Selasa, 29 Januari 2013

Komplikasi Kebijakan Energi


Komplikasi Kebijakan Energi
Umar Juoro ;  Ekonom Senior di CIDES dan the Habibie Center
REPUBLIKA, 28 Januari 2013


Ironis bagi Indonesia, dengan kekayaan potensi energi yang demikian besar, namun kita selalu dihadapkan dengan permasalahan pasokan energi dan kebijakan harganya. Produksi minyak terus menurun, bahkan 2013 diperkirakan akan di bawah 900 ribu barel per hari. Sekalipun produksi gas mengalami peningkatan, peningkatannya tidak memadai dengan permintaan dalam negeri yang tinggi. Produksi batu bara juga meningkat tajam, tapi sebagian besar untuk ekspor dan pemanfaatannya di dalam negeri belum optimal. Energi alternatif seperti geotermal yang sebelumnya diprioritaskan, apalagi matahari, masih jauh dari memberikan sumbangan yang memadai.

Berkaitan dengan pembangkitan listrik, rencana mempercepat program 10 ribu megawatt (mw) berlalu dengan pencapaian yang minimal. Pasokan gas tidak memadai bagi pembangkit listrik dan industri yang menggunakannya yang membuat ketidakpastian sehingga banyak yang kembali ke bahan bakar minyak (BBM).

Produksi energi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh perusahaan asing. Mereka mendapatkan perlakuan dan insentif khusus. Orientasi mereka adalah pada ekspor. Dengan meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri dan tuntutan politis yang lebih besar dari pelaku domestik, perlakuan dan insentif khusus pada perusahaan asing, terutama di bidang migas, dikurangi. Sementara itu, pelaku domestik belum dapat menggantikannya secara memadai.

Konsekuensinya, kegiatan eksplorasi menurun dan produksi minyak juga terus menurun. Akibatnya, bukan saja berkaitan dengan permasalahan pasokan energi, tapi juga penerimaan pemerintah dari migas cenderung menurun.

Produksi migas harus dioptimalkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kita harus realistis untuk tetap memberikan insentif yang memadai bagi perusahaan asing di bidang energi. Secara bersamaan, kita juga harus mendukung perusahaan domestik untuk dapat berkembang dengan baik di bidang energi dengan insentif dan pengarahan yang jelas.

Subsidi energi membengkak besar mencapai sekitar Rp 300 triliun pada 2013 melebihi belanja modal dan bantuan sosial yang sangat dibutuhkan dalam mendorong pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Kuota BBM selalu terlampaui karena dengan subsidi BBM, konsumsi terus meningkat tajam, belum lagi terjadinya penyelundupan BBM. Besarnya subsidi ini mempunyai implikasi luas pada perekonomian. Defisit primer ialah penerimaan dikurangi pengeluaran pemerintah sebelum membayar bunga mengalami defisit.

Besarnya impor minyak dan BBM memberikan sumbangan besar pada defisit neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor). Padahal, pada masa-masa sebelumnya, ekspor migas yang membantu surplusnya neraca perdagangan.

Defisit neraca perdagangan ini juga menekan nilai rupiah. Selama defisit 
perdagangan, lebih luas defisit neraca berjalan (yang memasukkan aliran modal) terjadi maka selama itu pula nilai rupiah akan terus tertekan.

Bagaimanapun, subsidi BBM harus dikurangi. Jika tidak, komplikasi pada perekonomian akan semakin besar. Pengurangan subsidi BBM ini sebaiknya dilakukan secara bertahap dan dikompensasi dengan subsidi langsung kepada golongan miskin untuk transportasi, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Lebih baik kita melakukannya sekarang secara bertahap daripada menunggu pada saat harga minyak tinggi dan penyesuaian harga BBM juga harus tinggi seperti 2005.

Pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara, gas alam, dan geotermal harus terus ditingkatkan dengan target secara realistis. Pengembangan energi geotermal adalah tepat karena hanya dapat dimanfaatkan di dalam negeri sehingga tidak mengalami konflik antara ekspor dan memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Permasalahan harga dan peran serta pemerintah daerah yang berkaitan dengan lokasi, sangat penting untuk memperlancar pelaksanaannya.

Kebijakan harga energi, terutama gas dan batu bara, antara ekspor dan dalam negeri juga harus diselaraskan dengan harga pasar dan kebutuhan dalam negeri. Harganya tidak setinggi harga dunia, tetapi tetap menguntungkan bagi pemasok energi di dalam negeri. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar