Selasa, 29 Januari 2013

Talangan Haji


Talangan Haji
Anggito Abimanyu ;  Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI
REPUBLIKA, 28 Januari 2013

  
Pada awalnya, dana talangan haji ini dirasa sangat membantu jamaah untuk memenuhi kewajiban membayar biaya haji. Tetapi, akhir-akhir ini banyak dipertanyakan mengenai kesesuaian dana talangan haji dengan hakikat dasar ibadah haji. Dana talangan haji merupakan salah satu produk unggulan di perbankan syariah Indonesia. Produk ini diluncurkan untuk membantu jamaah yang belum mampu secara finansial (dalam membayar setoran awal) untuk mendapat nomor porsi. 
Sesuai Fatwa DSN MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002, perbankan atau lembaga keuangan (LK) diperbolehkan untuk memberikan dana talangan haji kepada jamaah sesuai dengan prinsip al-Ijarah dan al-Qardh. Sebagai konsekuensi dari talangan dana ini, bank atau LK berhak menetapkan ujrah atau imbalan kepada nasabah. 
Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, sedang melakukan finalisasi regulasi bagi Bank Penerima Setoran (BPS) dalam melakukan talangan dana haji. Berikut terdapat beberapa alasan Kementrian Agama untuk mengkaji ulang keberadaan dana talangan haji tersebut. Pertama, salah satu syarat wajib haji adalah mampu, seperti firman Allah SWT berikut: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran : 97).
Sudah jelas disebutkan dalam ayat tersebut bahwa seseorang yang wajib berhaji adalah yang memenuhi persyaratan kemampuan (istita'ah). Secara finansial harus memiliki kemampuan membayar biaya perjalanan, sanggup membayar biaya penginapan dan biaya lain yang dicakup dalam Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), serta sanggup menyisihkan tabungan bagi keluarga yang ditinggalkan. Jika kita bersandar pada ayat tersebut, keberadaan dana talangan Haji dapat dijadikan alat bagi seseorang yang sebetulnya belum mampu secara finansial dan, dengan kata lain, orang yang belum mampu tersebut sebetulnya belum wajib baginya untuk berhaji. 
Kedua, saat ini syarat-syarat perolehan dana talangan haji perbankan sangatlah ringan dan mudah, sehingga menggiurkan bagi mereka yang belum mampu untuk ikut mendaftar haji. Dari hasil studi kami dengan konsultan dari Universitas Airlangga, Surabaya, telah ditemukan dengan setoran awal Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta seseorang calon jamaah sudah bisa membuka rekening tabungan haji, dan dengan tambahan Rp 2 juta sudah mendapat nomor porsi. 
Padahal, ketika menyusun fatwa mengenai pembiayaan pengurusan haji, diasumsikan bahwa jamaah wajib dana cukup (sekitar 75 persen) dari dana setoran awal BPIH, sebelum dinyatakan berhak mendapat dana talangan. Sayangnya, persyaratan tersebut tidak dituliskan dalam fatwa mana pun, sehingga bank bebas menentukan jumlah minimum setoran awal nasabah.
Ketiga, selain setoran awal yang sangat kecil, bank juga menetapkan ujrah atau imbalan yang bisa dibilang relatif besar jika dibandingkan dengan jumlah talangan yang diberikan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa rata-rata bank menetapkan ujrah Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per tahun, belum termasuk biaya administrasi. 
Jika jamaah meminjam untuk jangka waktu 3 tahun untuk plafon Rp 24 juta, maka ujrah yang harus dibayarkan untuk bank sudah mencapai 30 persen dari nilai pinjamannya. Sungguh persentase yang sangat besar. Ada bank yang menetapkan ujrah berdasarkan suatu persentase terhadap besaran dana talangan; hal ini dipertanyakan karena bertentangan dengan prinsip syariah.
Selain itu, jika kita lihat Fatwa DSN MUI NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, pembiayaan dana talangan haji ini bisa dikatakan sedikit ambigu dalam penerapannya. Akad ijarah pada dasarnya merupakan akad penyewaan barang dan sewa atau penyediaan jasa dan upah. 
Sedangkan, dalam penerapan dana talangan haji, bank tidak menyewakan barang apa pun, kecuali uang dianggap sebagai komoditas. Padahal, sudah jelas uang bukan komoditas, berdasarkan prin sip syariah. Bank juga tidak menyediakan jasa apa pun karena pada akhirnya jamaah harus mengurus prosedur pendaftaran sendiri tanpa campur tangan bank.
Keempat, waktu tunggu calon haji reguler saat ini berkisar antara 10 tahun hingga 15 tahun. Keberadaan produk dana talangan haji ini dirasa berdampak pada bertambah panjangnya jumlah antrean calon haji tersebut dari tahun ke tahun. Kontribusi dana talangan haji juga cukup signifikan terhadap dana setoran awal jamaah haji. 
Menurut hasil kajian kami, dalam beberapa tahun terakhir telah terkumpul dana talangan haji sebesar Rp 7 triliun, ini berarti sekitar 30 persen dari total dana setoran awal yang terkumpul dalam 2 tahun terakhir. Bertambah panjangnya antrean tersebut menyebabkan, pertama, kerawanan adanya intervensi pihak tertentu yang ingin mendapatkan prio- ritas dalam mengisi sisa kuota akhir, dan kedua, kepanikan bagi jamaah belum mampu yang melihat begitu panjangnya antrean dengan bertindak irasional, yakni memaksa ikut serta dalam antrean tersebut. 
Melihat berbagai fakta di atas, Kementrian Agama Republik Indonesia sedang melakukan finalisasi pengaturan BPS (Bank Penerima Setoran) untuk melaksanakan dana talangan haji dengan opsi sebagai berikut. Pertama, jika produk talangan bertentangan dengan ketentuan kemampuan berhaji dan menimbulkan daftar tunggu yang berlebihan, perlu ada larangan produk talangan haji pada perbankan. Kedua, jika produk talangan tidak bertentangan dengan fatwa MUI, Kemenag melalui kerja sama dengan Bank Indonesia akan membuat regulasi yang mencakup, namun tidak terbatas pada persyaratan kelayakan BPS untuk memberikan dana talangan, dan batas maksimal talangan kepada jamaah serta persyaratan ujrah. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar