Sabtu, 29 Desember 2012

Kemacetan Jakarta dan Penyebaran Aktivitas Ekonomi


Kemacetan Jakarta
dan Penyebaran Aktivitas Ekonomi
Teddy Lesmana ;  Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MEDIA INDONESIA, 27 Desember 2012



JAKARTA sebagai ibu kota negara telah lama diliputi berbagai persoalan akut yang sangat menyesakkan dan melelahkan. Salah satunya ialah permasalahan kemacetan lalu lintas yang sudah menjadi permasalahan yang akut. Bahkan, Jakarta diprediksi akan mengalami kemacetan total pada 2014.

Sementara itu, rencana pembangunan mass rapid transit (MRT) yang belakangan ini mengemuka kembali pun belum menemukan kata final. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan pelaksanaan pembangunan MRT tersebut. Sekiranya pemerintah DKI akan membangun sistem MRT, prakondisi apa yang perlu dipenuhi dan bagaimana seharusnya arah ke depan pembangunan pusat aktivitas ekonomi di Jakarta dan sekitarnya?

Sebenarnya dalam hal pengembangan dan perbaikan angkutan massal, Jakarta bisa dikatakan sudah sangat terlambat. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura membangun infrastruktur pendukung MRT jauh sebelum populasi kendaraan bermotor berkembang pesat (Kuranami et al, 2000).

Untuk mengatasi persoalan kemacetan, setidaknya secara konseptual ada tiga kategori langkah yang bisa diambil. Pertama, langkah yang terkait dengan sisi penawaran fasilitas transportasi (misalnya dengan meningkatkan kapasitas atau daya tampung sarana transportasi). Kedua, langkah yang diarahkan untuk mengelola sisi permintaan terkait dengan upaya untuk mendorong penggunaan fasilitas transportasi secara efisien. Ketiga, membangun struktur perkotaan yang kondusif bagi penyebaran aktivitas ekonomi dan perbaikan integrasi fi sik antara lokasi kerja, fasilitas umum, dan perumahan.

Dalam membangun MRT, umumnya ketika suatu kota di beberapa negara seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Singapura ingin membangun sistem transportasi publik, itu didahului kebijakan manajemen dan insentif terhadap sisi permintaan berlalu lintas sebagai bagian dari strategi pembangunan sistem transportasi publik. Di Seoul dan Singapura misalnya, pada tahap awal pembangunan infrastruktur MRT mereka membatasi pertumbuhan kendaraan pribadi dan insentif untuk mengendalikan kepemilikan kendaraan pribadi sebelum rasionya mencapai 70 mobil per 1.000 penduduk.

Aturan Tegas

Singapura baru membuka sistem transportasi MRT pada 1987 setelah 15 tahun sebelumnya memberlakukan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi. Dalam tahapan selan jutnya Singapura melakukan pendekatan carrot and stick untuk mengintegrasikan dan menyeimbangkan pengembangan sarana transportasi umum. Hal itu dilakukan de ngan pemberlakuan sistem kuota kendaraan (vehicle quota system) dan berbagai pajak yang dikenakan dalam kepemilikan kendaraan pribadi, termasuk pemberlakuan skema pemajakan atas kemacetan.

Dana yang diperoleh dari berbagai pajak tersebut kemudian digunakan untuk tahap pembangunan awal sistem MRT. Hal yang serupa juga dilakukan di Seoul, Korea Selatan. Di Jepang, strategi ekonomi nasional pascaperang yang menekankan pembatasan konsumsi dan pemaksimalan investasi dan ekspor secara tak langsung membatasi penggunaan kendaraan bermotor di tengah pesatnya industrialisasi dan naiknya tingkat pendapatan. Di samping itu, pengaturan parkir yang sangat ketat dan sempitnya jalan raya di Tokyo memberikan disinsentif penggunaan kendaraan pribadi.

Selain persoalan sistem transportasi, ada baiknya kita melihat apa yang dilakukan Jaimie Lerner, Wali Kota Curitiba, Negara Bagian Parana di Brasil, yang berhasil menjadikan wilayahnya menjadi kota ramah lingkungan, sejahtera, dan menjadi laboratorium hidup kota yang ideal.

Sebagaimana lazimnya negara berkembang, keberhasilan mekanisasi pertanian menjadikan arus urbanisasi sangat deras ke daerah perkotaan. Pesatnya urbanisasi tersebut tentu membutuhkan banyak prasarana seperti perubahan, transportasi, dan aktivitas ekonomi perkotaan. Termasuk dengan apa yang terjadi di Curitiba dan beberapa kota besar lainnya di Brasil.

Untuk menyikapi semakin berkembangnya kota, Jaimie Lerner berupaya untuk mengharmonisasikan desakan arus urbanisasi tersebut dengan konsep pembangunan yang inklusif.

Berbeda dengan tipologi pengembangan kota–kota yang pada umumnya konsentris dengan semua pusat bisnis dan pemerintahan terpusat di satu titik, Curitiba justru dikembangkan menyebar sehingga pusat bisnis dan pemerintahan tidak hanya terfokus kepada satu wilayah. Pusat-pusat bisnis dikembangkan merata ke berbagai wilayah dan dihubungkan dengan jalur transportasi umum.

Ada tiga filosofi dasar yang dianut dalam pengelolaan Kota Curitiba yang dijalankan secara progresif. Pertama, pembangunan kota yang memberikan preferensi kepada pengembangan angkutan umum ketimbang penggunaan kendaraan pribadi. Kedua, membangun selaras dengan lingkungan; dan ketiga, penerapan teknologi tepat guna dan inovasi dalam memecahkan masalah perkotaan dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan kota. Ketiga visi itu kemudian dilembagakan dan akhirnya diadopsi oleh Jaimie Lerner yang menjadi Wali Kota Curitiba pada 1971 (Rabinovitch dan Leitman, 1996).

Oleh karenanya untuk membenahi persoalan kemacetan di Jakarta, perlu dilakukan upaya yang simultan tidak saja yang terkait dengan penyiapan prakondisi pembangunan sistem transportasi massal, tetapi juga upaya penyebaran pusat­pusat kegiatan ekonomi ke berbagai wilayah.

Mewujudkan itu tentunya bukan hanya merupakan tugas dan beban Pemerintah DKI Jakarta, melainkan juga diperlukan peran pemerintah pusat dan koordinasi dengan pemerintah daerah lain yang berbatasan langsung dengan Jakarta.
Kebijakan subsidi BBM dan kurang dikendalikannya laju pertumbuhan kendaraan pribadi juga harus dibenahi jika Indonesia, khususnya di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, ingin membangun MRT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar