Sabtu, 29 Desember 2012

Penanganan Konfik yang Tidak Tuntas


CATATAN 2012
Penanganan Konfik yang Tidak Tuntas
KOMPAS, 26 Desember 2012


Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, cita-cita kerukunan umat beragama di Indonesia masih sulit diwujudkan selama tahun 2012. Berbagai kerusuhan dengan latar belakang perbedaan agama dan keyakinan masih meletup di beberapa daerah, bahkan merenggut beberapa korban jiwa. 

Berbagai persoalan serupa sepertinya terus berulang, sedangkan penanganan masih setengah hati. Pada awal tahun, Februari 2012, dibuka dengan bentrokan kelompok muka dan kelompok belakang di Pelauw, Maluku Tengah, Maluku. Pemicunya, perbedaan keyakinan, khususnya dalam menentukan hari besar agama. Enam tewas dan 400 rumah hangus dalam kekerasan itu.

Pertengahan Agustus, massa jemaah Sunni menyerang kelompok Syiah di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur. Konflik yang dibumbui masalah keluarga itu tumbuh beberapa tahun sebelumnya, tetapi tak dituntaskan sehingga meletup kembali. Satu tewas, 6 terluka, 37 rumah terbakar, dan 235 orang terpaksa mengungsi. Bahkan sampai saat ini, tampaknya warga belum bisa kembali ke kampung halaman mereka.

Akhir tahun 2012, tepatnya November, ditutup dengan bentrokan antara warga dan kelompok pimpinan Teungku Aiyub Syakuban di Bireuen, Aceh. Warga marah atas pengajian kelompok Teungku Aiyub yang dianggap sesat. Tiga orang tewas dan 10 orang luka-luka.

Selain beberapa kekerasan menonjol tadi, ada beberapa gesekan lama. Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, misalnya, muncul di beberapa daerah. Bahkan di sejumlah daerah, banyak jemaah Ahmadiyah yang belum kembali ke kampung halaman mereka. Contohnya, jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang meninggalkan rumah mereka sejak tragedi kekerasan pada 6 Februari 2011.
Sementara kontroversi keberadaan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, masih buntu.

Konflik berlatar agama terjadi baik di dalam satu kelompok penganut agama sama (intra-agama) maupun dengan kelompok agama berbeda (antar-agama). Semua kalangan paham, konflik berlatar belakang agama itu menimbulkan kerugian besar. Sejumlah nyawa melayang, sebagian terluka, dan banyak warga kehilangan tempat tinggal. Di kawasan pertikaian, umat beragama tidak aman dan tidak bebas menjalankan ibadah sesuai keyakinan. Pada tahap lebih lanjut, kondisi ini rawan merusak solidaritas kebangsaan Indonesia.

Berulang

Jika berdampak demikian serius, lantas kenapa konflik berlatar belakang agama masih saja berulang? Masalahnya memang masih ada faktor-faktor penyebab. Hal itu mencakup faktor dari dalam umat beragama dan faktor dari luar.

Faktor dari dalam terkait pemahaman sebagian umat terhadap ajaran agama yang masih sempit. Ada kelompok yang merasa benar sendiri sehingga siapa pun di luar keyakinannya dianggap salah, bahkan patut diperangi. Mereka sulit menerima perbedaan.

Fanatisme itu bisa semakin menguat setelah bersinggungan dengan faktor-faktor luar. Sebut saja masalah kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, pendidikan rendah, dan ketimpangan pembangunan. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan mudah mengamuk meski hanya dirangsang hal-hal sepele.

Saat bersamaan, pemerintah cenderung gamang dalam menangani gejala konflik, bahkan kerap hanya menjadi penonton. Penegak hukum—yang diharapkan bisa menjerat pelaku kekerasan—justru lemah, bahkan menjadi bagian dari masalah.
Kondisi demikian bisa kian runyam ketika ada kepentingan politik, katakanlah dalam pertarungan pemilihan kepala daerah yang memainkan sentimen agama untuk kepentingan sesaat. Semua faktor itu tentu bisa saling menopang sehingga semakin mudah memicu konflik antar-umat beragama. Konflik-konflik itu sangat berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi manusia sebab konflik yang tak mampu diantisipasi sejak dini kerap kali menimbulkan kekerasan di lapangan.

Konstitusi

Bagaimana kita menangani konflik demi mewujudkan cita-cita kerukunan umat beragama? Tak ada pilihan lain, kecuali kita bersungguh-sungguh merujuk dan mengamalkan konstitusi, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan, negara Indonesia bukan negara agama, tetapi memfasilitasi masyarakatnya untuk mengembangkan keyakinan berketuhanan. Dasar ini lantas diterjemahkan dalam Pasal 29 UUD 1945 bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Konstitusi itu harus diterapkan dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan jaminan atas kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Lindungi semua kelompok, termasuk minoritas, untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam beragama. Jangan ada perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Cegah gejala-gejala konflik dan segera tangani jika sudah mulai meletup. Jangan biarkan letupan membesar, apalagi negara kalah oleh kelompok-kelompok kekerasan. Pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai aturan hukum sehingga akan terbentuk efek jera yang bisa mengurangi kemungkinan terulangnya perilaku serupa.

Lebih dari itu, negara dalam hal ini pemerintah mesti berusaha mewujudkan cita-cita negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, menciptakan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kembangkan program pembangunan secara merata di semua bidang sehingga bisa memupus perasaan ketidakadilan. Jangan sampai negara dinilai tidak mampu melindungi hak-hak warga atau dianggap tidak melakukan apa-apa (pembiaran).

Para pemimpin agama mesti meyakinkan umat, negara ini menjamin kebebasan semua agama. Meski berbeda pendapat dan keyakinan, tak boleh ada kekerasan, penyerangan, atau pembunuhan satu kelompok terhadap kelompok lain. Tak cukup menyeru, elite agama harus tampil sebagai teladan yang menerima dan menghargai perbedaan keyakinan dan mengembangkan cinta kasih pada sesama manusia.

Di sisi lain, umat beragama terus mendalami ajaran keagamaan. Tentu semua agama sejatinya menyerukan kebaikan, hormat atas sesama manusia, dan mengecam segala bentuk kekerasan. Organisasi-organisasi besar keagamaan perlu terus memperkuat diri untuk meneguhkan pemahaman yang moderat, toleran, dan membumikan ajaran agama dalam bingkai Indonesia yang multikultur. Sebab, para pendiri negeri ini justru mampu merekatkan berbagai perbedaan paham, termasuk agama, sebagai fondasi kokoh sampai hari ini.  (Ilham Khoiri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar