Sabtu, 26 Januari 2013

Hikmah Air Bah


Hikmah Air Bah
Daoed Joesoef ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 26 Januari 2013



Bagi Indonesia, tahun 2013 diawali dengan musibah air bah, tak terkecuali ibu kota negara, di mana air sampai masuk Istana Negara.
Begitu rupa hingga wilayah Jakarta dinyatakan darurat banjir. Betapa tidak. Bah jantan segera disusul bah betina bertubi-tubi. Pemberitaan televisi di Ibu Kota pada Kamis (17/1) didominasi gambaran visual tentang banjir. Salah seorang penyiar yang ditayangkan dengan latar belakang Bundaran Hotel Indonesia mengatakan bahwa publik di sekitarnya mempertanyakan sebab musabab musibah air ini.
Setiap orang yang diwawancarai, kalau tak angkat bahu, rata-rata mencerca orang lain, terutama birokrat, dan tak ada seorang pun yang menyalahkan diri sendiri. Mereka semua merasa dirinya ”korban” salah urus para pejabat.
Mawas Diri
Dalam menghadapi musibah ini, kita, terutama warga DKI, sebaiknya bersikap mawas diri. Siapakah ”kita” ini?
Kita, pertama, adalah penduduk yang bermukim sampai ke bantaran sungai, bahkan membangun gubuk di atas air dan kemudian seenaknya membuang sampah ke sungai yang dibelakanginya.
Kita, kedua, adalah petugas dinas terkait, yang bertanggung jawab atas kondisi permukiman di wilayahnya. Penduduk membuang sampah di sungai, selokan, dan gorong-gorong karena tidak disediakan bak sampah yang memadai. Kalaupun ada, petugas kebersihan datang tidak teratur sehingga bak sampah menjadi sumber bau yang menyengat dan lalat hijau yang menjijikkan. Sementara itu, penghuni gedongan mentereng semakin banyak yang menutup halamannya dengan semen hingga air hujan tidak terserap oleh tanah.
Kita, ketiga, adalah para penguasa daerah otonom di sekitar Jakarta yang mengambil kebijakan pembangunan begitu rupa sehingga Ibu Kota selalu menampung banjir dari daerah hinterland yang rata-rata berposisi topografis jauh lebih tinggi dari permukaan laut dibandingkan dengan Jakarta.
Kita, keempat, adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang kebijakan pembangunannya tidak merata hingga menyentuh semua desa yang berada di wilayah administratifnya. Tidak heran kalau mereka lalu berbondong-bondong mencari rezeki di Ibu Kota walaupun mengetahui bahwa hidup di Jakarta tidak gampang.
Kita, kelima, adalah para pejabat administratif-politis tertinggi, baik yang berkuasa di DKI maupun di daerah hulu Ibu Kota, yang bekerja tidak berdasarkan berpikir sistemik.
Kita bisa saja mengutuk cuaca ekstra buruk yang menyusahkan dewasa ini. Namun, bekerjanya alam dapat memberikan kita pelajaran yang kondusif bagi penanganan yang baik mengenai masalah kehidupan sehari-hari.
Coba lihat! Awan bertumpuk, langit menggelap, begitu dedaunan di pohon menengadah, kita tahu akan turun hujan. Kita juga tahu bahwa sesudah badai berlalu, air bah akan menyusup ke Bumi menjadi air tanah di kejauhan sebelah hilir sana dan langit cerah kembali keesokan harinya.
Peristiwa-peristiwa tersebut berjarak dalam term waktu dan ruang. Walaupun begitu, semuanya saling terkait dalam pola yang sama. Setiap peristiwa punya pengaruh pada yang lain, pengaruh yang biasanya luput dari pandangan. Kita dapat memahami sistem hujan-badai hanya dengan merenungi keseluruhannya, tidak hanya terbatas pada bagian individual dari (keseluruhan) pola.
Kita lama-kelamaan terbiasa, dibiasakan oleh pembelajaran spesialistik, memecah-belah masalah, memfragmentasi dunia. Perbuatan ini kelihatannya membuat tugas dan subyek menjadi lebih terkendali, more manageable.
Namun, kita harus membayar harga mahal yang tersembunyi. Kita tidak bisa lagi melihat konsekuensi-konsekuensi perbuatan kita, kita kehilangan, menurut Peter M Senge, ”our intrinsic sense of connection to a larger whole”.
Apabila kita lalu berusaha melihat gambaran besarnya (the big picture), kita berusaha merakit ulang fragmen-fragmen dalam benak kita untuk mendaftar dan mengorganisasi bagian-bagian yang terpisah-pisah itu. Namun, upaya ini percuma karena, menurut fisikawan David Bohm, sama saja dengan merakit ulang fragmen-fragmen dari sebuah cermin pecah dan kemudian menatapnya guna mendapatkan refleksi yang benar. Bagaimana mungkin? Maka, akhirnya kita hentikan begitu saja upaya melihat keseluruhan tadi.
Manusia Musuh Alam
Musuh, kambing hitam dari banjir, bukan berada di luar sana, melainkan berada dalam diri kita. Kita tidak mau belajar dari bekerja alam. Bumi adalah satu keseluruhan utuh, tak terbagi-bagi, sama dengan masing-masing kita yang adalah an indivisible whole. Alam, termasuk kita, tidak terbuat dari bagian-bagian di dalam keseluruhan. Ia terbuat dari keseluruhan di dalam keseluruhan. Semua tapal batas, lokal dan nasional, adalah arbitrer. Kitalah yang menciptakannya, mengukuhkannya dengan ide otonomi muluk, tetapi mentah dan lalu, sungguh ironis, kita megap-megap terjebak di satu.
Marilah kita membiasakan diri berpikir sistemik, terutama apabila merasa terpanggil untuk memimpin negara-bangsa, yang mengambil keputusan atas nama rakyat. Systems thinking adalah berpikir holistik, berusaha melihat interaksi antara pemikiran kita dan model-model internal serta antara persepsi dan tindakan kita. Berusaha memahami perbedaan antara ”saling keterkaitan” (systems thinking) dan ”keterkaitan” (personal mastery).
Yang pertama disebut adalah berurusan dengan kesadaran tentang bagaimana hal-hal berkaitan satu sama lain, yang kedua dengan kesadaran mengenai keadaan selaku bagian konstitutif dan bukan terpisah dari (masalah) dunia.
Justru dewasa ini berpikir sistemik lebih diperlukan ketimbang dulu, berhubung makhluk manusia semakin dicekam oleh kompleksitas. Tanpa systems thinking, pengambilan keputusan-keputusan lokal menjadi miopik dan, kalaupun manjur, hanya berjangka pendek. Hal ini terjadi karena para pengambil keputusan lokal tidak bisa melihat saling ketergantungan yang membuat tindakan mereka berdampak atas segala sesuatu yang berada di luar suasana lokal mereka.
Mari kita terima malapetaka banjir sekarang sebagai satu blessing in disguise dari alam. Ia mengingatkan kita signifikansi penguasaan berpikir sistemik. Pemindahan Ibu Kota ke tempat lain bukan solusi dari masalah banjir. Di lokasi yang baru itu akan timbul masalah serupa selama para petinggi negara-bangsa mengelolanya tanpa systems thinking. Celetukan Mang Usil di pojok Kompas sungguh tepat. Pak Presiden tidak perlu (lagi) blusukan, masalah (sudah) diantar langsung ke Istana.
Berpikir sistemik menjadi semakin urgen mengingat tanpa itu, tanpa disadari, kita sudah dilanda kemelut budaya yang semakin mencekam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar