Rabu, 30 Januari 2013

Marioso Narkoba Makin Berdaulat


Marioso Narkoba Makin Berdaulat
Mariyadi Faqih Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUARA KARYA, 29 Januari 2013


Kecurigaan sudah masuknya peredaran narkoba ke berbagai elemen strategis bangsa bukanlah tanpa alasan. Jaringan ini termasuk salah satu jaringan kejahatan yang rapi dan berani memasuki relung-relung kehidupan bangsa secara multi strata. Siapa saja elemen bangsa, ditempatkan sebagai bagian dari objek yang ditargetkan bisa disentuh atau tidak punya kekebalan dari 'invasi' kriminalisasinya.
Penelitian Irwanto Yudiarto (2011) tentang perkembangan kejahatan global narkoba paling tidak bisa digunakan sebagai acuan. Dalam skema modus operandi dan target mafia narkoba secara globalitas adalah menjadikan negara-negara lembek dan konsumen yang serba toleran, terbuka, dan gampang terbuai untuk dijadikan lintasan produksi, transit, dan pengedaran (distribusi).
Masyarakat Indonesia termasuk jenis masyarakat di antara model masyarakat di dunia yang gampang terbuai dengan produk-produk yang menyenangkan dan memuaskan gaya hidupnya. Narkoba merupakan jenis zat-zat yang tidak sekedar menjanjikan kesenangan yang menyesatkan, namun juga membuai gaya hidupnya. Penggunanya merasa menjadi orang hebat, modern, tidak gagal adaptasi dengan komunitas eksklusif, dan merasa menjadi bagian dari kelas eksklusif, jika sudah mencoba dan jadi konsumen narkoba.
Itulah yang antara lain membuat banyak elemen berduit, khususnya generasi muda dari keluarga mapan, menjadi kelompok sosial yang tidak mau ketinggalan menjadi konsumen narkoba. Mereka mempunyai uang yang cukup atau bahkan lebih dari cukup untuk belanja narkoba. Mereka pun ada di antaranya yang kemudian menggeser perannya dari sekedar pecandu menjadi distributor atau menggandakan perannya yang tidak sebatas penikmat, tapi juga penjual bagi teman-temannya atau komunitasnya.
Ketika ada di antara generasi muda itu adalah anak pejabat atau pengusaha kenamaan, maka harus diakui kalau jaringan narkoba telah memasuki keluarga pejabat atau telah hadir menjadi penyakit yang potensial (lambat laun) merapuhkan dan menghancurkan keberlanjutan hidupnya. Dalam ranah demikian, bagaimana mungkin kita tidak ikut mempraduga kalau sebenarnya jaringan narkoba telah sukses menciptakan pasar di lingkaran keluarga pemimpin atau pejabat negeri ini?
Sebagai indikasi lainnya, belum lama ini, kita dihebohkan oleh perilaku hakim yang tertangkap basah mengadakan pesta narkoba. Oknum hakim ini kemudian menjelaskan, bahwa banyak hakim di Jakarta yang seperti dirinya (sebagai pengguna narkoba), meski kemudian penjelasannya diralat sendiri.
Temuan demikian itu layak dijadikan bahan refleksi, bahwa sindikat pemasaran narkoba sudah menyerang elemen-elemen strategis bangsa, mulai dari generasi muda, hakim, maupun pilar strategis lainnya. Mereka jadi oknum akibat terseret dalam pusaran kekuatan mafia narkoba yang sangat hebat dalam menjejakkan perilaku bisnisnya pada sektor apa pun dan siapa pun orangnya.
Kita diingatkan Alfredo (2012), bahwa bangsa-bangsa mana pun yang sering mengedepankan moral dan hukum sebagai penjaga, mereka harus waspada terhadap berbagai kemungkinan seperti yang terjadi di negara-negara di mana keberadaan mafia narkoba sangat kuat. Negara seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, tergolong gagal menjadi negara kuat karena tak sedikit aparat penegak hukumnya berada dalam pengaruh (cengkeraman) mafioso.
Untuk mempertahankan supremasi Mafioso, mereka ini menyebar uang dan narkoba kepada para pengambil kebijakan yang bersangkut paut dengan politik penanggulangan narkoba. Jika masih ada pejabat yang bersih atau berintegritas moral, pejabat ini 'dibersihkan'. Superiorisme mafia narkoba tidak takut menghadapi model kekuasaan apa pun. Mereka selalu merasa tertantang untuk mengalahkan atau menjinakkan siapa pun yang mencoba menghalanginya. Mereka pun memberikan keuntungan istimewa dan berlipat-lipat pada pejabat negara atau aparat penegak hukum yang mau memerankan dirinya sebagai mesin perluasan dan penguatan pasar peredaran narkoba.
Mafioso itu selalu menginginkan supaya tidak ada pejabat negara yang teguh menjadi pelindung dan pengaman keberlanjutan hidup rakyat. Mereka tawarkan keuntungan berlimpah dan jabatan-jabatan strategis asalkan jalur produksi, distribusi, transit, atau aspek pendukung 'kerajaan bisnis' narkoba diamankan atau dilindungi keberlanjutanya. Komunitas pejabat dibuatnya jadi tak teguh pendirian (inkonsistensi) dan suka mempermainkan hukum, kebenaran, kejujuran, dan harkat kemanusiaan.
Indonesia ini sudah lama dikategorikan oleh sosiolog Gunnar Myrdal sebagai negara lembek (soft state), suatu bentuk negara yang di dalamnya lebih banyak dihuni oleh pejabat atau pemimpin yang bermental indisipliner, suka tidak jujur, kurang memedulikan kepentingan rakyat, etos kerjanya rendah, dan gampang menyalahgunakan jabatan.
Di masyarakat seperti disebut Myrdal itu, berbagai bentuk penyakit tidak sulit memasuki dan menyerangnya habis-habisan. Negara tak ubahnya seperti keranjang sampah yang dimasuki beragam model penyakit. Asalkan menguntungkan dan menyenangkan, penyakit ini disulap atau dikemasnya menjadi 'emas' yang dimasukkan dalam rumus-rumus ambisi dan keserakahan narkoba merupakan penyakit yang terus menerus menghabisi generasi muda, namun masih juga diperlakukan sebagai 'emas' oleh segelintir elite strategis negeri ini.
Terbukti, mereka yang jelas-jelas jadi aktor pembunuhan anak bangsa ini, yang sedikitnya 15 ribu orang meninggal dunia akibat narkoba, masih juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan hidup. Ini jelas sangat tidak adil atas apa yang diperbuatnya dibandingkan dengan sanksi hukuman yang diterimanya. Hukuman mati saja sebenarnya belum cukup adil untuk para pembantai ini, maka menjadi tidak manusiawi dan memartabatkan bangsa ini jika mereka masih pendapatkan pengampunan, apalagi dengan alasan yang masih sumir. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar