Selasa, 04 Desember 2012

Opini, Rakyat, dan Demokrasi


Opini, Rakyat, dan Demokrasi
Donny Gahral Adian ;  Dosen Filsafat Politik UI
KOMPAS, 04 Desember 2012


Rakyat tidak memiliki alamat. Itu adalah ruang kosong yang ganjil sekaligus dinamis. Dalam kekosongan ini, representasi pun sesuatu yang mustahil. Opini publik menjadi oksimoron. ”Publik” pun tercampur aduk antara nilai dan fakta.

Demokrasi sedari awal sadar akan keterbatasannya tersebut. Secara normatif, demokrasi terus dituntut untuk menyerahkan kekuasaan kepada demos alias rakyat sebagai antibentuk. Hal itu tentu saja mustahil dilakukan.

Untuk itu, demokrasi tak pernah benar-benar menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Rakyat selalu diperantarai oleh opini yang dikemas rapi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan sosial-ekonomi. Dengan demikian, demokrasi selalu mengalami filterisasi. Rakyat yang (akhirnya) terumuskan di legislatif atau eksekutif selalu (sudah) terasing dari dirinya sendiri.

Hegemoni

Rakyat yang kosong dan ganjil tidak pernah beropini. Opini senantiasa dirumuskan kelas hegemonik dan disosialisasikan atas nama ”pendidikan politik”. Rakyat sebagai kekosongan adalah arena bermain berbagai kelompok kepentingan untuk memenangkan gagasannya.

Pertarungan opini yang berlangsung bukan pertarungan yang berbasis pada populisme. Pertarungan itu berlangsung di layar kaca, sementara rakyat duduk di ruang tamu sebagai penonton belaka.

Persoalannya, opini kelas hegemonik harus mampu diterima secara sukarela oleh kelas-kelas lainnya. Oleh karena itu, ”aliansi” menjadi kata kunci yang sangat penting.
Aliansi kelas hegemonik dengan berbagai kelompok sosial lainnya tidak bersifat instrumental. Berbagai kelompok sosial yang ada tidak hanya dijadikan instrumen bagi kelas hegemonik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kepentingan berbagai kelompok sosial tidak semata-mata diartikulasikan dalam kosakata kelas hegemonik.

Hegemoni melibatkan proses sintesis yang lebih sublim ketimbang agregasi dan akomodasi kepentingan belaka. Dalam proses hegemoni, berbagai kepentingan yang beredar kemudian bersintesa menjadi kehendak umum yang mengatasi kepentingan sektoral. Jelas tersirat jalan pikiran Rousseau tentang kehendak umum di sini.
Gramsci, mengikuti Rousseau, menghendaki hegemoni bukan sekadar artikulasi kepentingan sektoral yang berkedok kehendak umum, melainkan penciptaan kehendak umum sejati melalui integrasi ideologis.

Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini bukan integrasi ideologis. Hegemoni semata-mata berupa pemaksaan opini kelas hegemonik secara halus sehingga dapat diterima secara luas. Bagaimana sebuah opini kelas tertentu menjadi ”publik”?

Proses ini, pertama-tama, membutuhkan pembuat opini (opinion maker). Namun, pembuat opini tidak dapat berdiri sendiri. Dia membutuhkan jejaring sosial-ekonomi yang kokoh. Dia membutuhkan komunitas yang percaya melalui akses media yang cukup leluasa. Akses media dan modal sosial adalah fungsi dari kekuatan ekonomi. 
Dengan demikian, pembentukan opini saat ini sudah menjelma sebagai industri raksasa. Berpendapat bukan lagi perkara kebebasan, melainkan kekuatan sosial-ekonomi.

”Opinion Leader”

Salah satu lembaga survei mengeluarkan hasil survei tentang calon presiden 2014. Survei yang dilakukan terhadap akademisi, pemimpin redaksi, pengusaha dan purnawirawan jenderal menghasilkan lima nama dengan poin tertinggi. Kelimanya adalah Mahfud MD, Jusuf Kala, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, dan Hidayat Nur Wahid.

Kelima nama tersebut menyingkirkan nama dengan tingkat popularitas lebih tinggi seperti Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.

Kita boleh bertepuk tangan merespons hasil survei di atas. Para pendamba calon alternatif bisa jadi diuntungkan dengan hasil survei tersebut. Partai-partai yang dibentuk untuk mendongkrak tokoh tertentu pun menanjak daya tawarnya. Mereka mendapat legitimasi politik yang cukup kokoh dari survei tersebut. Singkat kata, survei tersebut menandakan masih ada yang menjanjikan dalam silang sengkarut politik republik dewasa ini.

Persoalannya, kita boleh bertanya tentang parameter yang dipakai untuk mengukur ketokohan dalam survei tersebut. Lima kriteria dijadikan tolok ukur utama. Kelimanya adalah bisa dipercaya, tidak pernah terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak pernah melakukan tindak kriminal, mampu memimpin negara dan pemerintahan, serta berdiri di atas semua kelompok.

Sekilas, tidak ada persoalan dengan kelima kriteria di atas. Semuanya seperti mewakili keinginan rakyat tentang pemimpin masa depan mereka. Namun, absennya persoalan terhadap parameter tersebut justru menandakan bekerjanya hegemoni. Opini tersebut sejatinya milik kelas menengah-terdidik yang mengalami universalisasi akibat konteks historis yang ada.

Kita saat ini dihadapkan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih merajalela. Birokrasi yang korup membuat dunia usaha juga tidak dapat berkembang baik. Untuk itu, kelas pengusaha tentu saja menginginkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi.

Sebagian mungkin mengatakan bahwa opini tentang integritas bukan monopoli pengusaha saja. Ini adalah opini ”publik” dalam artian rakyat secara keseluruhan. ”Publik”, sayangnya, masih dipahami sebagai fakta bukan nilai.

Opini publik tentang integritas bukan opini faktual, melainkan opini normatif yang dibangun segelintir orang dengan kepentingan politik kental. Sekelompok orang ini memiliki kekuatan ekonomi-sosial yang cukup solid. Soliditas finansial-sosial yang ada lebih dari cukup untuk melangsungkan proses hegemoni melalui bombardir diskursus di media massa.

Hegemoni opini kelas tertentu membutuhkan legitimasi institusional yang kokoh. Untuk itu, lembaga survei yang kredibel dibutuhkan. Lembaga survei di sini tidak sekadar merekam, tetapi sekaligus melakukan penggalangan opini. Itu berfungsi layaknya komite pencari (search committee) atau bahkan penyeleksi (selecting committee).
Ini memang sah-sah saja. Setiap lembaga berhak mengeluarkan daftarnya sendiri tentang calon berkualitas. Persoalannya, proses universalisasi opini tersebut berlangsung secara industrial-ekonomistik. Opini menjadi nama lain dari ekonomi. Ini yang disebut Badiou sebagai materialisasi demokrasi.

Demokrasi kehilangan transendentalitas dan tereduksi menjadi tubuh dan bahasa. Artinya, demokrasi menjadi sekadar perang opini yang disokong oleh kekuatan modal dan industri, minus kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar