Kamis, 31 Januari 2013

Nasdem, Hary Tanoe, dan Media Massa Kita


Nasdem, Hary Tanoe, dan Media Massa Kita
Bawono Kumoro ;  Peneliti Politik The Habibie Center,
Fellow Paramadina Graduate School of Communication
SINAR HARAPAN, 30 Januari 2013



Badai politik hebat tengah melanda Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Nasdem. Langkah pengunduran diri itu diambil setelah taipan media massa itu merasa sudah tidak lagi seiring jalan dengan Surya Paloh selaku pendiri partai.

Segera setelah menyatakan pengunduran diri dari Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo menegaskan akan memberhentikan penayangan iklan-iklan Partai Nasdem di seluruh media massa jaringan Media Nusantara Citra (MNC) Group. Sebagaimana diketahui bersama, Hary Tanoesoedibjo merupakan pemilik MNC Group yang menaungi sejumlah media massa besar, seperti RCTI, MNC TV, Global TV, dan Sindo Radio.

Sekilas pernyataan Hary Tanoesoedibjo itu terdengar biasa-biasa saja. Namun, jika kita telaah lebih jauh dari perspektif ekonomi politik media pernyataan itu memiliki arti tersendiri. Pernyataan itu seakan menguatkan dugaan selama ini jika media massa sering kali digunakan para pemilik modal untuk kepentingan politik jangka pendek mereka.

Tidak dapat dipungkiri, dewasa ini media massa telah menjelma menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia. Tidak sedetik pun momen kehidupan luput dari pandangan media massa, tak secelah pun informasi terabaikan media massa.
Media massa dinilai memiliki kemampuan untuk memengaruhi pola pikir dan persepsi masyarakat dalam menilai sebuah informasi. Tak pelak lagi posisi vital itu telah membuat media massa menjadi rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan politisasi informasi.

Hegemonik

Dalam khazanah ilmu komunikasi dikenal teori makroskopik struktural yang memusatkan perhatian pada bagaimana cara institusi media massa dibangun di dalam perekonomian kapitalis. Teori ini memfokuskan perhatian pada cara elite sosial menjalankan media massa untuk mendapatkan keuntungan dan menyebarluaskan pengaruh di dalam masyarakat.

Mereka berpendapat bahwa para elite kadang-kadang menggunakan media massa untuk menyebarluaskan budaya hegemonik sebagai cara untuk mempertahankan posisi mereka yang dominan di dalam tatanan sosial (Baran dan Davis, 2010: 250).
Bahkan, Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan media massa sebagai arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan (Lembo dan Tucker, 1990: 97-116).

Ruang Publik

Salah satu pendiri Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, pernah mengemukakan gagasan mengenai ruang publik. Menurut Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus di mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.

Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah di mana warga negara dapat dengan bebas mengemukakan sikap dan argumen mereka. Untuk itu ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi.

Dalam konteks itu, media massa dapat juga dikatakan sebagai bentuk dari ruang publik karena ia merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat mengenai isu-isu publik yang sedang berkembang.
Selain itu, pemberitaan dalam media massa dapat memengaruhi opini publik dan diskusi di dalam masyarakat mengenai sebuah isu publik. Karena itu, media massa harus bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pemilik modal.

Pemilik Modal

Namun, saat ini independensi pemberitaan media massa mulai diragukan. Tidak jarang sebuah pemberitaan di media massa merupakan “pesanan” dari pihak tertentu untuk memperlancar kepentingan mereka.

Rivalitas Metro TV dan TV One merupakan contoh dari penyalahgunaan media massa untuk melakukan politisasi informasi. Pemilik dua stasiun televisi swasta itu, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, dikenal sebagai konglomerat media massa yang sering kali memiliki posisi politik berseberangan.

Nuansa politik sangat kental terasa di hampir setiap pemberitaan Metro TV dan TV One. Hal itu tentu tidak dapat dilepaskan dari intervensi masing-masing pemilik demi satu tujuan, yaitu melakukan pemberitaan yang menguntungkan langkah politik mereka. Hal ini tentu dapat memengaruhi sikap dan persepsi publik.

Masih segar dalam ingatan kita ketika menjelang musyawarah nasional Partai Golkar bulan Oktober 2009, kedua stasiun televisi tersebut berlomba-lomba menokohkan bos mereka masing-masing sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Saat itu, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tampil sebagai dua kandidat kuat calon ketua umum Partai Golkar. Dapat dipastikan bahwa tayangan berita yang ditampilkan kedua televisi itu sarat dengan muatan politik.

Stasiun televisi TV One yang notabene merupakan milik Aburizal Bakrie tentu akan mengopinikan bahwa Aburizal Bakrie merupakan sosok kandidat yang didukung mayoritas kader Partai Golkar di seluruh Indonesia. Sebaliknya, stasiun televisi Metro TV sebagai bagian dari Media Group all out mempromosikan sosok Surya Paloh sebagai kandidat terkuat calon ketua umum Partai Golkar.

Kemudian dalam pemberitaan mengenai kiprah Partai Nasdem bentukan Surya Paloh, Metro TV melakukan hal itu secara masif di setiap program berita mereka. Demikian pula dengan media massa jaringan MNC Group ketika Hary Tanoesoedibjo masih bergabung dengan Partai Nasdem.

Lebih Kompleks

Akhirnya, pengemasan pemberitaan yang cenderung mengabaikan prinsip cover both side secara perlahan-lahan akan menggerus kepercayaan publik terhadap kredibilitas media massa. Padahal, independensi pemberitaan media massa memiliki arti penting guna menghindari pengaburan objektivitas informasi yang disampaikan kepada publik.

Pada era keterbukaan seperti sekarang ini politisasi informasi sangat mungkin terjadi mengingat karena tidak ada satu lembaga pun yang dapat melakukan intervensi terhadap sajian berita media massa sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Apabila pada masa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, pada masa reformasi media massa dikendalikan para konglomerat yang memiliki tujuan lebih kompleks. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar