Sabtu, 29 Desember 2012

Refleksi Pendidikan 2012


Refleksi Pendidikan 2012
Darmaningtyas ;  Aktivis Pendidikan di Tamansiswa Jakarta
KORAN TEMPO, 28 Desember 2012



Munculnya usul integrasi pelajaran IPA-IPS ke dalam mata pelajaran lain dari kelas I sampai VI dilandasi alasan untuk menyederhanakan jumlah mata pelajaran di SD yang selama ini dinilai terlalu banyak. 
Banyak catatan untuk kinerja Kementerian Pendidikan 2012, karena memang banyak peristiwa penting yang sifatnya strategis dan perlu dicatat. Pertama, pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi (Nomor 12 Tahun 2012) menjadi tonggak penting bagi perkembangan pendidikan tinggi (negeri) di Indonesia, karena undang-undang ini menjadi landasan kuat bagi pengembangan perguruan tinggi negeri yang lebih mandiri dan liberalistik. Pada dasarnya, roh dari UU PT ini adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Dibatalkannya UU BHP membuat ketujuh perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) kehilangan landasan hukum yang kuat. Karena itu, munculnya UUPT menjadi "penyelamat" bagi PT BHMN karena ketujuh PT BHMN tersebut masih tetap dapat menjalankan visi-misinya sebagai perguruan tinggi milik pemerintah yang mandiri dengan payung hukum yang kuat.
Perbedaan UU PT dengan UU BHP adalah, UU PT mengatur relasi antara warga dan negara secara lebih jelas ketimbang UU BHP, yang lebih banyak mengatur masalah tata kelola. UU PT juga lebih bisa diterima karena memberi kepastian akses bagi semua warga untuk dapat mendaftar di PTN secara gratis, adanya kebijakan affirmative action bagi warga yang tinggal di daerah pedalaman, daerah terdepan, dan tertinggal, serta adanya pasal yang mengatur mengenai pertukaran dosen antar-PTN/daerah sehingga memungkinkan terjadinya silang budaya. Itu sebabnya, UU PT ini tidak menimbulkan tentangan yang masif seperti UU BHP. 
Kedua, sidang judicial review RSBI/SBI. Kebijakan RSBI/SBI yang dikembangkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 pasal 50 (4), yang telah menimbulkan problem sosial karena sekolah-sekolah favorit hanya dapat diakses oleh golongan mampu, akhirnya digugat ke MK oleh sejumlah warga yang menghendaki agar RSBI dibubarkan dan dikembalikan menjadi sekolah milik publik. Meskipun sidang tersebut sudah berlangsung pada Maret-April lalu, sampai sekarang belum ada putusan MK mengenai hal tersebut. Diharapkan, para hakim MK akan berpihak kepada publik dengan mengembalikan RSBI/SBI menjadi sekolah negeri reguler yang dapat diakses oleh semua warga. 
Ketiga, integrasi ujian nasional dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Pemerintah akhirnya mengambil satu kebijakan untuk mengakhiri kontroversi ujian nasional dengan cara mengintegrasikan hasil ujian nasional (UN) sebagai sarana untuk seleksi masuk ke PTN. Dengan demikian, nilai UN SMA/SMK yang sebelumnya tidak berfungsi apa-apa sekarang berfungsi sebagai media seleksi bagi calon mahasiswa baru di PTN. Langkah pemerintah ini sekilas solutif, tapi sesungguhnya menimbun masalah baru tentang kredibilitas seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN. Hal itu mengingat sampai saat ini kredibilitas UN sendiri digugat; sehingga penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada nilai UN dikhawatirkan secara perlahan akan memerosotkan mutu PTN.
Keempat, penegerian beberapa perguruan tinggi swasta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah pimpinan M. Nuh ini termasuk yang rajin menegerikan beberapa PTS menjadi PTN. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatrol angka partisipasi pendidikan tinggi agar mencapai paling tidak 25 persen pada 2014. Dipandang dari tanggung jawab negara, kebijakan ini betul karena dengan penegerian PTS diharapkan animo masyarakat untuk masuk perguruan tinggi semakin besar. Namun kebijakan ini dipandang kurang tepat ketika yang dinegerikan adalah PTS-PTS di Jawa. Hal itu mengingat di Jawa sudah terlalu banyak PTN. Bahkan semua PTN terkemuka berada di Jawa. Ini tentu akan menimbulkan kesenjangan yang makin lebar antara Jawa dan luar Jawa, khususnya Indonesia timur. 
Kelima, pelaksanaan program Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Terbelakang, dan Terdepan (SM3T) merupakan bentuk mekanisme baru dalam rekrutmen calon guru yang berkualitas. Boleh jadi program ini diilhami oleh program Indonesia Mengajar yang dikembangkan oleh Anies Baswedan. Perbedaannya adalah, program SM3T berlanjut pada proses seleksi menjadi guru pegawai negeri, sedangkan Indonesia Mengajar tidak. Implementasi program SM3T ini adalah para lulusan LPTK yang lolos seleksi (pada 2011 ada 3.000 sarjana) ditempatkan di daerah-daerah terpencil di luar Jawa untuk mengajar selama setahun. Setelah selesai mengikuti program mengajar, mereka berhak mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setelah lulus mengikuti PPG, barulah mereka berhak mengikuti tes sebagai calon guru pegawai negeri. Pola rekrutmen guru yang panjang dan selektif ini diharapkan akan mampu melahirkan guru-guru yang berkualitas. Ini merupakan jawaban atas kritik terhadap kualitas guru yang rendah.
Keenam, program Uji Kompetensi Guru (UKG) dimaksudkan sebagai jawaban atas kritik terhadap kualitas guru yang telah menerima tunjangan profesi tapi kualitasnya dinilai tetap rendah. Secara logika, alur kebijakan ini betul. Sebab, orang yang telah menerima insentif berupa tunjangan profesional perlu dicek ulang tingkat profesionalitasnya. Tapi secara empiris tidak punya akar yang kuat. Mengapa? Karena proses sertifikasi guru tersebut tidak didasarkan pada kemampuan akademik setiap guru, melainkan pada senioritas mengajar dan portofolio. Keduanya ini tidak memiliki korelasi positif dengan kualitas, tapi lebih terkait dengan lamanya mengajar dan kerajinannya mengumpulkan berkas-berkas yang dapat menunjang. Dengan demikian, bila hasil UKG ternyata buruk, itu merupakan konsekuensi logis dari proses sertifikasi guru yang berbasis pada lamanya mengajar dan portofolio tersebut. 
Ketujuh, Penyempurnaan Kurikulum. Pada pengujung 2012 ini dunia pendidikan nasional diramaikan dengan rencana pemerintah untuk menyempurnakan kurikulum dari Kurikulum 2006 (KTSP= Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjadi kurikulum baru (untuk sementara disebut Kurikulum 2013). Isu yang mencuat ke permukaan adalah: 1). Kurikulum 2006 sesungguhnya baru mulai berjalan, sekolah-sekolah baru mulai paham tentang KTSP, tapi tiba-tiba sudah akan diganti dengan kurikulum baru; 2). Muncul usul integrasi pelajaran IPA-IPS ke dalam mata pelajaran lain dari kelas I hingga VI dengan alasan untuk memangkas jumlah mata pelajaran di SD yang selama ini dinilai terlalu banyak. Usul ini justru muncul pada saat hasil TIMS (Trends in Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa pemahaman sains murid-murid kita rendah. Dengan demikian, bila usul tersebut diterima, dikhawatirkan kemampuan sains kita di dunia internasional akan semakin menurun. Karena itu, alternatif yang bijak adalah integrasi IPA-IPS dengan mata pelajaran lain dilakukan di kelas I-III, sedangkan di kelas IV-VI muncul sebagai mata pelajaran tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar