Rabu, 30 Januari 2013

Politik Ekologi dan Menteri Jabodetabek


Politik Ekologi dan Menteri Jabodetabek
Ansel Alaman Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Januari 2013



EDITORIAL Media Indonesia (21/1) menurunkan judul Politik Ekologi Banjir. Yang menarik dari editorial itu ialah usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat untuk mencegah banjir dengan beberapa megaproyek seperti penyodetan Sungai Ciliwung, bangun waduk Ciawi, deep tunnel, normalisasi 13 sungai, penataan permukiman di bantaran Kali Ciliwung, 10 ribu sumur resapan, dan pembuatan pompa air khusus di Ancol.

Persoalannya, bagaimana menangani urusan ekologi yang melingkupi tiga wilayah administratif provinsi itu? Cukupkah ditangani DKI atau membentuk kementerian urusan Jabodetabek? Ekologi pertama kali dikemukakan Ernst Haeckel (1834-1914), sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dan lingkungan lain. 

Konten ekologi sebagai sains ialah mempelajari interaksi, baik antarmakhluk hidup maupun makhluk lain di sekitar. Ekologi fokus pada keterkaitan fungsional sebagai sebuah sistem. Dengan konsep itu, menata Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) sebagai ekologi harus dalam tiga matra, yakni banjir (sampah), transportasi (macet), dan kejahatan (narkoba, kekerasan, pembunuhan).

Dalam ketiga hal itu, ekologi bekerja ibarat `metabolisme' tubuh kita. Metabolisme ditandai dengan interaksi yang sistemis, keterpaduan berbagai fungsi menjadi satu kesatuan sebagai sebuah sistem. Dari teori sistem--sebagaimana diungkapkan Ritzer (George Ritzer, Douglas J Goodman, Sociological Theory, 2004), sistem sebagai integrasi proses dan fungsi sehingga menjadi ekosistem.

Jika paradigma itu kita konversikan ke dalam persoalan di DKI, mengapa tiap tahun banjir, macet, dan aneka tindakan kejahatan terus saja terjadi? Penanganan banjir (dan sampah), transportasi (kemacetan), dan tindak kejahatan (narkoba, kekerasan, dan lain) sangat parsial, tidak dipandang sebagai sesuatu yang integral. Tidak ada koordinasi di tataran substantif dan teknis antara pemda DKI, Jawa Barat, dan Banten sehingga penanganannya sangat parsial dan lokal.

Prioritas DKI, misalnya, menahan laju debit banjir kiriman di musim penghujan dan membenahi daerah aliran Sungai Ciliwung. Namun, di saat yang sama Jawa Barat memilih prioritas membenahi permu kiman warga. Sementara itu, Banten fokus ke pembangunan drainase. Itulah kerja parsial, tidak integratif dan sistemis. Lalu bagaimana?
Revolusi Politik Ekologi
Solusinya dengan pembaruan ‘revolusi’ politik ekologi di Jabodetabek. ‘Revolusi’ itu menuntut pembaruan perilaku dan penataan kepemerintahan (governance), baik masyarakat sebagai `pemangku kepentingan’ maupun pemerintah sebagai `pemangku kewajiban' (Andrew Dobson, Ecologism, dalam Contemporary Political Ideologis, 2001). Ekologisme Dobson menyerukan back to nature, kembali ke alam dengan gerakan penghijauan, pelestarian (preservation), dan perlindungan (conservation) sebagai sebuah environmental politics.
Untuk merombak total manajemen ekologi, banjir, macet, dan tindak kejahatan harus lah menjadi urusan wajib pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bukan hanya karena lintas provinsi, melainkan juga intensitas dan skala persoalannya tinggi.
Karena itu, `revolusi' politik ekologi Jabodetabek punjur itu harus mencakup tiga arah dasar.

Pertama, menata fungsi-fungsi yang berkaitan dengan sumber daya air dan lingkungan. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penataan fungsi sumber daya air dan lingkungan ditujukan bagi kepentingan dasar manusia baik pemenuhan air baku untuk M C K (mandi, cuci, kakus), untuk irigasi, untuk pembangkit listrik, maupun penghijauan. Untuk tujuan itu, harus dilakukan penataan daerah aliran sungai (DAS) 13 sungai mulai hulu di Puncak dan Cianjur sampai muaranya di pantai utara Jakarta.

Penataan fungsi sumber daya air dan lingkungan itu dapat dijalankan dengan membangun enam proyek penataan sumber air usulan Gubernur Joko Widodo dan pemerintah pusat tersebut. Berkaitan dengan lingkungan dan tata ruang Jabodetabek, harus ditata ulang bahkan izin pembangunan vila dicabut bagi developer perumahan dan perkantoran di Puncak, Cianjur, dan kawasan Halimun-Salak serta menata kawasan perumahan dan permukiman sesuai UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No 20/2011 tentang Rumah Susun. Sejalan dengan itu, sesuai UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah menertibkan tata ruang wilayah. Dengan perda RTRW, warga diwajibkan mengelola sampah dalam dua jenis (kering dan basah) serta mewajibkan setiap rumah tangga, kantor, vila, sekolah, lembaga kemasyarakatan untuk menggali sumur peresapan air, dikontrol dan diberi sanksi.

Kedua, ekologi yang menyakitkan di Jakarta selain banjir (dan sampah) ialah kemacetan. Pada siang hari ada 14 juta warga yang bekerja di Jakarta dan hanya sekitar 8 juta orang yang tinggal di malam hari. Selebihnya mobilitas ke setiap penjuru Jabodetabek. Itu berarti membutuhkan sarana dan prasarana transportasi baik bus (umum dan busway), kereta commuter line, maupun kereta rel listrik (KRL), yang dioperasikan sesuai dengan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian.

Jika sekitar 6 juta warga yang tinggal di luar Jakarta hanya diatur DKI dan PT KA (PT Commuterline), akan sulit menembus wilayah administratif pemerintahan, dan tidak akan mewujudkan MRT (mass rapid transit). Karena itu, transportasi harus juga menjadi urusan wajib pemerintah pusat, integrasi dengan penataan banjir dan lingkungan.

Ketiga, politik ekologi berkaitan dengan jaminan keamanan dan ketertiban.
Wilayah Jabodetabek sangat rawan kasus-kasus kejahatan seperti narkoba, pembunuhan, penggunaan senjata api, pemerkosaan, kekerasan bahkan atas nama agama dan golongan, pencurian, pembobolan bank, dan korupsi sampai pencucian uang. Semua kejahatan itu berdelik tindak pidana ringan sampai extraordinary crime, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Dalam pembaruan politik ekologi penegakan hukum sampai pemiskinan koruptor harus bisa dijalankan tanpa pandang bulu.

Dengan ketiga dimensi politik ekologi itu, kita sampai pada kesadaran baru bahwa banjir, macet, dan kejahatan ibarat saudara `kembar siam' yang membutuhkan revolusi paradigma. Tidak ada pilihan lain selain penangannya harus oleh lembaga setingkat menteri. Tidak salah jika kita meminta Presiden untuk segera membentuk kementerian urusan Jabodetabek.

Hal itu mendesak dengan menunjuk Pasal 6 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang isinya merujuk Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), yang mengatur kewenangan presiden membentuk kementerian untuk urusan lingkungan hidup, transportasi, dan keamanan (dalam hal ini daerah khusus seperti Jabodetabek). 

Dengan demikian, baik komitmen Gubernur Joko Widodo dan pemerintah pusat untuk membangun 6 megaproyek penanggulangan banjir di wilayah Jabodetabek maupun wacana megapolitan yang dulu pernah diungkap mantan Gubernur Sutiyoso akan terwujud dengan adanya kementerian urusan Jabodetabek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar