Sabtu, 26 Januari 2013

Tak Ada Kawan Abadi…


Tak Ada Kawan Abadi…
James Luhulima ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 26 Januari 2013



Dalam politik tidak ada istilah kawan abadi ataupun musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi.
Adagium ini muncul ke permukaan pada tahun 1972 ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon berkunjung ke Beijing, China, menyusul diplomasi pingpong (tenis meja). Kunjungan seorang presiden AS ke Beijing pada saat itu sangat mengejutkan karena China adalah musuh bebuyutan AS. Sejak tahun 1950-an, AS bersekutu erat dengan Taiwan untuk menghadang China.
Dengan kunjungan Nixon ke Beijing itu, Taiwan sebagai sekutu terdekatnya merasa ditinggalkan AS. Namun, AS meyakinkan Taiwan bahwa hubungan AS dengan China tidak berarti AS meninggalkannya. Kepentingan yang lebih besar (untuk menghadapi Uni Soviet) membuat AS tidak mempunyai pilihan lain, kecuali merangkul China. Dengan kata lain, kepentingan dapat menjadikan lawan menjadi kawan atau kadang-kadang bahkan kawan menjadi lawan.
Adagium itu kembali terbukti dalam perpecahan yang terjadi di Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Hary Tanoesoedibjo, Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem, 21 Januari lalu, memutuskan mundur dari jabatan dan sekaligus keanggotaan partai.
Sebagai alasan dari pengunduran dirinya itu, Hary Tanoe mengatakan, ”Saya ingin mempertahankan struktur partai saat ini tanpa perubahan karena kinerjanya sudah sangat baik. Menurut saya, kita yang sudah senior-senior sebaiknya mendorong yang muda terus berjalan maju. Tapi ternyata Pak Surya Paloh ingin mengubah ini, dan dia mau jadi ketua umum. Pada titik ini, saya memilih mundur.”
Menjawab itu, Surya Paloh, Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem, mengatakan, ”Pergantian ketua umum itu adalah agenda partai, bukan ambisi pribadinya. Bagaimana logikanya ketika saya mendirikan partai, sebagai inisiator, membuat gagasan, membuat semuanya, kemudian berambisi menjadi ketua umum?” Namun, kemudian, Surya Paloh menambahkan, ia tidak akan menolak jika partai menghendakinya menjadi ketua umum. Dan, pada Kongres Partai Nasdem, yang dimulai Jumat (25/1), Surya Paloh akan dikukuhkan sebagai Ketua Umum Partai Nasdem, menggantikan Patrice Rio Capella.
Sangat Disayangkan
Dalam tulisan ini, perhatian tidak ditujukan kepada siapa di antara kedua tokoh itu yang benar atau salah. Akan tetapi, lebih diarahkan pada bagaimana dua tokoh yang sebelumnya bahu-membahu dan bersatu padu dalam mengembangkan partai hingga lolos dalam verifikasi peserta pemilihan umum di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berpisah karena berbeda prinsip atau berbeda kepentingan.
Perpecahan di antara kedua tokoh Partai Nasdem itu tentunya sangat disayangkan. Bagaimana bisa dua tokoh yang berhasil membawa Partai Nasdem menjadi satu-satunya partai baru yang menjadi peserta Pemilihan Umum 2014 justru berpisah ketika keberhasilan diraih?
Seperti yang dikatakan Hary Tanoe di atas, ”Saya ingin mempertahankan struktur partai saat ini tanpa perubahan karena kinerjanya sudah sangat baik.” Prinsip yang dianut Hary Tanoe itu lazim dipegang dalam dunia olahraga, yakni jika ingin menang, jangan pernah mengganti tim yang menang (never change a winning team). Di luar itu, Hary Tanoe juga menganggap bahwa anak-anak muda lebih cocok dengan citra perubahan yang ingin dibawa Partai Nasdem.
Namun, tampaknya tidak semua tokoh di Partai Nasdem sependapat dengan Hary Tanoe, yang bergabung dengan Nasdem pada 9 Oktober 2011. Ada anggapan di Partai Nasdem bahwa kepengurusan Partai Nasdem yang dipimpin Patrice Rio Capella hanya memadai untuk meloloskan Partai Nasdem dalam proses verifikasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta KPU.
Akan tetapi, untuk dapat meraih banyak suara dalam Pemilihan Umum 2014 dirasakan perlu untuk sedikit memodifikasi kepengurusan Partai Nasdem, termasuk antara lain dengan mengganti ketua umumnya.
Persoalannya, hipotesis mana yang benar? Tidak mengganti tim yang menang, atau menggantinya dengan alasan langkah itu memang diperlukan untuk dapat meraih banyak suara dalam Pemilihan Umum 2014? Sangat sulit membuktikan hipotesis mana yang benar.
Sebab, jika dalam Pemilihan Umum 2014 Partai Nasdem memperoleh banyak suara, maka pihak-pihak yang mendukung Surya Paloh dapat mengklaim bahwa keputusan mereka mengganti ketua umum itu sudah benar. Namun, pihak-pihak yang mendukung Patrice Rio Capella sebagai ketua umum juga dapat mengklaim, jika ketua umum tidak diganti, suara yang diperoleh Partai Nasdem bisa jauh lebih besar.
Sebaliknya, jika dalam Pemilihan Umum 2014 Partai Nasdem hanya memperoleh sedikit suara, maka pihak-pihak yang mendukung Patrice Rio Capella dapat mengklaim bahwa keputusan Partai Nasdem mengganti ketua umum itu keliru. Namun, pihak-pihak yang mendukung Surya Paloh sebagai ketua umum juga dapat mengklaim, jika ketua umum tidak diganti, suara yang diperoleh Partai Nasdem bisa jauh lebih sedikit.
Pihak mana pun dapat mengklaim apa pun karena sejarah memang tidak mengenal pengandaian.
Kita hanya bisa berharap agar kepergian Hary Tanoe dari Partai Nasdem itu tidak membuat posisi partai itu melemah, seperti yang dikhawatirkan sejumlah orang. Untuk dapat mencapai tempat yang sekarang diraih Partai Nasdem, yakni menjadi satu-satunya partai baru yang menjadi peserta Pemilihan Umum 2014, bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan, ada partai lama yang tidak berhasil lolos verifikasi yang diadakan KPU.
Nah, posisi yang bagus ini kita harapkan dapat dipertahankan Partai Nasdem dalam Pemilihan Umum 2014 sehingga partai itu dapat meraih cukup banyak kursi untuk berkiprah di Dewan Perwakilan Rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar