Kamis, 31 Januari 2013

Kriminalisasi Pengusaha di Era Otda


Kriminalisasi Pengusaha di Era Otda
Rudy D Siregar ;  Wakil Komite Tetap Advokasi Hukum Kadin
SUARA KARYA, 30 Januari 2013

  
Era otonomi daerah (otda) memberikan hak dan wewenang kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan secara profesional melalui pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan. Semangat di balik kebijakan otda yang ditetapkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 ini setidaknya mencakup pemerataan kesejahteraan, percepataan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah.
Seiring dengan perjalanannya, banyak ditemukan potensi masalah dalam penerapan otda. Di antaranya, kapasitas administrasi pemerintahan daerah yang belum siap akibat SDM yang tidak mampu merubah paradigma administrasi pemerintahan daerah di tengah semangat reformasi dan demokrasi.
Dalam banyak kasus, sering ditemukan permasalahan korupsi yang dipicu oleh penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Temuan Kemendagri tahun 2012 menunjukkan bahwa Pilkada langsung merupakan salah satu faktor utama pencetus korupsi di daerah.
Biaya yang diperlukan untuk memenangkan pilkada menjadi excess luggage bagi kepala daerah. Konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan bersifat oportunis dan berorientasi jangka pendek. Dalam konteks ini, perizinan dan pungutan liar menjadi alternatif penyalahgunaan wewenang di samping mark-up pengadaan dan penyimpangan APBD. Dua jenis praktik korupsi ini dinilai aman karena setidaknya luput dari cakupan audit anggaran. Namun, baik perizinan maupun pungutan liar memerlukan objek penderita yang dalam hal ini adalah pengusaha atau pihak swasta. Di sinilah kriminalisasi pengusaha muncul ke permukaan. Terminologi ini melahirkan kontroversi tersendiri apabila dilihat dari sudut pandang teori lingkaran setan (vicious circle) antara pengusaha dan penguasa. Sayangnya, persepsi ini seolah dijadikan justifikasi bagi penguasa daerah yang kerap menyalagunakan wewenangnya untuk terus melakukan korupsi dalam bentuk pungutan liar.
Praktik pungutan liar umum terjadi dalam perizinan. Temuan KPK menunjukkan bahwa di banyak daerah, izin perkebunan, pertambangan dan pengolahan sumber daya alam lainnya banyak diterbitkan pada periode menjelang dilangsungkannya pilkada. Di samping itu, ditemukan juga berbagai bentuk 'pemerasan' atau pengkondisian yang mengatasnamakan jaminan keamanan berusaha di daerah. Dalam hal ini, tidak banyak opsi yang dimiliki oleh pengusaha. Untuk mencegah kerugian operasional, sebagian pengusaha mengkonversi alokasi anggaran Corporate Social Responsibility (CSR) untuk menampung permintaan tersebut. Kriminalisasi pengusaha menjadi semakin nyata saat kontribusi yang terpaksa diberikan tersebut menimbulkan masalah hukum. Berdasarkan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, hal ini dikategorikan penyuapan atau setidaknya pemberian gratifikasi kepada pemerintah daerah yang melebihi aturan. Baik penyuap maupun penerima suap memiliki konsekuensi hukum dalam proses peradilan.
Terkait dengan kasus Buol, misalnya, di mana tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap pengusaha nasional Siti Hartati Murdaya atas dugaan suap sebesar tiga miliar rupiah kepada Bupati Buol Amran Batalipu untuk mengurus perizinan perkebunan PT HIP yang dipimpinnya, memberikan sinyalmen kepada pengusaha untuk sangat berhati-hati dalam menjalankan usaha di era otda.
Bagaimana tidak, fakta pengadilan menunjukkan tidak adanya korelasi antara perpanjangan izin dan pemberian suap mengingat perusahaan yang bersangkutan telah mengantongi izin yang sah sejak pertengahan 1990-an. Di samping itu diakui bahwa terdapat kerusuhan di daerah yang mengakibatkan terhentinya operasi perusahaan menjelang dilangsungkannya pilkada di Kabupaten Buol.
Terlepas dari hasil akhir persidangan yang wajib kita hormati putusannya, diperlukan kesadaran bahwa banyak pengusaha dibayang-bayangi rasa takut menghadapi ancaman baru otda di era reformasi ini. Kriminalisasi terhadap pengusaha kerap terjadi akibat perilaku kepala daerah yang menerapkan kebijakan lokal yang tidak pro-bisnis. Di saat ada permintaan dari kepala daerah, pengusaha kerap berada pada posisi dilematis. Jika tuntutan tidak dipenuhi, maka ada risiko komersial yang harus ditanggung. Selain roda usaha terganggu, juga terjadi gangguan eksternal seperti demonstrasi massa dan lainnya.
Setidaknya diperlukan tiga upaya konkrit untuk Hal ini berdampak langsung pada potensi menurunnya investasi ke daerah yang tentu saja menghambat laju pergerakan perekonomian di daerah. Perlu dipahami bahwa catatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup stabil di angka 6.5 persen per tahun tidak dicerminkan oleh peningkatan investasi langsung yang berorientasi jangka panjang dan memiliki multiplier effect besar bagi peningkatan kesejahteraan dan percepatan pembangunan daerah.
Jika demikian, maka semangat mulia di balik kebijakan otda akan pudar oleh maraknya penyalahgunaan wewenang di daerah.memperbaiki kondisi yang ada. Pertama, pengkajian ulang UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Kedua, pemberdayaan fungsi pengawasan KPK di daerah. Ketiga, kemampuan sistem peradilan untuk menerapkan due process of law sebagai asas untuk mewujudkan fairness dalam pembuatan suatu keputusan peradilan.
Di sini hakim diberikan kewenangan untuk menilai kebijaksanaan putusannya. Jika terbukti pengusaha menjadi korban, tidak perlu ada tekanan untuk membebaskannya dari jerat hukuman. Justru di sinilah kepastian hukum tercermin dalam sistem peradilan di Indonesia.
Lebih dari itu, diperlukan perubahan mindset individu secara masif terkait praktik pungutan liar. Bukankan sudah saatnya kita berhenti memahfumi pemberian sumbangan sukarela saat mengambil perpanjangan KTP di kantor kelurahan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar