Senin, 28 Januari 2013

Air Mata Koruptor


Air Mata Koruptor
Indra Tranggono  Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
KOMPAS, 28 Januari 2013



Seorang terdakwa korupsi uang negara menangis ketika dituntut hukuman belasan tahun. Namun, bukan korupsi yang ia sesali, melainkan keputusannya masuk sebuah partai politik yang memerosokkan dirinya. Siapa bilang korupsi itu selalu menyiksa batin para koruptor?

Setengah menyindir, orang Madura bilang, ”Ya ndak tentu Mas, kadang tersiksa, kadang enggak. Tergantung kepentingan. Perasaan itu, kan, bisa disetel!”
Air mata koruptor dapat kita pahami sebagai teks emosional yang memunculkan banyak tafsir. Mungkin air mata itu tak lebih dari gimmick (tipu muslihat) psikologis yang dikapitalisasi demi peristiwa dramatik. Tujuannya, meraih simpati atau menuai iba dari jaksa atau hakim. Air mata juga mungkin media untuk menyampaikan pesan kepada publik bahwa koruptor masih ”konsisten” jadi manusia yang punya hati nurani. Koruptor mencoba menampik stigma buram atas dirinya: misalnya distigma sebagai makhluk pengerat atau predator duit rakyat.

Koruptor pasti keberatan jika air mata yang ditumpahkan itu dimaknai sebagai air mata buaya atau air mata tikus. Di balik moralitas mereka yang koyak-moyak, mereka tetap saja merasa punya martabat sebagai manusia. Namun, bagi publik, hal itu tak lebih dari ”martabat” rombengan yang hanya dihormati komunitas bandit atau mafia.

Makhluk Paling Istimewa

Dalam sistem kekuasaan yang memuja kleptokrasi, para koruptor adalah makhluk paling istimewa. Berasal dari komunitas terkutuk, mereka telah menjelma menjadi entitas kriminal yang ”terhormat” dan ”sakti mandraguna”. Sekali mereka menguap, miliaran, bahkan triliunan, uang negara pun terisap. Mulut mereka selebar rentangan pulau-pulau Nusantara. Daya isap mereka lebih tinggi daripada vacuum cleaner yang paling canggih sekalipun.

Tangan-tangan mereka pun jauh lebih hebat daripada tentakel-tentakel gurita dalam menggaruk uang negara. Brankas mereka besar dan luas tanpa batas sehingga bisa menampung berapa pun uang APBN/APBD yang mereka garuk.

Bagi para koruptor sejati, korupsi sering dianggap sebagai ”treatment psikologis” untuk memacu adrenalin. Tumpukan uang dan gelimang kemewahan memicu adrenalin meluap dan berbuncah-buncah. Rasa bersalah, apalagi rasa berdosa, pun lenyap. Yang ada kemudian adalah ketergantungan atau ketagihan korupsi.

Mereka pun selalu sakau. Sehari saja tak korupsi, tubuh terasa loyo, gemetar, dan mata berkunang-kunang. Apa boleh buat. Di negeri yang dicengkeram para bandit ini, korupsi diam-diam telah berubah menjadi semacam ”jalan hidup”.

Untuk menghadapi sangkaan, tudingan, dan atau tuduhan, para koruptor juga memiliki ilmu berdalih yang sangat canggih. Mereka mampu membangun argumentasi dengan kadar ”ilmiah” sangat tinggi. Mereka juga bisa mengerahkan para politisi-intelektual atau intelektual partisan untuk membela diri dengan berbagai rasionalisasi berbasis teori.

Bahkan, ketika koruptor ditangkap KPK, tetap saja muncul pembelaan dan pembenaran. Muncullah ”fatwa” (pernyataan) yang menggelikan: tidak semua tindakan korupsi bisa disalahkan. Sebab, sangat mungkin sang pelaku korupsi tidak mengerti dan menyadari bahwa apa yang dilakukan itu adalah korupsi. Bahkan sang pemberi ”fatwa” itu menandaskan, negara harus memberikan bantuan kepada pejabat yang ”tidak sengaja” melakukan korupsi.

Atas ”fatwa” itu, rakyat hanya bisa mengelus dada. Hati rakyat terasa ditikam ironi paling tajam, di tengah gegap gempita upaya pemberantasan korupsi.

Ambruknya ”Civil Society”

Kesaktian para koruptor di negeri ini tidak hanya menjangkau dan mencengkeram para penegak hukum bermental korup. Mereka juga telah menguasai setiap sel, jaringan, aliran darah, dan tarikan napas siapa pun, dengan profesi apa pun. Kini, korupsi tak hanya menjadi kejahatan sistemis, tetapi sudah mencapai tingkat holistis. Ia telah menusuk jantung kebudayaan dan menyebarkan miliaran bakteri ke otak dan jiwa masyarakat bahkan bangsa.

Cita-cita terwujudnya civil society, masyarakat madani, pun pelan-pelan ambruk digantikan hadirnya ”masyarakat serigala” yang dibungkus citra kesantunan, kecendekiaan, pengabdian, dan kejujuran.

Ketika perubahan di negeri ini terjadi dari rezim otoriter ke rezim demokratis, rakyat berharap civil society itu segera terwujud, antara lain karena penguatan parlemen dan masuknya banyak tokoh sipil prodemokrasi dalam pemerintahan. Namun, terbukti demokrasi hanya jadi pintu masuk bagi sebagian besar petualang politik ”bermental serigala”. Mereka menganggap rakyat tak lebih dari domba-domba lemah yang layak diterkam dan dikerkah. Absurdnya, sambil menerkam, mereka melolong tentang kejujuran, keadilan, atau keberpihakan kepada rakyat. Padahal, rakyat menjerit dan mengerjat-ngerjat dalam gigitan dan koyakan taring-taring mereka.

Menguatnya ”masyarakat serigala” di level elite kekuasaan membuktikan bahwa ternyata mereka tak lebih dari pemburu kamukten (kejayaan secara material dan rasa hormat sosial). Topeng-topeng kepalsuan mereka kini telah retak dan pecah dan tampaklah jati diri mereka: kebengisan dan kerakusan.

”Masyarakat serigala” tak hanya bisa melolong, menerkam, mengerkah, dan mengoyak-koyak negara-bangsa, tetapi juga bisa (berakting) menangis untuk menipu siapa saja yang masih mampu dan berani memelihara akal sehat dan hati nurani.
Air mata para koruptor tak lebih dari cairan yang melumuri kejahatan. Air mata itu mengalir bukan dipicu kesedihan hati dan perasaan, sebab dua hal itu memang tidak lagi dimiliki para koruptor alias predator. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar