Sabtu, 29 Desember 2012

Merindukan Perdamaian


Merindukan Perdamaian
Choirul Mahfud ;   Direktur Lembaga Kajian
Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya
SUARA KARYA, 28 Desember 2012


Lirik lagu campur santri berjudul "perdamaian" yang populer pada era 80-an terutama bagi pecinta musik religi di Indonesia mengingatkan bahwa perdamaian bukan barang yang mudah didapat. Juga, bukan perkara gampang dimiliki tetapi nampaknya sangat diperlukan.
Pertanyaannya kenapa perdamaian diperlukan umat manusia? C.B. Mulyatno memberikan jawaban dalam bukunya berjudul "Filsafat Perdamaian" mengajak semua orang untuk belajar dari tokoh pemikir perdamaian seperti Eric Weil. Ia adalah salah seorang filosof yang berjuang agar filsafat memberi pencerahan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan hidup sehari-hari.
Secara simpel, Ia menjelaskan tautan antara filsafat dan perjuangan untuk mewujudkan perdamaian. Konflik, pertikaian dan perang yang melanda dunia telah memorak-porandakan pilar-pilar hidup damai. Adalah tugas setiap orang, dan khususnya filosof untuk membangun kembali kehidupan yang damai. Kerinduan untuk hidup damai dan keprihatinan terhadap berbagai peristiwa kekerasan, konflik dan perang yang mengancam perdamaian bisa menjadi tali pengikat persaudaraan yang mendorong berkembangnya gerakan hidup damai.
Salah satu yang menarik dari buku Mulyatno ini, ternyata Weil menolak metafisika. Metafisika dianggap telah mewariskan sikap dogmatis yang melanggengkan kekerasan. Metafisika berbicara soal kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi adalah kemustahilan bagi filsafat karena subjek filsafat adalah manusia historis yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu yang terbatas (tidak sempurna). Yang dihidupi dan diketahui oleh seorang filosof bukanlah kebenaran melainkan absennya kebenaran atau penolakan terhadap kebenaran. Absennya kebenaran dan penolakan terhadap kebenaran adalah kekerasan. Metafisika bertentangan dengan hakikat filsafat sebagai kegiatan manusia yang berciri temporal-dinamis dalam mewujudkan potensi dan karakter rasionalnya.
Mengingat salah satu problematika hidup di negeri ini yang tidak ada ujung selesainya, maka solusi menyelesaikan kekerasan dengan perdamaian adalah kerinduan semua orang. Hal ini seiring munculnya fenomena menjalarnya kekerasan, konflik hingga terorisme dari dan ke berbagai sektor kehidupan.
Karenanya, perlu dibahas dan diurai dari akar masalahnya hingga solusi bagaimana upaya pencegahannya. Dalam pandangan Simon Philantropa, pemikir Kristiani Jawa Timur, kekerasan di negeri ini merupakan sesuatu yang diproduksi oleh penguasa dan masyarakat. Modus kekerasan yang dilakukan cukup beragam. Ada yang terbuka dan tertutup. Bahkan juga dilakukan secara diam-diam dalam bentuk pembiaran. Bagi Simon, pembiaran terhadap kasus kekerasan merupakan bentuk kekerasan yang juga harus diwaspadai. Di sisi lain, Amin Hasan, ketua Comec Jawa Timur, menyatakan bahwa kasus kekerasan akhir-akhir ini nampaknya sudah menjadi budaya bangsa. Mulai di bangku sekolah, hingga materi khutbah. Baginya, seolah semua domain kehidupan masyarakat sudah akrab dengan budaya kekerasan. Hal itu dapat disaksikan pula dari banyaknya kasus yang berbau kekerasan melalui banyak media massa di negeri ini. Seperti kasus saling serang antara warga desa satu dengan warga desa lainnya, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, antar suporter sepak bola, hingga adu jotos yang pernah terjadi di gedung dewan yang diperankan anggota dewan yang katanya terhormat.
Beberapa kasus kekerasan di atas, lanjut Amin, tentu bukanlah sekadar kecelakaan belaka. Namun lebih dari itu, sudah menjadi budaya "baru" masyarakat di negeri yang plural ini. Tentu saja, bila dibiarkan budaya baru berbau kekerasan ini, maka tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Apalagi negeri ini konon dikenal sebagai negeri yang ramah, santun dan sangat menjunjung adat ketimurannya lainnya. Tentu menyisakan masalah apa kata dunia bila ini terus dibiarkan.
Hingga saat ini, kasus kekerasan mudah menimpa siapa saja. Mulai anak kecil hingga dewasa. Namun tak sedikit pula yang menimpa kaum perempuan. Kasus trafficking (perdagangan manusia) yang kini menimpa anak dan gadis di bawah umur adalah wajah kekerasan yang harus disikapi bersama.
Secara bahasa, kekerasan adalah lawan dari kelembutan. Bahasa kelembutan dalam interaksi sosial seolah dianggap tak menyelesaikan masalah. Dari sinilah, istilah kekerasan dikupas. Istilah kekerasan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), langsung (dirrect) atau tak langsung (indirrect). Namun, dalam perkembangannya, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan perilaku agresif satu pihak kepada pihak lain yang terjadi terus menerus. Anak yang menjadi korban kekerasan yang cukup serius, cenderung untuk mengembangkan perilaku kekerasan ini juga dalam kehidupannya setelah dewasa.
Persoalan kekerasan di muka bumi ini tentu saja tidak selamanya bisa diselesaikan dengan kekerasan. Justru, solusi kekerasan dilawan dengan kekerasan disinyalir tidak akan pernah menyelasaikan persoalan dan bahkan hanya akan menambah persoalan baru. Karenanya, Mahatma Gandhi, tokoh besar India, menyarankan kekerasan seharusnya dilawan dengan tanpa kekerasan. Barangkali, solusinya diupayakan dengan penuh kelembutan, kedamaian, keikhlasan memaafkan, dan keteladanan yang baik untuk kehidupan dan kemanusiaan.
Bagi kita, praktik perdamaian merupakan upaya jangka panjang bagi Indonesia agar mampu mengelola konflik identitas dan kepentingan. Perdamaian berarti kondisi sempurna suatu masyarakat yang ditandai oleh absennya konflik kekerasan, didukung kesalingpahaman, dan penghormatan atas perbedaan serta keadilan sosial. Jika saja mencari perdamaian mengutamakan dialog nirkekerasan, sebagai karakter dasar bangsa, tentu tercipta kehidupan sosial dan politik secara dinamis menuju pada kebaikan umat manusia di muka bumi. 

1 komentar: