Sabtu, 26 Januari 2013

Kisah Pelengseran Gus Dur


Kisah Pelengseran Gus Dur
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi 
SINDO, 26 Januari 2013



Akhir 2012 kemarin, menjelang peringatan tiga tahun wafatnya Gus Dur, masyarakat kembali diributkan oleh isu kurang sedap menyangkut lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan pada 2001. 
Dalam pekan terakhir bulan November ramai diberitakan, Sutan Bhatoegana mengatakan dalam sebuah diskusi terbuka Gus Dur jatuh karena terkait kasus korupsi Bulog dan dana bantuan dari Brunei. Selanjutnya pada pekan kedua bulan Desember ada berita yang lebih panas. Dalam ujian akhir madrasah aliyah di Jawa Barat ada satu pertanyaan yang dalam kunci jawabannya menyebutkan bahwa jawaban yang benar adalah Gus Dur dilengserkan karena kasus Bulog dan Brunei. Kabarnya materi ini merujuk pada buku sejarah yang ditulis SH Mustofa dkk yang diterbitkan Penerbit Pusat Pembukuan Depdiknas Jawa Barat.
Kedua berita itu menyulut ketersinggungan warga NU. Berbagai kecaman muncul,ada yang melakukan demo ke kantor partai politik tertentu, ada yang mengecam lewat media massa, ada yang melakukan istigasah sambil menangis histeris. Memang sejarah harus diluruskan bahwa Gus Dur itu jatuh murni karena kekalahan dalam pertarungan politik dan bukan karena hukum pidana korupsi. 

Berdasar fakta yang belum lama berlalu, Gus Dur dilengserkan bukan karena kasus korupsi Bulog dan Brunei, meskipun kegaduhan politik yang mendahuluinya memang diramaikan oleh kedua kasus tersebut. Gus Dur diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) tanggal 23 Juli 2001 dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 karena telah mengeluarkan maklumat (dekrit) pembubaran MPR/DPR. 

Sebenarnya undangan SI MPR yang memberhentikan Gus Dur semula menggunakan alasan karena Presiden mengganti Kapolri Soerojo Bimantoro dengan Chaeruddin Ismail tanpa meminta persetujuan DPR. Menurut Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 pengangkatan panglima TNI dan kepala Polri oleh Presiden itu harus mendapat persetujuan DPR lebih dulu. Karena saat itu Presiden langsung memberhentikan Kapolri dan mengangkat Kapolri baru maka diadakanlah SI MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. 

Namun, pada dini hari menjelang SI MPR itu Presiden mengeluarkan maklumat yang membubarkan MPR/DPR. Maksud Presiden, mungkin, agar SI MPR tak bisa terselenggara karena sudah dibubarkan. Akan tetapi, MPR menolak maklumat itu. Dan atas fatwa Mahkamah Agung (MA), maklumat itu inkonstitusional, maka SI MPR tetap diselenggarakan dan langsung memberhentikan Presiden yang selain tidak mau hadir juga dinilai telah melanggar konstitusi. 

Dengan demikian, pemberhentian Gus Dur pada saat itu bukan karena kasus Bulog dan Brunei, melainkan karena (alasan semula) Presiden mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR dan kemudian Presiden mengeluarkan maklumat pembubaran MPR/DPR yang menurut MA adalah inkonstitusional. 

Kasus Bulog dan Brunei 

Sejak delapan bulan sebelum pelengseran Gus Dur, dunia politik dihebohkan oleh kasus Bulog dan Brunei. Pada waktu itu ada dana Bulog sebesar Rp 35 miliar yang dibobol tanpa prosedur. Ada juga pemberian zakat dari Sultan Brunei sebesar Rp14 miliar yang dianggap sebagai pelanggaran karena oleh Presiden langsung disalurkan tanpa dilaporkan ke kas negara.

Atas dasar itu, DPR membentuk panitia khusus yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa Presiden “patut diduga” terlibat dalam penyalahgunaan dana-dana tersebut. Itulah sebabnya DPR menjatuhkan impeachment dalam bentuk Memorandum I dan Memorandum II. Proses hukum atas kasus tersebut sebenarnya sudah jelas. Untuk kasus Bulog sudah dihukum dua orang, yakni Suwondo dan Sapuan. Awalnya Suwondo yang dikenal sebagai teman yang suka memijat Gus Dur membawa Sapuan yang pejabat di Bulog berkenalan dengan Gus Dur. 

Sepulang dari istana rupanya Suwondo dan Sapuan berhasil mengeluarkan dana Bulog yang katanya diperuntukkan bagi keperluan penanganan krisis oleh Presiden. Di pengadilan pidana terbukti bahwa pembobolan dana Bulog tersebut tak terkait dengan, tepatnya dilakukan tanpa sepengetahuan, Presiden sehingga Suwondo dan Sapuan dijatuhi hukuman pidana. Dalam pada itu, sumbangan dana dari Brunei yang oleh Gus Dur disalurkan melalui Yayasan Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) tidak bermasalah hukum karena dana itu bukan diminta atau diberikan melalui negara; apalagi saat itu belum ada undang-undang yang mengatur gratifikasi. 

Dalam kaitan ini, Presiden sudah diperiksa oleh Jaksa Agung secara proyustisia dan jaksa agung mengumumkan secara resmi bahwa Presiden bersih dari soal hukum dalam kasus tersebut. Jadi, secara hukum pidana, tak ada keterlibatan korupsi Gus Dur dalam kasus Bulog dan Brunei. Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan. 

Sebab, produk pertarungan politik itu adalah menang, kalah, atau kompromi; beda dengan hukum yang mendasarkan pada benar dan salah. Saat itu memang belum ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menilai secara hukum apakah seorang presiden bisa dimakzulkan atau tidak. Sekarang kita sudah mempunyai MK, sebuah lembaga yudikatif, yang harus memberi penilaian hukum terlebih dulu sebelum seorang presiden dimakzulkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar