Selasa, 29 Januari 2013

Cracking Televisi


Cracking Televisi
Rhenald Kasali Ketua Program MM UI
JAWA POS, 29 Januari 2013



SAYA menggunakan istilah cracking untuk menggambarkan rekahan-rekahan (cracks) yang muncul dari berbagai perubahan dalam dekade ini. Setelah menulis buku Cracking Zone (2011), Cracking Values (2012), dan Cracking Entrepreneurs (2012), minggu ini saya mulai memasukkan catatan terakhir buku Cracking Behavior ke tangan penerbit, yang menggambarkan rekahan-rekahan yang muncul dari cracking yang terjadi di seputar televisi.

Tak dapat dimungkiri bahwa hidup kita begitu kuat dipengaruhi oleh televisi. Bukan tidak mustahil cara Anda beriklan, berpromosi, ber-public relations, bahkan membangun personal branding dan melakukan inovasi pun sangat dipengaruhi oleh rekahan-rekahan yang ditimbulkan dunia televisi. Saya juga mengharapkan perubahan yang lebih besar bisa dipicu oleh televisi publik kita, TVRI.

Studi yang dilakukan MTV Asia menemukan, waktu rata-rata anak muda Asia telah berubah dari 24 jam menjadi 38 jam, lalu menjadi 46 jam sehari. Dan sepanjang waktu itu, waktu terbanyak dipakai kaum muda di depan TV, walaupun cara menontonnya sudah berubah, dari menonton pasif dan aktivitas tunggal menjadi aktif, berkomentar, melakukan penilaian, menyebarluaskan, hingga multitasking. Anda bisa mengatur sendiri kapan dan di mana ingin menonton. Diunggah ke situs video dan dikomentari di social media.

Social TV 

Maka, peradaban televisi pun berubah menjadi social TV. Perhatikanlah gejala citizen journalism yang di Indoneia dimulai dari sebuah rekaman video amatir mahasiswi kedokteran Bandung yang tengah berlibur di Aceh, Cut Putri. Dia merekam momen badai tsunami yang terjadi begitu cepat serta videonya disiarkan Metro TV, CNN, BBC, dan sebagainya. Sejak itu, televisi mulai membuka akses informasi kepada publik dengan lebih luas.

Di pihak lain, program hiburan dan kontes yang dulu sangat mengandalkan penilaian dewan juri yang terdiri atas para ahli kini beralih ke tangan pemirsa. Dari sekadar perolehan SMS, sekarang melebar sampai ke tayangan situs video YouTube, Twitter, Facebook, Path, Pinterest, Google Plus+, Instagram, Multiply, MySpace, dan sebagainya. Dengan demikian, televisi bisa merasakan denyut nadi suara pemirsanya, berkomunikasi lebih intens, dan memberikan ruang bagi mereka yang tak sempat menonton.

Di luar negeri, BBC menggunakan on air Twitter hashtag sehingga pemirsanya bisa memberikan komentar dan mendeskripsikan show yang ditayangkan. Produsen TV pun mulai menempatkan social media di layarnya, misalnya Sony Google TV. Di dalam masyarakat sendiri, sebuah berita penting tidak otomatis menjadikannya mampu menggerakkan perubahan bila tak melibatkan gabungan dari multimedia. Viral sensation berkembang dari masa ke masa dan inilah saatnya social TV.

Impak Horizontal 

Rekahan lain juga terjadi dari hadirnya TV-TV swasta. Sejak 24 Agustus 1962 hingga pertengahan November 1988, masyarakat Indonesia hanya bisa menikmati tayangan dari satu stasiun TV, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI). Retakan (cracking) pertama industri televisi terjadi pada 13 November 1988 dengan hadirnya stasiun TV swasta pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dengan siaran percobaannya. Kemudian, pada Agustus 1989 RCTI pun memulai siaran komersialnya, namun masih bersifat terbatas. Selanjutnya, kehadiran TV swasta tak dapat direm. Ia begitu cepat menjamur di pusat maupun daerah.

Untuk memberikan gambaran tentang dampak adanya industri lain, saya ingin mengajak Anda ke kawasan wisata Pantai Ancol di Jakarta. Logikanya, secara bisnis Ancol tak punya kaitan sama sekali dengan persaingan antara sesama TV swasta. Nyatanya tidak. Ancol pernah merasakan imbas dari hadirnya stasiun TV swasta.

Budi Karya Sumadi, direktur utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, perusahaan yang mengelola kawasan wisata Ancol, bercerita bahwa salah satu sumber penerimaan Ancol datang dari pertunjukan musik di panggung terbuka yang digelar di sana. Setiap kali ada pertunjukan musik, pengunjung berduyun-duyun datang ke Ancol. Untuk bisa menyaksikan pertunjukan, mereka mesti membeli tiket pertunjukan dan tiket masuk Ancol. Itulah salah satu sumber penerimaan Ancol. Jika sebelum menonton pertunjukan para pengunjung berkeliling Ancol dan menikmati sejumlah wahana di sana, penerimaan Ancol tentu bertambah.

Namun, penerimaan dari pertunjukan musik itu kemudian merosot dengan tajam. Ada apa? Rupanya, pengunjung kian enggan datang ke Ancol untuk menyaksikan pertunjukan musik. Untuk apa repot-repot ke sana kalau pertunjukan musik kini bisa dinikmati lewat layar kaca. Memang kian banyak stasiun TV swasta yang menayangkan acara pertunjukan musik, baik berupa rekaman atau malah siaran langsung. Lagu-lagunya masih baru serta penyanyi atau musisi yang ditampilkan pun lebih banyak dan terkenal. Jadi, tak usah repot-repot datang ke Ancol hanya untuk menikmati pertunjukan musik atau penampilan dari artis-artis terkenal. Semua bisa disaksikan dari rumah. Ancol pun jadi sepi pengunjung.

Kondisi semacam Ancol juga pernah dialami para pengusaha bioskop, termasuk jaringan bioskop milik Grup 21, yang juga menjadi salah satu pemilik stasiun TV swasta. Ketika stasiun-stasiun TV swasta marak bermunculan pada periode 1989-2000-an, gedung-gedung bioskop menjadi sepi pengunjung. Para penonton menjadi lebih suka menonton TV di rumah bersama keluarga. Apalagi, sebagian besar stasiun TV swasta juga kerap menayangkan film-film buatan Hollywood, kendati bukan film-film terbaru.

Begitulah, persaingan di antara sesama stasiun TV swasta ternyata berimbas ke mana-mana. Ia berimbas ke Ancol, ke bisnis bioskop, bisnis radio (berapa banyak orang yang masih suka mendengarkan radio pada malam hari, sementara melalui televisi mereka bisa mendengarkan suaranya dan menyaksikan gambarnya?), bisnis media cetak (orang menjadi lebih suka menonton ketimbang membaca), dan bisnis-bisnis lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar