun, kenapa Kemendag gagal melakukan analisis tekait hal ini?
Penjelasannya tentu bisa diarahkan pada postulat awal bahwa lemahnya prediksi Kemendag terkait kekeringan di AS yang berdampak pada melonjaknya harga kedelai nasional, disebabkan oleh adanya kongkalikong kartel dengan pemerintah. Secara sederhana bisa dikatakan, Kemendag, telah "terkerangkeng" oleh kartel ketika akan membuat kebijakan tentang kedelai.
Memang, analisa di atas masih sebatas postulat yang memerlukan verifikasi valid. Namun setidaknya, jika ingin menghilangkan praktik kartel, Presiden harus berpijak pada persoalan pemberangusan para pemburu rente yang ada di tubuh pemerintah sendiri. Jika hal ini tidak dilakukan, tentu praktik kartel akan terus mengkerangkeng pemerintah yang dampak negatifnya akan selalu ditanggung oleh masyarakat luas, seperti yang terjadi pada kasus kedelai.Hal yang sama, agaknya bisa terjadi pada daging yang sudah naik tinggi saat ini, dan pantas dicermati.
Seperti telah dikemuka-kan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, praktik kartel ini tidak boleh terjadi karena sangat bertentangan dengan persaingan usaha yang sehat dan adil. Ini hanya akan merugikan masyarakat luas dan menjadi penghambat laju perekonomian Indonesia yang trennya positif. Jika ada, sudah sepatutnya pemerintah memberikan sangsi tegas terhadap praktik kartel ini, agar tak terulang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar