Sabtu, 29 Desember 2012

Prahara Promosi Hakim


Prahara Promosi Hakim
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kota Baru, Kalimantan Selatan
KOMPAS, 28 Desember 2012



Patogen birokrasi akibat ambruknya kerangka regulasi sistem karier dan ketidakjelasan kriteria perekrutan pejabat menjadi persoalan sistemik lembaga pemerintahan kita.

Alih-alih menciptakan pemerintahan yang bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, pascareformasi penyalahgunaan wewenang dan jual-beli jabatan justru menggurita dan menegasikan asas umum tata kelola yang baik. Temuan populer terkait patogen birokrasi adalah para pegawai negeri sipil yang bermasalah dengan hukum tetapi memegang jabatan strategis.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mencatat, 474 PNS tersangkut kasus hukum dan menduduki jabatan pemerintahan daerah di 19 provinsi. Mereka berstatus tersangka, terdakwa, bahkan terpidana (Kompas, 22/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu membangun sistem pengangkatan pejabat birokrasi berbasis rekam jejak, kompetensi, dan integritas.

MA Terjangkit

Patogen birokrasi juga menjangkiti Mahkamah Agung (MA). Beberapa hakim yang pernah terlibat pelanggaran berat terkait etika profesi justru dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Kejadian hakim ”sakti” yang seharusnya didemosi tetapi justru mendapat promosi terus berulang. Setidaknya ada dua peristiwa anomali promosi yang bisa menjadi batu uji.

Pertama, terkait peristiwa promosi hakim XX yang berdasarkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) MA pada 29 November 2012 menduduki jabatan sebagai wakil ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Padahal, Komisi Yudisial (KY) memiliki catatan hitam tentang perbuatan tercela yang bersangkutan empat tahun silam.

Hakim XX pernah berkomunikasi dengan pihak beperkara, yaitu Artalyta Suryani alias Ayin, perihal keinginannya untuk bermain golf di Shanghai, China, bersama teman-temannya. Percakapan itu mengandung unsur mengharapkan sesuatu sehingga melanggar prinsip persamaan dan imparsialitas.

Keputusan mempromosikan hakim XX menjadi preseden buruk dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Jabatan strategis yang idealnya diisi hakim bersih justru dimandatkan kepada oknum hakim dengan reputasi buruk. Keputusan itu harus dievaluasi karena mencederai asas kepatutan dan norma kesusilaan. Pejabat publik harus menjadi figur panutan bagi bawahannya.

Proses evaluasi mencakup desain ulang kriteria penerapan sistem promosi secara lebih jelas dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Parameter promosi harus meliputi aspek kualitas, integritas, dan prestasi hakim, bukan semata-mata berdasarkan senioritas/pangkat.

MA saat mempromosikan hakim XX memberikan beberapa alasan. Pertama, ”pemutihan” cacat integritas telah dilakukan dengan mencopot hakim XX dari jabatannya kala itu, yaitu sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kedua, hakim XX telah menjalani etape uji kelayakan dengan predikat baik.

Namun, pertimbangan itu mengandung polemik karena yang terkesan uji kelayakan dan kepatutan justru mengalpakan aspek integritas. Padahal, tak sukar mencari hakim dengan reputasi cemerlang untuk jabatan tertentu. Jika iktikad tulus untuk bersih-bersih MA benar-benar menjadi napas para pengambil kebijakan, anomali mutasi dan promosi macam ini tidak terjadi.

Kedua, pada saat pertemuan bersama empat lingkungan peradilan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pimpinan MA memberikan pengarahan agar warga peradilan senantiasa menjaga citra dan keagungan MA. Jangan sampai kesetiaan terhadap institusi justru menjelma menjadi kayu bakar dan membakar institusi sendiri.

Menggugat Promosi

Seorang peserta menanggapi dengan kritis bahwa idealnya citra MA harus dipelihara. Namun, jika sistem mutasi dan promosi MA terus mengoyak rasa keadilan, ia siap menjadi kayu bakar dan akan membakar MA. Peserta tersebut tidak sedang bercanda. Ia menggugat promosi seorang mantan pimpinan pengadilan sebagai wakil ketua pengadilan kelas IA. Padahal, yang bersangkutan sedang menjalani hukuman disiplin hingga Maret 2013 berupa penurunan pangkat dan pemotongan remunerasi.

Merespons pertanyaan itu, pimpinan MA mengatakan akan mengeceknya. Tak lama berselang hakim yang dimaksud dicopot dari jabatannya meski yang bersangkutan baru saja dilantik.

Jelas bahwa perbaikan sistem menjadi mutlak. Ke depan pengembangan sistem rotasi, mutasi, dan karier hakim perlu terus disempurnakan parameter yang obyektif. Dengan demikian, sistem reward and punishment bisa diterapkan dan menekan unsur nepotisme. Promosi hakim yang (pernah) melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim perlu dipertimbangkan matang dan penuh kehati-hatian.

Catatan buruk sepak terjang seorang hakim tak boleh diabaikan begitu saja. Kelak ketika yang bersangkutan mendaftar sebagai hakim agung di KY, rekam jejak itu sangat memengaruhi penilaian. Itulah dasar filosofis mengapa hakim yang cacat reputasi tidak punya ruang yang luas untuk dipromosikan. Jabatan harus diemban oleh orang yang berintegritas tinggi, berprestasi, dan memenuhi standar kompetensi.

Begitu juga hakim yang berprestasi bisa mendapat reward dalam bentuk peningkatan karier. Hakim berprestasi yang terlalu lama bertugas di daerah terpencil, misalnya, akan mengalami keterbatasan akses pengetahuan dan kesempatan melanjutkan studi dibandingkan dengan mereka yang bertugas di kota besar. Karena itu, asas pemerataan—dengan menempatkan hakim ke sejumlah daerah— jangan sampai mengalahkan porsi penilaian kemampuan seorang hakim dalam menentukan mutasi.

Ukuran hakim berprestasi bukan semata-mata karena berani menjatuhkan hukuman berat atau putusannya tidak pernah dibatalkan di tingkat banding ataupun kasasi. Hakim yang berprestasi adalah hakim yang gigih menggali norma yang hidup dalam masyarakat dan memunculkan teori baru sebagai pedoman bagi hakim lain sehingga menjadi yurisprudensi.

Standar Baku

Sistem mutasi dan promosi memang merupakan bagian dari upaya pembinaan dan peningkatan kapabilitas/keahlian hakim. Namun, diperlukan standar baku yang transparan agar proporsionalitas perjalanan karier hakim bisa dipantau. Sistem mutasi dan promosi yang ideal berbasis pada tiga hal: database rekam jejak, manajemen putusan dan berorientasi pada peningkatan kualitas hakim.

Selama ini MA kecolongan mempromosikan hakim bermasalah karena kurang mengoptimalkan integrasi data sumber daya manusia dengan pengawasan, sistem karier, promosi, dan mutasi. Keterlibatan KY yang terkait langsung dengan pengawasan hakim sangat diperlukan.

KY dan MA seyogianya menjalin kerja sama dalam proses penilaian kinerja hakim karena keduanya memiliki keterkaitan dalam tugas dan pelaksanaan fungsi sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar