Sabtu, 29 Desember 2012

Tumpang Tindih Audit BPK dan BPKP


Tumpang Tindih Audit BPK dan BPKP
Joko Riskiyono ;  Pegiat Hukum Kenegaraan
Laboratorium Hukum dan Konstitusi FH USU Medan
JAWA POS, 26 Desember 2012



KEDUDUKAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diatur dengan kukuh di konstitusi. Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyebut: Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, selanjutnya hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya dan hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan undang-undang. 

Keanggotaan BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan disahkan presiden. Pimpinan dipilih dari dan oleh anggota berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Dari ketentuan di dalam UUD 1945 ada dua perkembangan baru yang terjadi dengan BPK, yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan menyangkut perluasan jangkauan atas pemeriksaannya secara fungsional. 

Sebelum amandemen UUD 1945 BPK hanya memiliki kantor perwakilan di beberapa provinsi, karena kedudukan kelembagaan hanya terkait oleh fungsi pengawasan oleh DPR terhadap kinerja pemerintahan di tingkat pusat. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD, dan pengertian keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan hanya terbatas pada APBN. Karena pelaksanaan APBN itu terdapat juga di daerah-daerah, diperlukan kantor perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu. 

Bila dibandingkan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk pada masa pemerintah Orde Baru, struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. Keberadaan BPKP secara struktur organisasi menjangkau daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 

Untuk mengatasi tumpang tindih dan dualisme pengawasan oleh BPK dan BPKP, dalam pasal 23E ayat (1) UUD 1945 ditegaskan hanya ada satu badan yang bebas dan mandiri. Karena itu, keberadaan BPKP mestinya dilikuidasi dan perannya cukup dilaksanakan oleh BPK. Apalagi, menurut ketentuan dalam pasal 23G yang berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Tetapi, sampai hari ini negara belum berniat melikuidasi BPKP. 

Menindaklanjuti amanat konstitusi UUD 1945 tentang keberadaan BPK, pemerintah dan DPR mengundangkan UU 15/2006 tentang BPK. Di dalamnya, BPK berwenang: 1. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dikelola pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia (BI), BUMN, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; 2. Menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya; 3. Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut, diserahkan kepada presiden, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. 

Objek pemeriksaan oleh BPK yang sebelumnya terbatas pada lembaga negara dan atau pemerintahan yang merupakan subjek hukum tata negara dan atau subjek hukum administrasi negara mencakup pula organ-organ yang merupakan subjek hukum perdata, seperti perusahaan daerah, BUMN, BHMN, BLU (badan layanan umum), atau perusahaan swasta yang di dalamnya terdapat kekayaan negara. 

Untuk menghindari tumpang tindih pemeriksaan antara BPK dan BPKP, meski tidak selevel, perlu diadakan memorandum of understanding oleh kedua lembaga tersebut dalam menjalankan peran dan fungsinya. 

Persoalan yang sering terjadi di antara lembaga negara dan internal pemerintah yaitu kurangnya koordinasi dalam bekerja untuk saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antarlembaga atau organ negara dalam negara demokratis yang berdasar atas hukum. Padahal, mekanisme itu merupakan salah satu mekanisme untuk menegakkan prinsip constitusionalism untuk menyejahterakan rakyat. 

Restrukturisasi dan refungsionalisasi ini untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan fungsi pengawasan. Keberadaan BPKP yang diatur melalui keputusan presiden sampai saat ini masih bersifat parsial, mengingat kelembagaaan pengawas yang masih berada di bawah organ yang diawasi tidak memenuhi filosofi objektivitas dalam pelaksanaan pengawasan.

Agar pengawasan berjalan efektif, efisien, dan tidak terjadi tumpang tindih di antara BPK dan BPKP, ada dua opsi yang bisa diajukan. Pertama, menaikkan status BPKP menjadi lembaga setingkat dengan kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, sebagai internal control (pengawas internal) apabila tidak dapat memenuhi harapan untuk bertindak korektif terhadap penyimpangan dan pemborosan serta mandul dalam pengawasan gagal mengefektifkan dan mengefisienkan anggaran.

Kedua, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan digantikan fungsinya oleh BPK. Ditegaskan bahwa, "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri yang berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi". 

Selain tumpang tindih dan dualisme pemeriksaan, terdapat pemborosan anggaran sehingga melikuidasi BPKP cukup beralasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar