Sabtu, 29 Desember 2012

Selamatkan Institusi Polri


Selamatkan Institusi Polri
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO, 28 Desember 2012



Tanpa bermaksud merendahkan polisi India, tetapi analogi citra Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sering diplesetkan lebih buruk dari perilaku polisi di film-film India. 

Sering kita saksikan polisi dalam film itu bersekongkol dengan penjahat, sehingga begitu sulit diungkap kejahatannya oleh polisi yang jujur. Dalam pemberantasan korupsi, misalnya, Polri kurang gesit,meski selalu dimotivasi dan diberi garansi oleh publik. Sangat berbeda jika menangani kasus terorisme dan penyalahgunaan narkoba, polisi begitu gesit dan agak profesional saat mengungkap jaringan dua kejahatan luar biasa itu. 

Jika perilaku malapraktik yang terkesan menghambat penanganan dugaan korupsi di intern Polri terus terjadi, bukan mustahil akan menggiring pola pikir anggota kepolisian di level bawah sebagai pembenaran. Anggota Polri yang bertugas di lapangan bisa saja terpengaruh. Bukan hanya bertarung dengan KPK, justru harapan rakyat juga diabaikan yang menghendaki institusi Polri dibersihkan dari perilaku menyimpang. 

Benahi Institusi 

Sebagai aparat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan bertugas melindungi,mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum,sepatutnya bersih dari perilaku koruptif.Akan susah membersihkan masyarakat yang menyimpang jika masih ada, apalagi banyak, personel Polri yang kotor.Salah satu soal yang sering dikeluhkan sehingga belum mampu memenuhi harapan rakyat ialah kesejahteraan personel Polri belum memadai. Lantaran gaji dianggap masih kecil, dampak negatifnya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab polisi rendah. 

Tidak sedikit oknum polisi yang cari kerja sampingan. Kerja sampingan, apalagi terkait dengan kasus yang ditangani, sudah pasti akan memengaruhi ketegasan dalam memberantas korupsi. Meski gaji kecil, tentu tidak dibenarkan melakukan kerja sampingan. Apalagi yang menyerempet suap, pungli di jalan, atau membekingi tempat-tempat prostitusi dan perjudian ilegal, bahkan bermain saat menangani suatu kasus. Memperbaiki kesejahteraan polisi merupakan keniscayaan, tetapi harus ada jaminan untuk betulbetul meninggalkan perilaku buruk. 

Jika perbaikan sudah dilakukan,tetapi masih saja ditemukan perilaku menyimpang, apalagi gajinya sudah dinaikkan, tidak ada kata ampun. Sidang profesi kepolisian dan sidang pengadilan menanti tanpa pandang bulu. Kita tidak ingin kepolisian berjalan sendiri yang boleh jadi akan tersesat di jalan terang. Harus ada upaya komprehensif untuk menguatkan sekaligus menyelamatkan institusi dari penyalahgunaan wewenang. 

Setidaknya didesain menjadi institusi yang kredibel, kuat, dan bersih dari korupsi. Dugaan korupsi yang terjadi di lingkungan Polri dan ditangani KPK, merupakan salah satu jalan terang untuk menuntun Polri merebut kembali citra dan kewibawaan. Aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah masih minimnya jumlah personel yang belum seimbang dengan jumlah penduduk. Saat ini, jumlah personel polisi sekitar 395.000 orang melayani 230 juta penduduk,sehingga rasio polisi dengan jumlah penduduk 1:580 orang.Padahal rasio ideal 1:300 orang warga.Artinya,negeri ini butuh minimal 760.000 polisi. 

Mulai dari Atas 

Harapan publik agar institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bebas dari praktik korupsi dan bisa menjadi pelindung masyarakat bukan tanpa garansi.Selaku penegak hukum seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat. Jika pembenahan personel Polri dari perilaku korup tidak segera dilakukan, diyakini korupsi akan semakin berjaya di negeri ini.Tetapi harus dimulai dari atas,karena penyelewengan wewenang di tubuh kepolisian hampir tidak pernah disebabkan dari bawah. 

Adanya beberapa pemimpin yang acap melakukan penyimpangan, seperti meminta setoran bawahan agar menduduki jabatan tertentu, atau memberi peluang bawahan memainkan kasus yang sedang ditangani, juga menjadi pendorong utama. Penyimpangan yang dilakukan polisi pada dasarnya tidak selalu disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan.

Bagi personel yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat, secara psikologis akan terbebani dengan kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku bersih. Kita berharap agar kritik yang disampaikan tidak dijadikan angin lalu,karena sungguh mewakili isi hati rakyat. Bagi rakyat, reformasi birokrasi di internal Polri selama ini belum berjalan baik. Padahal, reformasi birokrasi Polri tahap pertama adalah membangun kepercayaan (trust building). 

Reformasi tahap kedua yang kini sedang berlangsung sampai tahun 2014 adalah membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai komponen dalam masyarakat untuk mendukung fungsi pemolisian. Tetapi boleh jadi penilai ini keliru lantaran ekspektasi masyarakat terhadap peran dan fungsi Polri begitu besar. Semuanya mengarah pada harapan agar Polri menjadi teladan, tetapi karena banyak kasus yang mencoreng profesionalitas dan integritas polisi terhampar di ruang publik, citra Polri pun semakin tergerus. 

Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia. Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena bersih, jujur, profesional, dan berwibawa. Menyongsong tahun 2013, Polri harus lebih gesit menata diri, harus berani berkata “tidak pada perilaku korup kewenangan” sebagai sumber dari segala kejahatan yang menodai integritas dan kredibilitas institusi. Maka itu, wajar jika rakyat selalu terobsesi pada sosok pimpinan polisi yang bersih, jujur, dan tegas seperti Hoegeng Imam Santoso yang menjadi kepala Polri pada 1968-1971. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar