Rabu, 30 Januari 2013

Drama Politik Nasdem


Drama Politik Nasdem
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 30 Januari 2013



Kongres I Partai Nasional Demokrat (NasDem) di Jakarta, 25-26 Januari lalu, secara aklamasi menetapkan Surya Paloh sebagai ketua umum. Di sisi lain, terjadi aksi pengunduran diri banyak kader partai yang terpicu oleh mundurnya Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo, Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq, Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Haq, dan Ketua Bidang Internal Endang Tirtana. Mereka menolak rencana Surya Paloh tampil sebagai ketua umum karena bertolak belakang dengan hakikat restorasi.
Sebagai partai baru peserta Pemilu 2014, perpecahan di tubuh Partai NasDem ini sangat dramatik. Persoalannya bukan sekadar pecahnya kongsi Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo, yang sama-sama berlatar belakang pengusaha dan pemilik media, melainkan jauh lebih kompleks. Pertama, secara substantif, wacana restorasi atau gerakan perubahan NasDem dipertanyakan. Hal ini terbatas dari alasan mundurnya faksi Hary Tanoe serta kader-kader lain di pusat dan daerah. 
Kedua, secara teknis operasional, Partai NasDem kehilangan sumber daya politik, tepatnya finansial dan media politik strategisnya. Daya syiar partai tentu tidak sehebat kalau kongsi dua tokoh di atas tidak pecah. Penjelasan lain, ketika faksi Hary Tanoe mundur, struktur insentif partai bergeser. Implikasinya, proyeksi harapan banyak kader pun turut bergeser.
Ketiga, publik segera sinis melihat konflik partai itu. Sinisme itu banyak tertuju pada Surya Paloh, yang teropinikan sebagai sosok ambisius dan tak mengindahkan etika demokrasi internal. Keempat, rapuhnya soliditas internal elite NasDem dapat berimplikasi kurang baik bagi masa depan partai. 
Partai baru memang membutuhkan tokoh kuat, seperti Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat. Tapi ketokohan Surya Paloh tak sekuat Yudhoyono. Pasca-kongres, faksi dialah yang paling kuat. Namun, manakala demokrasi checks and balances tidak tampak tecermin optimal di lingkup internal NasDem, masa depannya cukup riskan.
Ambivalen
Ketidaksolidan NasDem jelas terkait dengan berubahnya rencana awal penggagas dan penggeraknya. Dulu, ketika NasDem berdiri, para tokohnya ramai-ramai mengklarifikasi bahwa partai ini tidak akan berubah menjadi partai politik, melainkan ormas yang bervisi perubahan. Ketika beberapa aktor organisasi kemasyarakatan berinisiatif mendirikan partai dengan nama yang sama, publik diyakinkan bahwa Partai NasDem berbeda dengan yang ormas. Manuver itu cukup membingungkan. Bagaimana mungkin sebuah ormas dan partai demikian "identik"? Kesan ambivalensi memang tak terhindarkan sejak awal hadirnya Partai NasDem.
Karena itu, yang menjadi tantangan paling utama NasDem setelah keluarnya faksi Hary Tanoe ialah menghilangkan kesan ambivalen yang tidak mudah. Ketika wacana restorasi terkikis oleh kritik dan resistansi dari para kader yang kecewa, perbaikan citra partai dapat dilakukan dengan menonjolkan integritas aktor-aktornya. Ikon yang paling menonjol dari NasDem pasca-kongres ialah Surya Paloh sendiri. Apakah ia mampu dipandang sebagai sosok yang konsisten dan berintegritas oleh publik?
Jawaban dari pertanyaan itu membutuhkan penelitian yang saksama. Namun yang perlu diperhatikan dan tidak bisa diremehkan dalam ikonografi politik adalah derajat protagonis dan antagonis para aktor. Melalui wacana restorasi atau perubahan, Surya Paloh dan para tokoh utama NasDem mencitrakan diri sebagai aktor-aktor protagonis. Tapi, toh publik luaslah yang menilai mereka. Jangan-jangan, derajat antagonisnya yang mengemuka. Kalau ini yang terjadi, sinetron Partai NasDem tidak menarik sejak awal.
Kini, apakah NasDem bener-benar telah layu sebelum berkembang? NasDem sepeninggal Hary Tanoe memang tampak segera layu, tapi belum tentu tidak bisa berkembang. Para tokoh tersisa masih berkesempatan mengembangkan partai dengan menciptakan struktur insentif baru yang tetap kuat daya tariknya. Kemampuan partai menghimpun kader baru yang populer dan electable merupakan indikatornya. Namun, ketika persaingan politik demikian tajam, tidaklah mudah merekrut yang populer dan electable itu.
Bagaimanapun, NasDem adalah fenomena. Eksperimen politik Surya Paloh dan kawan-kawannya itu merupakan contoh model, bagaimana sekelompok elite politik membentuk partai dengan metode pendirian ormas. Dengan bentuk ormas, NasDem merekrut banyak tokoh lintas partai. Para tokoh yang bergabung banyak yang menyisakan syarat bahwa, jika NasDem menjadi partai politik, mereka akan mundur. Misalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mundur ketika aksi pendirian partai mengemuka. Tokoh-tokoh lain juga banyak yang sayonara.
Kini publik memang perlu menelisik siapa saja yang jelas-jelas mau bergabung dengan Partai NasDem. Perlu pula diperjelas siapa-siapa yang berkiprah dalam ormas-nya. Publik memang agak dibingungkan oleh eksperimen ormas dan partai ini. Karena itu, agar tidak menimbulkan kesan Partai NasDem kamuflatif, para aktornya perlu menegaskan kembali penjelasan di seputar ormas dan partai yang menjunjung jargon restorasi itu.
Masa Depan
Walaupun beberapa hasil polling telah "menggambarkan", dan perlu dicek lagi kondisinya setelah Hary Tanoe keluar, sebelum pemilu aktual digelar, NasDem masih prospektif. Asumsinya, semua partai dipandang prospektif justru karena peluang masih terbuka. Ketika layar terkembang, kemampuan nakhoda dan para awak-lah yang menentukan, seberapa cepat laju elektabilitas partai. Nah, apakah Surya Paloh, Patrice Rio Capella, Ferry Mursidan Baldan, dan kawan-kawan mampu bergerak cepat dalam berkemudi? Pasca-kongres hingga pemilu adalah ujian yang sebenarnya.
Pilihannya sebagai partai terbuka adalah salah satu kelebihan. Ia bisa menampung politikus dari partai lain, spesifiknya dari Partai Golkar. NasDem hadir setelah Surya Paloh gagal merebut Golkar pada Munas VIII di Pekanbaru pada akhir 2009. Kader Golkar yang "kecewa" ataupun "tidak mendapat tempat" bisa memanfaatkan NasDem. Tetapi yang harus dipertimbangkan betul adalah, apakah mereka mampu meraup potensi pemilih Golkar? Atau, lebih luas, apakah NasDem mampu secara signifikan meraup pangsa pasar politik catch-all partai-partai terbuka?
Kalau tidak cermat, NasDem bisa menjadi partai "keranjang sampah". Tapi sebaliknya, ia juga berpeluang "menyepuh" sosok-sosok yang diajukannya sebagai calon anggota legislatif dan tampil sebagai partai politik yang dipertimbangkan.


1 komentar: