Sabtu, 29 Desember 2012

Konsolidasi Masyarakat Sipil


KONSTITUSI DAN NEGARA KESEJAHTERAAN
Konsolidasi Masyarakat Sipil
KOMPAS, 26 Desember 2012


Pengantar Redaksi
Menandai peringatan Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri I/2012 di Bentara Budaya Jakarta. Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Kembali Gerakan Masyarakat Sipil”, diskusi menampilkan pembicara Karlina Supelli (STF Driyarkara), Roem Topatimasang, Zuly Qadir, dan Ade Armando (Universitas Indonesia), dipandu oleh Sri Palupi. Hasil diskusi dirangkum Zuhairi Misrawi dari LMI dan wartawan ”Kompas” Sri Hartati Samhadi, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

Diakui atau tidak, lembaga swadaya masyarakat menempati posisi penting dalam gerakan prodemokrasi.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, LSM berperan sebagai pengawas dan pengimbang terhadap kekuasaan negara. Sebab, di negara yang sudah mapan dan paling demokratis sekalipun tak ada jaminan doktrin trias politika tentang pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) bisa berjalan ideal. Yang terjadi, ketiga cabang kekuasaan itu saling berselingkuh. Karena itu, perlu ada pilar keempat demokrasi: masyarakat sipil yang mencakup media, mahasiswa, LSM, dan lainnya. LSM lahir sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial dan otoritarianisme negara. Dulu, LSM jadi tulang punggung gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Kini, peran LSM dinilai memudar, bahkan mendapat stigma negatif.

Tradisi yang Hilang

Pada masa Orde Baru, LSM diposisikan sebagai kelompok anti-pemerintah, bahkan dituding sebagai agen asing. Kondisi ini membuat LSM-LSM yang meski berbeda ideologi dan posisi merasa menjadi satu dan memiliki musuh yang sama. Pada 1970-1980-an, peran LSM cukup menonjol. Setidaknya ada tiga sumbangan signifikan diberikan LSM dalam gerakan sosial saat itu. Pertama, LSM mampu menawarkan wacana pemikiran alternatif di tingkat ideologi sebagai jalan lain atau tandingan bagi ideologi pembangunanisme yang dijalankan pemerintah.

Kedua, LSM bukan sekadar berwacana, melainkan juga memberikan contoh nyata penerapan di lapangan. Misalnya, sekolah lapangan petani pengendalian hama terpadu, keuangan mikro untuk mengatasi marjinalisasi sektor informal, dan lainnya. Ketiga, LSM menyediakan informasi yang cukup baik bagi warga masyarakat sipil yang tak punya pilihan dan tak tahu mau ke mana. Informasi ini diberikan dalam bentuk jurnal atau terbitan berkala dan diskusi-diskusi reguler.

Kemampuan LSM menjadi tulang punggung gerakan sosial pada masa itu dimungkinkan karena adanya tradisi dan komponen penting yang berkembang di kalangan LSM. Ini tak lagi ditemukan di kalangan LSM kini. Beberapa di antaranya adalah pertama, tradisi untuk melakukan kajian, riset, dan diskusi secara serius untuk menemukan pemikiran alternatif.

Kedua, adanya pembagian peran dan kongsi sumber daya. Dulu, ada LSM-LSM yang berperan sebagai motor. Salah satunya adalah LP3ES dengan Prisma dan diskusi-diskusi regulernya. Lembaga atau LSM motor ini menjadi tempat bagi para pegiat LSM untuk mengasah pikiran dan menggodok pikiran-pikiran alternatif yang menjadi terobosan.

Ketiga, adanya jaringan yang melakukan diskusi dan rekoleksi secara reguler, bersengaja, dan berkelanjutan. Rekoleksi ini dilakukan hampir di semua tempat di Indonesia, mulai dari kota sampai ke komunitas-komunitas basis di desa. Dalam jaringan ini ada proses pendidikan, pelatihan, dan perbantuan silang. Sementara sekarang, hampir semua LSM sibuk dengan agendanya sendiri. Keempat, sistem manajemen yang menciptakan atmosfer LSM sebagai ”rumah bersama”. Para pegiat di satu LSM tak merasa sebagai orang asing ketika masuk ke kantor LSM lain. 
Kondisi ini menciptakan suasana dan mendorong orang saling berdiskusi.

Kelima, adanya pegiat LSM yang memainkan peran sebagai elektron bebas. Mereka ini tak terikat pada satu organisasi sehingga bisa ke mana saja dan semua LSM menganggap mereka ini teman yang bisa digunakan. Keenam, adanya perekrutan khas gerakan. Dulu, orang yang mau menjadi aktivis LSM harus melalui proses. Mereka dicari, dilatih, diajak diskusi sampai 2-3 tahun baru bisa menjadi aktivis. Sekarang, perekrutan melalui pengumuman dengan kriteria yang teknokratis.

Menerobos Kebuntuan

Tak seperti pada masa Orde Baru, kini LSM menghadapi tantangan baru terkait kondisi ekonomi politik. Ekspansi kekuasaan bisnis beberapa dekade terakhir telah melahirkan kekuatan baru yang mampu melampaui dan mengatasi kekuasaan negara dan pilar keempat demokrasi. Kekuasaan bisnis yang terjelma dalam kekuatan finansialnya punya kekuatan untuk merusak tata hukum dan pemerintahan dengan membeli keberlakuan/ketidakberlakuan peraturan, membeli jajaran pengadilan, kepolisian, media, mendesakkan penggusuran dan perampasan hak rakyat, dan sebagainya. Melalui cara inilah keluasan korupsi-kolusi dalam hubungan bisnis-pemerintah terjadi.

Dalam kondisi seperti itu, tak mudah bagi LSM menjadi saka guru masyarakat sipil. LSM dituntut dapat berperan lebih. Bukan hanya sebagai pengawas dan pengimbang kekuasaan negara dan pasar, melainkan juga kekuatan tandingan (countervailing power) yang dapat menerobos kebuntuan sistem dan menawarkan jalan lain dari apa yang sudah ada sekarang. Lalu, apa yang terjadi? Pascareformasi, jumlah dan ragam LSM memang meningkat. Namun, LSM kini dinilai tak punya analisis politik komprehensif terkait liberalisasi ekonomi dan karena itu tak memiliki tawaran jalan lain atau jalan tandingan untuk menjawab ekspansi kekuasaan bisnis yang destruktif terhadap demokrasi. Apalagi konsep-konsep yang dulu dipakai LSM kini dipakai juga oleh pemerintah dalam kebijakannya, seperti partisipasi, pemberdayaan, dan lainnya. Ini membuat LSM mati gaya.

Persoalan serius yang dihadapi LSM sekarang adalah krisis ideologi, fragmentasi, dan penekanan pada kerja-kerja berdasarkan isu tunggal. Hampir semua LSM kini sibuk dengan agenda dan donornya masing-masing. Krisis ekonomi global serta meningkatnya kemiskinan dan kelaparan di berbagai pelosok dunia memaparkan demikian banyak fakta atas kegagalan sistem pasar bebas dalam kapitalisme global yang tak berpihak kepada rakyat. Sementara demokrasi di dalam negeri terus digerogoti korupsi yang kian sistemik dan terorganisasi. Untuk merespons ini diperlukan konsolidasi gerakan masyarakat sipil yang mampu mengoreksi keadaan.
LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil punya tanggung jawab mewujudkan konsolidasi gerakan masyarakat sipil. Ini hanya bisa terjadi kalau di kalangan LSM ada gerakan mengevaluasi diri dan melakukan langkah-langkah konsolidasi, di antaranya membangun agenda bersama yang didasarkan pada hasil kajian dan riset, mengurangi ketergantungan pada sumber daya dari luar, membangun sistem informasi dan pangkalan data yang menjadi bahan belajar masyarakat dan pelaku gerakan, serta membangun tradisi ”kerelawanan baru”. Dengan berkonsolidasi, LSM akan mampu menerobos jalan buntu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar