Sabtu, 26 Januari 2013

Nasib Bahasa Daerah


Nasib Bahasa Daerah
Putera Manuaba ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
SUARA KARYA, 26 Januari 2013



Dalam draft Kurikulum Nasional SD dan SMP 2013, bahasa daerah sudah tak tercantum lagi sebagai mata pelajaran.Menurut Plt (Pelaksana Tugas) Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan, dalam acara Cangkrukan di TV (6/1/2013), bahasa daerah tidak dihapus tapi diintegrasikan dalam mata pelajaran seni budaya. Tampaknya, sampai saat ini belum ada alasan yang bisa diterima masyarakat mengapa bahasa daerah itu tak lagi dijadikan sebagai mata pelajaran.
Selama ini, kondisi bahasa daerah memang sudah amat memprihatinkan. Kondisi ini selalu diwacanakan dalam setiap acara kebahasaan yang dilaksanakan Badan Bahasa Kemendikbud dan Balai Bahasa di daerah-daerah di Indonesia. Bahasa daerah yang merupakan warisan budaya leluhur secara turun-menurun secara lambat-laun, satu per satu mengalami kepunahan, karena jumlah penuturnya yang makin hari makin berkurang.
Di samping itu, makin sedikit pula masyarakat yang mau dan bisa berbahasa daerah. Kondisi lainnya, di beberapa daerah seperti Bali, Jawa, Sunda, Madura, dan Minang, bahasa daerah masih tetap eksis digunakan oleh masyarakat.
Dalam dunia pendidikan formal, SD dan SMP, bahasa daerah juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama. Bahasa daerah dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang menarik, sulit, dan asing di mata siswa. Dan, untuk pelajaran bahasa daerah ini, kebanyakan anak mendapatkan nilai yang kurang baik.
Ditambah lagi, kompetensi guru-gurunya yang juga kurang mendukung dalam mengajarkan bahasa daerah dengan baik. Tapi, benarkah semua kendala ini dijadikan alasan untuk menghapus bahasa daerah sebagai mata pelajaran, yang justru harus kita pertahankan dan berdayakan terus-menerus?
Rencana pemerintah menghapus bahasa daerah sebagai mata pelajaran sebenarnya perlu dipikir ulang secara matang, kendatipun konon diintegrasikan ke dalam seni budaya. Sebab, nasib bahasa daerah dapat dipastikan akan semakin mengenaskan, karena pasti akan tak dipelajari secara sistemik pada dunia pendidikan.
Sama halnya nasib mata pelajaran Pancasila yang tak dijadikan sebagai mata pelajaran, membuat mata pelajaran ini tak dikenal dan dihayati dengan baik oleh masyarakat. Dan, ketika tersadar terjadi krisis multidimensi, kita baru merasa perlu kembali menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran.
Dalam Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Bandung tahun 2011, saya pernah melontarkan pemikiran tentang kesederajatan bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing sebenarnya memiliki posisi dan derajat kebahasaan yang sama, tak ada yang lebih prestis.
Ketiga bahasa itu memiliki peran penting dan fungsi sendiri yang tak dapat saling menggantikan satu sama lain. Apalagi, kalau mengaitkan dengan pandangan Foucault tentang bahasa yang tak sekadar sebagai alat komunikasi tapi jauh lebih dari itu.
Bahasa daerah penting karena bahasa ini sarat dengan nilai kedaerahan (lokalitas), sedangkan bahasa Indonesia sarat dengan nilai nasionalisme dan bahasa asing nilai global.
Dengan demikian, bahasa daerah menjadi bahasa yang sebenarnya harus dipelajari dengan baik, karena seorang anak pertama kali harusnya juga menginternalisasi nilai kedaerahannya (lokalitasnya) melalui bahasa daerah agar ia memiliki landasan kedaerahan yang kuat.
Artinya, anak memiliki pijakan akar budaya yang kuat namun sama sekali bukan berarti untuk menjadikan anak bersikap primordial. Sebagai analogi, sebuah jembatan akan kokoh jika berpijak di tanah.
Begitulah bahasa daerah seharusnya sebagai bahasa yang paling pertama melandasi dan diinternalisasi oleh seorang anak. Dengan begitu, anak akan menjadi amat cinta dengan daerah dan tanah airnya, serta akan sejak dini merasa menjadi anak Indonesia.
Lalu, mengapa ada anggapan bahasa daerah menjadi sesuatu yang asing dan sulit bagi anak? Jika dicermati ini sebenarnya bukan masalah pada bahasa daerahnya, tapi karena kebijakan yang kurang menaruh penghargaan pada bahasa daerahnya.
Contohnya, sejak PAUD (pendidikan usia dini), play grup, TK kecil dan besar, bahasa apa yang diperkenalkan dan diajari oleh gurunya? Anak pada usia dini bukannya diperkenalkan dan diajari bahasa daerah, tapi bahasa asing. Ini yang membuat mengapa anak tak akrab dengan bahasa daerahnya sendiri.
Pada masa usia anak-anak ini, menurut sosiolog Berger, internalisasi primer (yang paling awal) sejak bayi hingga mengenal sekolah merupakan sesuatu yang paling diingat dan melekat dalam dirinya.
Oleh karena itu, pada masa internalisasi primer ini adalah masa yang harus diperkenalkan dan diajari tentang kedaerahan dan keindonesiaan, agar anak terbangun rasa cintanya pada bumi pertiwinya.
Imej bahasa daerah sebagai bahasa yang kurang menarik, kurang penting, dan sulit ini sebenarnya mungkin diakibatkan oleh kesalahan strategi dalam memperkenalkan dan mempelajari bahasa daerah sendiri yang selama ini kurang dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi pembentukan kepribadian dan jatidiri anak. Padahal, kalau kita mau jujur, bahasa daerah dan juga sastra daerahnya sangat kaya dengan nilai kearifan lokal, budi pekerti, dan nilai-nilai humanitas lainnya yang amat dibutuhkan oleh anak.
Meninggalkan bahasa daerah, dengan tak mencantumkan pelajaran bahasa daerah dalam Kurikulum Nasional 2013, amat disayangkan, karena nantinya siswa bisa tak menghargai budaya kita sendiri.
Sebenarnya, persoalan bukan terletak pada bahasa daerah itu sendiri, tapi pada cara kita yang kurang dapat memperkenalkan dan mengajarkan bahasa daerah dengan baik kepada siswa. Termasuk pengajaran bahasa daerah selama ini lebih berorientasi penghafalan (kognitif), dan kurang banyak melakukan pembelajaran dengan membaca dan menulis (afektif, psikomotorik).
Akibatnya, anak menjadi kurang tertarik serta kurang mengetahui bahasa dan sastra daerahnya sendiri. Apalagi, tidak adanya dukungan serius dari berbagai pihak untuk pemberdayaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar