Senin, 31 Desember 2012

Taman Baca di Terminal


Taman Baca di Terminal
Agus M Irkham ;   Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
SUARA MERDEKA, 31 Desember 2012



Oktober lalu saya berkunjung ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti Tegal. Taman baca itu berada di terminal bus, menempati ruang berukuran 5 x 3 m, yang sebelumnya ruang merokok (smoking area). Fasilitas itu terbilang unik, tidak saja menyangkut lokasi tapi juga dari sisi pengunjung yang dilayani dan pengategorian buku.
Pengelola melabeli rak buku dengan tulisan ’’bacaan surga’’, ’’bacaan neraka’’, dan sebagai-nya. Label surga menadai buku-buku yang ada di rak itu berkategori buku tentang agama. Adapun label neraka adalah kumpulan buku yang mengulas kriminalitas dan sebagainya.
Banyak orang yang beraktivitas di terminal memanfaatkan fasilitas itu, dari pegawai pengelola terminal, pedagang asongan, cleaning service, penjaga WC umum, hingga pemilik toko/warung, termasuk calon pe-numpang. Taman baca itu juga menjadi tempat istirahat penumpang transit, terutama yang membawa anak kecil.
Satu hal lagi hal menarik yang harus saya ungkapkan ikhwal TBM Sakila Kerti adalah keberadaan media komunikasi terminal yang diberi nama Stanplat Post. Media itu menjadi sarana belajar menulis pengunjung tetap (orang-orang terminal) taman baca tersebut. Media seukuran tabloid ini berisi artikel, kolom, puisi dan reportase berita seputar terminal.
Pada edisi 1 Oktober 2012, Stanplat Post membuat kolom berjudul ’’Wajah Terminal Dulu dan Sekarang’’, tulisan Syaefudin, petugas kebersihan terminal.
Adapun rubrik budaya memnuat dua puisi. Satu dalam Bahasa Indonesia berjudul ’’Semangat’’, dan satunya dalam Bahasa Jawa dialek Tegal berjudul ’’Sewidak Pitu Taun’’. Dua puisi tersebut ditulis Saryadi R Lesmana, pengasong wingko babad.
Keberadaan TBM Sakila Kerti merupakan wujud nyata mende-kat-kan bahan bacaan kepada masyarakat di kota itu, terutama komunitas terminal, mengingat minat baca masyarakat cukup tinggi. Hanya karena kesulitan mengakses bacaan, menyebabkan aktivitas membaca buku hanya angan-angan.
Salah satu cara mengatasi masalah kesulitan akses tersebut adalah dengan mendirikan taman bacaan. Bahan bacaan yang kita dekatkan kepada masyarakat, ibarat buku adalah makanan, sedangkan calon pembaca adalah bayi maka makan-an harus secara pelan-pelan dan bertahap disuapkan.
Jateng Membaca
Terbukti begitu TBM Sakila Kerti dibuka, banyak anggota masyarakat, terutama komunitas terminal ber-datangan untuk membaca. Bebe-rapa wanita pedagang merasakan manfaat taman bacaaan itu. Seperti diungkapkan Wasilah (57) yang sudah 27 tahun menjadi pedagang asongan, sebelum terminal itu pindah ke tempat tersebut.
Dunia yang penuh keramahan, keteraturan, ketenangan, dan ketenteraman. Berbeda dari dunia nyata Wasilah, yang keras, harus berteriak, dan naik turun bus, berhadapan dengan penumpang yang kadang ketus. Kurang lebih hal yang sama diungkapkan Miah (68) yang sejak usia 13 tahun berjualan di terminal, mengasong nasi bungkus.
Kehadiran taman bacaan secara umum dimaksudkan merawat masyarakat yang semula buta huruf lantas sudah melek huruf tidak kembali menjadi buta huruf lantaran tidak pernah mempraktikkan.
Bertalian dengan buta huruf atau aksara ini, Jateng menempati peringkat II dalam jumlah penduduk penyandang angka buta aksara, setelah Jatim.
Karena itu,  kehadiran taman bacaan masyarakat, termasuk Sakila kerti sangat relevan dengan upaya menjaga kelompok masyarakat yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Dalam konteks regional, inisiatif pendirian taman bacaan itu merupakan bagian dari upaya menyukseskan Gerakan Jateng Membaca yang dicanangkan Gubernur Bibit Waluyo awal September 2012.
Taman bacaan di ruang publik juga memberi inspirasi pada ruang publik lain, seperti ruang tunggu di stasiun, pelabuh-an, bandara, rumah sakit, dan mal. Terutama terminal lain di provinsi ini. Pasalnya saat ini untuk urusan membaca buku, masyarakat masih harus didekati dan ’’disuapi’’. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar