Kamis, 31 Januari 2013

Perempuan dan Nasib Pejabat Publik


Perempuan dan Nasib Pejabat Publik
Tasroh ;  Pegiat Banyumas Policy Watch,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
SINAR HARAPAN, 30 Januari 2013



Taji perempuan kini benar-benar sedang memuncak. Betapa tidak! Banyak pejabat publik di negeri ini yang “hanya” gara-gara memperlakukan perempuan dengan seenaknya sendiri, mereka terjun bebas tersandera kasus amoral, asusila hingga pelanggaran hukum akut yang mengancam jabatan publik yang sedang diembannya.
Dua kasus aktual yakni kasus “nikah kilat” Bupati Garut Aceng Fikri dan kasus “keseleo lidah” calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi yang disangka melanggar etika sebagai pejabat hukum dengan mengatakan yang “memerkosa dan diperkosa sama-sama menikmati” sehingga pemerkosa (yang biasanya laki-laki—red) tak perlu dihukum mati, adalah contoh nyata betapa dahsyat aura perempuan Indonesia akhir-akhir ini.

Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menyebutkan, era perempuan kini sedang menjadi hotbed pejabat publik karena jika tidak hati-hati apalagi main-main dengan ikon perempuan, nasib pejabat publik benar-benar di ujung tanduk. Tak hanya jabatan yang dilengserkan publik, tetapi juga masa depan seorang pejabat tersebut secara sosial-budaya.

Seperti diberitakan media ini, baik Aceng ataupun Daming sama-sama merasa dikucilkan oleh lingkungan karena tabiat, tingkah polah dan perilaku sebagai pejabat publik yang tak ramah gender dengan mudah dan ringan “melecehkan” perempuan.
Pengakuan hakim Daming, seperti diungkapkan dalam sebuah tabloid perempuan bahkan mengakui, di rumahnya sendiri, di dalam keluarganya sendiri dirinya sudah “diasingkan” oleh sang istri dan kedua anak perempuannya, gara-gara salah ucap ketika menjalami fit and proper test di DPR itu. Hingga kini Daming pun seperti kehilangan wibawa dan kredibilitas sosialnya.

Setali tiga uang dengan nasib “merana” sang Bupati Garut, Aceng Fikri. Ia tak hanya sudah diancam dipecat sebagai bupati dengan segala fasilitas mewah yang selama ini menghidupi diri dan keluarganya, tetapi juga merasakan terasing di daerahnya sendiri.

Lantaran hampir semua pendukungnya dulu (kecuali tim pengacaranya yang membela secara membabi buta), hati dan pikirannya sudah hampa sehingga budayawan Jawa Barat, Asep Purnama, menyebutnya sebagai “karma” lantaran menyia-nyiakan perempuan.

Pelajaran bagi Pejabat Publik

Pakar feminisme dari Amerika, Cristine Mile dalam bukunya Beyond Woman Power’s Update (2010) menyebutkan bahwa meskipun era perempuan sedang bergerak memperkuat “kekuasaan” dan pengaruh politiknya di dunia laki-laki pada abad 21 ini, disadari atau tidak, masih banyak laki-laki yang menilai maupun memperlakukan perempuan sekadar sebagai kanca wingking pasif-submisif, objek penderita kekuatan, kekuasaan dan kejayaan sebuah jabatan publik (khususnya yang dipegang kaum laki-laki) sehingga memperlakukan kaum hawa sebagai aset dan properti sang pejabat.

Paradigma gender yang berkembang belakangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya, pun faktanya masih sekadar wacana bahkan di kalangan para pengambil kebijakan, para pejabat publik. Kita saksikan, misalnya, dari banyaknya regulasi negara/daerah yang memperlakukan kaum perempuan sekadar sebagai penikmat seks-biologis—misalnya munculnya larangan “ngangkang” di Aceh.

Bukan tidak mungkin, dana lain-lain bersumber APBN/D yang menurut BPK tak jelas penggunaannya, masuk ke kas perempuan, alias untuk “ belanja perempuan” di kalangan pejabat kita. Sungguh memalukan!

Padahal, pejabat publik, seperti tercantum dalam UU No 28/2009 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sudah bersumpah dan menebar janji untuk menjaga etika, moral dan kepatutan sosial di mana amanah ini juga sudah termaktub dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU tersebut, jabatan bupati/wakil dan segenap jajaran eksekutif, legislatif daerah disebutkan (pasal 28) wajib menjunjung tinggi etika sosial budaya, nilai agama serta norma dan nilai hukum sosial sekaligus bekerja keras untuk menegakkannya di tengah-tengah masyarakat.

Menjunjung dan menegakkan etika sosial-budaya menurut budayawan Emha Ainun Nadjib harus dimaknai tidak sekadar semua tabiat, etika dan perilaku pejabat harus berdasarkan hukum positif, jelas rujukan tekstual berdasarkan kiblat undang-undang hukum (pidana-perdata) yang sudah dijadikan rujukan hukum negara resmi, tetapi juga perilaku, mental dan tabiat pejabat publik yang jujur dan bersih, sopan dan ramah terhadap nilai-nilai, norma dan etika sosial-budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat aktual keindonesiaan.

Nilai-nilai dan etika sosial-budaya aktual keindonesiaan itu juga antara lain adalah respons dan tuntutan publik luas terhadap nasib perempuan, sosok terdekat dengan pejabat publik itu sendiri. Maka etika sosial-budaya aktual yang harus dipatuhi segenap pejabat publik, para penyelenggara negara antara lain adalah berjuang menegakkan etika, norma dan nilai-nilai hidup kekinian yang diakui atau tidak turut memengaruhi roda pemerintahan, pembangunan dan layanan publik.

Spirit menilai, memandang dan memperlakukan perempuan dalam kesetaraan di hampir semua laku birokrasi pemerintahan, pembangunan dan layanan publik demikian, tidak hanya menjadi gejala dan tren lokal-nasional Indonesia, tetapi sudah menjadi isu global di mana siapa pun berani melanggar etika sosial-budaya kekinian yang disebut oleh Cristine Mile sebagai the way you save civilization.

Maka lahirlah kebijakan PBB yang terus memproduksi keputusan-keputusan global untuk dan atas nama pemberdayaan perempuan, pengembangan potensi perempuan serta penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan.

Kasus kemarahan rakyat karena pemerkosaan yang mengakibatkan kematian di India, pemecatan massal pejabat tinggi di China gara-gara menonton pekerja seks beramai-ramai di ruang publik serta aneka kasus global aktual yang memalukan pejabat publik hanya gara-gara memperlakukan perempuan semaunya sendiri, semestinya menjadi pelajaran berharga kepada semua pejabat publik di berbagai bidang untuk segera menghentikan pandangan, penilaian dan perlakuan buruk kepada perempuan.

Oleh karena itu, menjadi amat naif, nista bahkan bisa mengancam keamanan dan keselamatan sebuah jabatan publik yang selama ini telah dipertaruhkan segenap pemburu jabatan publik (baik eksekutif, legislatif ataupun yudikatif—red), jika di saat bersamaan para pejabat publik itu meremehkan, melecehkan apalagi bertindak dengan kekerasan baik fisik atau non-fisik terhadap sosok perempuan, siapa pun dan apa pun latar belakang sosial, ekonomi dan politik pada partner hidup kita, perempuan.

Justru semestinya, perempuan harus kita lindungi, sayangi dan kembang berdayakan potensi, bakat dan kemampuannya sehingga pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik mau dan mampu berjalan adil dan profesional demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di saat bersamaan, meningkatkan dukungan, respons, perhatian dan empati publik terhadap perempuan tidak justru meninabobokan kaum perempuan Indonesia, tetapi harus menjadi modal sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya semua komponen bangsa khususnya perempuan agar lebih berkiprah positif di berbagai bidang dengan mengembangkan semua potensi dan kompetensi diri dan kaumnya sehingga secara sosio-kultural mau dan mampu membebaskan diri dan kaumnya dari berbagai ketidakadilan yang selama ini menjadi akar pelecehan, penistaan dan aneka kekerasan terhadap perempuan.

Maka, wahai perempuan, persenjatai diri dengan penguasaan ilmu, teknologi dan keterampilan hidup dan tidak mudah menjadi boneka mainan peradaban. Karena hakikatnya hanya itulah yang dapat menolong harga diri, citra dan wibawa perempuan kini dan nanti!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar