Senin, 31 Desember 2012

Kesadaran yang Tertipu


Kesadaran yang Tertipu
Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2012



MENEKUNI perjalanan ke lebih dari 20 kota utama dan puluhan kota-kota madya dan kecil lainnya di seantero Indonesia pada kuartal akhir 2012 lalu, saya seperti mendapatkan kenyataan hidup yang bergerak. Subuh, orang-orang di desa, pinggir kota, juga di pusat kota, sudah seperti rayap yang menggerogoti hari dengan semangat, ambisi, dan kreasi-kreasi. Pamong dan pangreh praja berjaga-jaga melayani publik dengan fasilitas yang kini tidak kalah dengan bank internasional. Para pejabat daerah, juga pusat tentu, menyusun agenda, merinci item yang memberi mereka peluang mengakses dan diakses publik, media massa kalau bisa. Indonesia bekerja.

Indonesia bekerja? Ya, tentu saja. Negeri ini sedang bekerja, insya Allah.
Bukankah itu yang kita dapatkan dari informasi-informasi resmi, bahkan juga dari luar negeri? Pencapaian pertumbuhan 6,3% untuk GDP kita bukanlah hal yang main-main, bahkan untuk tingkat dunia. Hanya hitungan jari satu tangan negara di dunia yang dapat menandingi angka itu. Perdagangan dan industri menggeliat. Infrastruktur fisik tumbuh dengan percepatan tertentu.

Diplomasi keras ditingkatkan di mancanegara. Kerusakan dan kelemahan, juga kebodohan, disusun ulang atau diperbaiki. Presiden seperti memegang pecut warok Pacitan untuk mengingatkan dan mengendalikan kerja kolega dan anak buahnya.
Indonesia bekerja? Ya, tentu saja. Di balik semua fenomena yang manifes di atas, di atas bangunan konstruktif yang positif, juga bekerja--ternyata-satu barisan masyarakat lain dalam fenomena yang lebih laten, tepatnya tersembunyi (hidden). 

Gairah kerja bangsa yang membuat penghasilan tetap tahunan bangsa ini mendekati genre triliun dolar AS (sebagaimana G-10) ternyata dimanfaatkan secara masif juga, tapi secara negatif, destruktif, bahkan kriminal. Oleh para pencoleng, koruptor, pedagang manusia, pengedar narkoba, pelaku illegal logging, penyelundupan ke dalam dan keluar, dan sebagainya. Semua apa yang bisa kita sebut atau kategori sebagai hidden economy, sebuah aktivitas ekonomi masif dengan kapasitas yang diperkirakan tidak kalah nilainya dengan yang manifes. Namun, lolos dari amatan, dari angka Dirjen Pajak, Kemenkeu, atau BI.

Dengan hitungan kasar saja, atau dengan kenaifan logika ekonomi warung kopi, bila ekonomi laten atau tersembunyi tersebut turut memproduksi pangsa 30% saja dari yang manifes, berapa angka pertumbuhan yang kita dapat? Bisa Anda hitung sendiri. Hampir dua digit! Artinya, realitas ekonomi--juga politis, sosial, yuridis, spiritual, hingga kultural--tidaklah dapat kita tarik (alang kah naifnya) bila hanya berdasar pada yang manifes, yang tampak, atau ditampakkan (di bagian lain ‘ditampangkan’). Ada kulit-kulit kenyataan lain yang melapisi realitas-tampak itu dan perlu kita cermati dengan baik, agar kita bisa melihat dan membaca kenyataan sesungguhnya diri sendiri, mereka, dan kita.

IMPLIKASI atau konsekuensi dari pembacaan kulit kenyataan itu tidaklah kecil. Sebuah negara atau pemerintah sebenarnya tidak bisa menciptakan klaim tentang kesuksesan ketika ia gagal total mengurusi atau membenahi apa yang hidden dalam peri kehidupan kita, dalam peradaban dan kebudayaan kita.
Di situlah sumber semua yang kita sebut kotor, gelap, negatif, hitam, haram, degil, deviatif, dan seterusnya. Semua hal yang menjadi racun dan virus mematikan dunia terang dan positif, yang menjadi bagian dari limbah kebudayaan dan peradaban kita.

Maka, saat kita sedikit jeli melihat kulit-kulit realitas 2012, kita akan mendapatkan banyak cerita tentang lemahnya, kurangnya, bahkan gagalnya pemerintah sebagai penyelenggara negara menghadapi limbah yang mengisap keringat, bahkan darah, rakyat negeri itu. Bukan saja kriminalitas yang merajalela, pengisapan sumber daya alam terus menggila, perdagangan wanita tambah marak, kumulasi finansial narkoba kian meningkat, penyelundupan menggerus ekonomi rakyat, dan sebagainya. Kulit itu masih ditambah lagi dengan kenyataan aparatus negara yang ternyata tidak menjalankan tugas dan obligasi secara optimal, bahkan yang turut menggeser loyalitas aparatusnya justru birokrasi limbah di atas. Menjadi vampir bagi bangsanya sendiri.

Dua kenyataan kerja yang saling menegasi itu sesungguhnya menciptakan semacam kerancuan bahkan keraguan publik pada kualitas dan kapasitas pemerintah dalam pengelolaan negara yang dipercayakan kepadanya. Perilaku pejabat, sebagai aparatus, yang deviatif secara moral, spiritual, dan kultural, juga tentu secara politis, ekonomis, dan yuridis, mendorong masyarakat untuk menurunkan tingkat kepercayaan mereka kepada pemerintah. Pemerintah yang mengalami krisis atau kemerosotan kepercayaan publik bukan hanya menjadi tidak efektif, bahkan justru bisa menjadi stimulan bagi terjadinya tindak-tindak kasar dan deviatif, konfl ik horizontal, dan sebagainya.

Ketidakefektifan itu diperparah lagi oleh kenyataan kerja pembangunan yang sangat minim di tingkat hasil (output) dan kualitasnya. Sampai pertengahan 2012 tercatat oleh publik, bahkan ada beberapa kementerian (seperti Kemenpora) yang masih 0% dalam menyerap anggaran yang disediakan untuk (dan atas permintaan) mereka sendiri. Hingga akhirnya November 2012, Menkeu menyatakan hanya sekitar 70% dana APBN, yang sekitar Rp1.700 triliun, mampu terserap, walau kemudian dikatakan di akhir tahun ia bisa mencapai sekitar 98%.

Cobalah kuliti data dan kata-kata realitas informatif pemerintah itu. Bila hampir 30% dana APBN dihamburhamburkan hanya dalam sebulan terakhir, apa yang bisa kita sebut sebagai `pembangunan' kecuali pesta-pesta kecil, foto-foto, dan tumpukan faktur yang direkayasa? Apa yang dimaknai dari growth dan development di sini? 

Apa yang didapat dari 70% anggaran terserap jika 30%-nya sudah dikorupsi lebih dulu oleh pihak birokrasi dan penyelenggara kegiatan? Dikurangi keuntungan penyelenggara 20% dan korupsi di pengadaan/pembelian 10%, apa tidak tertinggal sedikit persen yang akhirnya mewujud sebagai pembangunan?

Berahi Kekuasaan

Di situkah nilai dan makna 6,3%? Ah, betapa kulit-kulit informasi, bahkan yang media massa sodorkan, bisa membuat kita tertipu. Angka 6,3% boleh jadi bukan sebuah dusta. Namun, kenyataan hidup ekonomi, politik, dan sosial kita sesungguhnya jauh lebih dari itu. Jika Anda perhitungkan semua yang terurai tadi, mulai hidden economy, inefektivitas pemerintah, hingga korupsi masif yang terjadi, angka itu seharusnya sudah melampaui dua digit. Lebih dari dua digit.

Jadi, sesungguhnya, jujur dan terbuka, saya harus menyatakan digit-digit yang hilang itu ialah sebuah indikator yang jelas dan kuat bahwa kita, bangsa Indonesia, sedang dirampok. Oleh kekuatankekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan asing dan lokal yang menjadi kompradornya. Buat saya, ini sebuah perang, tanpa tanda kutip. 
Perang modern, perang global, bukan jenis asimetri sebagaimana dikenal dalam militer. Ini perang yang menyangkut keseluruhan (level dan dimensi) hajat hidup rakyat dan bangsa kita.

Ekonomi di ujung keuntungan besarnya, politik menjadi retorikanya, dan kebudayaan menjadi arsenal utamanya. Hollywood, Bollywood, hingga Gangnam Style bukanlah sekadar perkara kebebasan anak remaja untuk bergaya. Itu juga sebuah infiltrasi moral dan mental untuk menyiapkan sebuah generasi akrab, tidak menolak, dan ikhlas mengonsumsi Apple, Samsung, atau bajaj, bahkan menempatkan semuanya sebagai sumber identitas kita.

Itu ialah perang peradaban hari ini, yang sesungguhnya, bukan bagi keuntungan peradaban dan kebudayaan itu sendiri, melainkan untuk profit segelintir penguasa kapital yang tidak bernegara.

Tahun 2013 haruslah menjadi tahun yang memastikan apakah kita mau terlibat dalam perang itu. Atau kita sudah lebih dulu menyerah, dan kalah sebagaimana biasanya. Untuk itu, mereka yang menganggap dan punya berahi besar memimpin negeri ini, takarlah dirimu untuk tantangan sebesar itu, apakah kamu sesungguhnya cukup mampu? Atau sekadar remang lampu yang untuk menyala pun tidak mau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar