Rabu, 30 Januari 2013

Konvergensi Media Ancam “Humanisme” Anak


Konvergensi Media Ancam “Humanisme” Anak
Metha Madonna Pemerhati Komunikasi Pendidikan,
Mahasiswi Pasca Sarjana (S2) Magister Komunikasi IISIP Jakarta
SUARA KARYA, 29 Januari 2013

  
Media massa mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap proses pembentukan tingkah laku, termasuk tingkah laku agresi. Televisi merupakan salah satu media massa yang dekat dengan kehidupan anak-anak dan diharapkan mampu menjalankan peran yaitu menyampaikan contoh perilaku dan nilai-nilai positif bagi anak melalui tayangan-tayangan yang disajikan. Dalam kenyataan yang tampak sekarang, televisi bisa bermuka dua dengan menyampaikan nilai positif dan negatif.
Memasuki millenium kedua ini persoalan tidak lagi menjadi dominasi dan domain televisi, tentang pengaruhnya pada prilaku dan kehidupan anak. Kini persoalan menjadi lebih fenomenal dan ironik, yaitu hadirnya komunikasi mutakhir yang serba digital, berupa perangkat telekomunikasi smartphone dan gadget yang tidak saja digunakan sebatas berkomunikasi dua arah, tapi juga bisa mendengar radio sekaligus menonton televisi dan mengaktivasi international networking (internet).
Jadi seseorang tidak perlu lagi membeli sebuah pesawat telepon, radio penerima dan televisi. Tapi cukup memiliki sebuah handphone sudah memfasilitasi ketiganya. Bahkan, ditambah aktivasi internet yang memanjakan pemakainya untuk berselancar mengarungi dunia maya dengan mengikuti jejaring sosial macam facebook dan twitter atau browsing informasi, lagu, film dan sejenisnya dari ribuan website lokal maupun internasional.
Kehadiran smartphone dan gadget dengan kemampuan super canggih selanjutnya menginspirasi banyak media konvensional untuk beralih masuk ke pasar pengguna telepon berjalan tersebut. Diawali surat kabar dan majalah yang terbit online atau lebih dikenal dengan e-paper seperti Sunday Telegraph, Washington Post dan New York Times dan diikuti di Indonesia seperti e-paper majalah Detik.com, untuk surat kabar Kompas.com dan sebagainya. Era masuknya industri media konvensional ke dalam dunia digital, disebut sebagai konvergensi media terus bergulir bagaikan bola salju.
Konvergensi dalam media yaitu konvergensi adalah digitalisasi, karena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi. Konvergensi media telekomunikasi ini telah memberi ruang sekaligus prospek luar biasa bagi perkembangan bisnis media informasi.
Akan tetapi patut disayangkan konvergensi media, pada akhirnya membuka kran kebebasan jauh lebih besar dan berdaya jangkau lebih luas dengan sasaran khalayak tidak terbatas. Pengguna mobile phone lebih beragam dan anak-anak masa kini cenderung punya akses dan menguasai penggunaan perangkat canggih tersebut ditemukan di lingkungan rumah, sekolah, mal atau di perjalanan, anak usia remaja bahkan usia dini (3-6 tahun) sudah mampu menggunakan komputer tablet, i pad, i phone atau blackberry, memainkan game popular atau sekedar berkirim pesan bahkan sebagian besar anak sudah chatting atau browsing website.
Celakanya, anak-anak tidak lagi membuka situs yang sesuai usia dan dunia anak, situs orang dewasa yang lekat dengan lifestyle hedonisme, konsumtifisme dan pornografi juga dirambah oleh anak-anak di Indonesia tanpa ada yang mampu menghalangi, baik proteksi teknologi oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkomingfo) maupun pengawasan orangtua. Berdasarkan pengamatan penulis pada anak-anak di lingkungan sekolah dan penelitian, dapat disimpulkan tiga risiko utama pada anak pengguna smartphone dan gadget, dan sesuai tema, di sini penekannya pada risiko ketiga. Sekilas, risiko pertama yakni membuat anak kecanduan atau ketagihan layaknya narkoba, game atau content di internet membuat rasa penasaran, ingin tahu dan tak mau berhenti sebelum permainan selesai (finish) oleh limit waktu atau adanya larangan dari orangtua.Kedua, cotent atau materi isi dalam sebuah game, informasi, film dan gambar yang dilihat via gadget dan smartphone dapat mempengaruhi alam bawah sadar seorang anak meskipun perlu penelitian lebih lanjut.
Risiko ketiga, memudarnya sosial dan sifat-sifat humanis selayaknya seorang anak. Kehadiran mobile phone membuat anak tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk saudara atau orangtua dalam satu rumah. Anak-anak berubah menjadi individu yang introvert, arogan dan "semau gue" kalau tak mau dibilang anak kian tidak peduli dengan situasi sekitar, cuek, masa bodo dan menganggap manusia di sekitarnya hanyalah mahluk penganggu kesenangan. Mereka tak lagi interested dengan kemanusian, tidak menghargai lagi orangtua, misalnya tidak mau mendengarkan nasehat orangtua, jika diajak bicara hanya diam saja, sekalipun menjawab dengan suara tinggi dan kasar.
Tentu memudarnya sifat-sifat humanisme anak, perilaku bertentangan dengan etika dan kecanduan teknologi komunikasi, niscaya membawa kemudharatan dan gambaran masa depan bangsa yang rapuh karena anak adalah fondasi masa depan yang ditanam masa kini.
Jadi, jika dasarnya saja sudah rapuh yaitu dengan indikator tak mengedepankan kemanusiaan, tidak mementingkan kebersamaan dan kesatuan, cenderung egosentris dan konsumtif maka negara hanya memiliki generasi pengkhayal tidak realistis, tidak kreatif dan tidak produktif.
Sepatutnya mulai detik ini, para orangtua lebih ketat melakukan proteksi. Upaya perlindungan oleh pemerintah dengan menancapkan program filterisasi dari internet hanya pada perlindungan global (secara umum), karena masih banyak situs pornografi dan kekerasan yang tidak terdeteksi. Peran orangtua adalah kunci mengatasi persoalan konvergensi maka dan memudarnya humanisme anak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar