Senin, 31 Desember 2012

Transformasi Ekonomi 2013


Transformasi Ekonomi 2013
A Prasetyantoko ;   Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 31 Desember 2012



Tak mudah memproyeksikan perekonomian 2013 mengingat masih begitu banyak faktor ketidakpastian. Dampaknya, estimasi pertumbuhan ekonomi oleh banyak lembaga memiliki rentang cukup lebar. Komite Ekonomi Nasional memperkirakan pertumbuhan 2013 berkisar 6,1-6,6 persen, sementara pemerintah masih tetap mempertahankan proyeksi 6,8-7,2 persen. Proyeksi Bank Indonesia agak lebih fokus pada kisaran 6,3-6,5 persen.
Faktor apa saja penyebab ketidakpastian proyeksi ekonomi tahun depan? Perekonomian Amerika Serikat pada pengujung tahun ini diwarnai ancaman jurang fiskal (fiscal cliff) atau menumpuknya beban fiskal akibat kenaikan pajak dan pengurangan defisit sekaligus. Media menyindir, Amerika Serikat tengah merayakan Christmas 2012 sekaligus menghadapi Cliffmast 2013.
Sementara di Benua Eropa tengah terjadi persaingan dalam penyelamatan ekonomi domestik mereka. Beberapa negara mulai menawarkan izin tinggal tetap bagi warga asing yang membeli properti dalam nilai tertentu. Spanyol, misalnya, memberikan izin tinggal permanen bagi warga asing yang membeli properti seharga 160.000 euro (sekitar Rp 2 miliar). Sementara Portugal mematok harga lebih rendah untuk lebih menarik orang kaya asing. Hampir semua negara maju tengah bergulat dengan persoalan fiskal, yang salah satunya dipicu oleh kredit macet di sektor properti.
Sebenarnya, di tengah-tengah ketidakpastian, perekonomian Indonesia relatif pasti bisa tumbuh di atas 6 persen pada 2013 sehingga apa pun alasannya kita memiliki momentum untuk melakukan transformasi ekonomi guna meningkatkan daya saing jangka panjang. Sayangnya, kita mengidap kecenderungan paling sering dialami negara dengan perekonomian stabil, yaitu keengganan melakukan perubahan. Tanpa usaha keras saja ekonomi sudah tumbuh cukup baik, untuk apa melakukan transformasi yang sering kali menyakitkan?
Itulah mengapa Schumpeter mengatakan, saat paling baik melakukan inovasi justru pada saat krisis. Sebaliknya, sulit mengharapkan inovasi ketika perekonomian sedang booming. Jika stabilitas makro dan pertumbuhan di atas 6 persen yang kita alami dianggap prestasi, maka bisa dipastikan kebijakan akan cenderung bersifat status quo dan business as usual. Padahal, mestinya sekarang inilah waktu yang paling baik melakukan transformasi sebelum momentum ini hilang.
Pertama, kita membutuhkan transformasi fiskal. Sering kali besaran subsidi yang terus membengkak akibat melonjaknya kuota bahan bakar minyak (BBM) dipertentangkan dengan alokasi belanja modal (capital expenditure) yang kecil. Apakah jika belanja modal ditambah dari pengurangan subsidi akan bisa terserap dengan baik? Sudah bertahun-tahun, kemampuan penyerapan anggaran belanja modal sekitar 80 persen saja.
Kedua, terkait kemampuan penyerapan anggaran diperlukan transformasi kelembagaan dalam tubuh birokrasi. Penyederhanaan aturan, terutama dalam penyusunan anggaran, diperlukan supaya kementerian dan lembaga bisa segera menjalankan rencana kerja mulai dari awal tahun. Di samping itu, peningkatan kapasitas birokrasi tampaknya juga sangat diperlukan. Reformasi birokrasi, meskipun tampaknya sederhana, faktanya begitu kompleks dan berjalan sangat lamban.
Ketiga, dalam rangka memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki, transformasi angkatan kerja sangat diperlukan. Merujuk laporan McKinsey, jika kita ingin tumbuh sekitar 7 persen per tahun, maka harus ada peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 60 persen dari level sekarang. Bonus demografi akan mulai surut tahun 2030-an. Maka, waktu kita sebenarnya tidak banyak, tak lebih dari 20 tahun untuk melakukan transformasi kapital manusia.
Keempat, transformasi sistem logistik. Indeks daya saing kita terus melorot dari tahun ke tahun. Jika pada 2010 kita berada di peringkat ke-44, survei tahun berikutnya melorot pada peringkat ke-46. Pada 2012-2013 ini, peringkat daya saing global kita berada pada posisi ke-50 dari 144 negara. Namun, yang lebih mengkhawatirkan lagi, daya saing infrastruktur kita begitu parah. Infrastruktur pelabuhan kita berada pada peringkat ke-104. Soal sistem logistik di pelabuhan, kita nyaris termasuk barisan terburuk.
Meskipun prospek perekonomian kita bagus, jangan sampai kita terlena. Jika saja kita mau fokus pada empat transformasi tersebut, niscaya akan terjadi perubahan penting dalam jangka menengah/panjang. Namun, jika gagal, sangat mungkin kita akan menjadi bangsa yang masuk dalam skenario jebakan negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).
Meski pemerintah sudah sangat paham tentang risiko tersebut, tampaknya belum ada konsensus kuat untuk menghindari jebakan tersebut. Ada kekhawatiran besar, pada 2013 semua pihak saling menunggu. Ada dua hal pokok yang seharusnya segera direspons. Pertama, soal melonjaknya subsidi akibat kenaikan kuota BBM yang diperkirakan lebih dari 48 juta kiloliter pada 2013 nanti. Kedua, soal kekisruhan akibat kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang sangat signifikan itu.
Jika tidak segera terbentuk konsensus baik di bidang kuota BBM dan besaran subsidi maupun di bidang upah, sangat mungkin sepanjang 2013 kita akan sibuk dengan polemik. Polemik soal BBM bisa berubah menjadi ketegangan antara pemerintah dan parlemen, sementara polemik UMP bisa meningkatkan tensi konflik pengusaha dan buruh.
Tanpa kepemimpinan yang kuat dari pemerintah, kita akan kehilangan momentum sangat penting dalam rangka melakukan transformasi ekonomi jangka menengah/panjang. Kita hanya akan sibuk dengan urusan jangka pendek yang melelahkan. Pada saat yang bersamaan, tidak terjadi transformasi yang signifikan dalam perekonomian kita. Artinya, kita tidak akan ke mana-mana.
Sementara negara lain saling berlomba memperbaiki situasi domestik mereka, kita sibuk dengan polemik di dalam negeri. Jangan sampai kita selalu menjadi bangsa yang terlambat dalam merespons situasi. Telah banyak kesempatan yang hilang. Jangan sampai, kesempatan emas ini juga hilang begitu saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar