Rabu, 30 Januari 2013

Tantangan bagi Perbankan Syariah


Tantangan bagi Perbankan Syariah
Hadziq Jauhary ;  Consumer Financing Analyst
Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah Cabang Semarang
SUARA MERDEKA, 29 Januari 2013


"Sejatinya, skema pinjaman modal kerja dari perbankan syariah bisa membuat lebih nyaman pelaku usaha"

ARTIKEL Dr Mutamimah SE MSi berjudul ”Bank Syariah dan Industri Kreatif” (SM, 31/12/12) sungguh menarik dan menyentil praktisi perbankan syariah yang selama ini dinilai belum optimal dalam memberdayakan sektor riil mengingat fakta masih tingginya pembiayaan murabahah ketimbang pembiayaan musyarakah dan mudharabah.
Pembiayaan murabahah menggunakan akad jual beli atau kurang lebih serupa dengan kredit konsumtif pada bank konvensional. Sementara pembiayaan musyarakah dan mudharabah menggunakan akad kerja sama yang saling menguntungkan berlandaskan kesepakatan bagi hasil.
Mengingat salah satu tujuan keberadaan bank syariah untuk memacu pertumbuhan sektor riil guna mening­kat­kan kesejahteraan masyarakat maka skema pembiayaan modal kerja (musyarakah dan mudharabah) pun semestinya lebih mendominasi.
Realitasnya, untuk mencapai kondisi itu tidak semudah membalik telapak tangan. Dari sisi aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga bank syariah, pencapaian pertumbuhan dari tahun ke tahun memang mengalami peningkatan signifikan. Namun fakta menunjukkan market share perbankan syariah tak kunjung bergerak hingga angka dua digit.
Bahkan untuk mencapai angka 6% saja, perlu usaha ekstrakeras karena pada saat yang sama bank-bank konvensional pun bertumbuh secara signifikan melalui eks­pansi bisnis yang cukup tinggi. Di sisi lain, pelaku usaha, terutama pelaku industri kreatif, belum sepenuhnya memahami keberadaan bank syariah.
Padahal, kelak merekalah yang lebih berperan meningkatkan porsi pembiayaan musyarakah dan mudharabah dibanding pembiayaan murabahah. Karena belum sepenuhnya memahami keberadaan dan sistem perbankan syariah, otomatis minat melirik bank syariah pun masih cukup minim. Faktor ”kesalahpahaman” memaknai istilah syariah, masih kental pada pelaku industri kreatif.
Akibat banyak istilah dalam Bahasa Arab yang dianggap kurang familiar, mereka lebih memilih mengambil kredit modal kerja pada bank konvensional. Bahkan, ada calon nasabah berpikir negatif, yakni khawatir tertipu jika berurusan dengan bank syariah mengingat banyak istilah Arab yang asing bagi mereka.
Padahal sejatinya, skema pinjaman modal kerja pada bank syariah bisa lebih membuat nyaman pelaku usaha. Semisal, mereka tak perlu membayar angsuran, bahkan bagi hasil (margin) seandainya usaha mereka belum menunjukkan perkembangan atau belum banyak barang dagangan yang laku, tentu saja sesuai kesepakatan awal.
Hal itu mengingat semua transaksi bisnis pada bank syariah didahului akad yang sebelumnya juga dimusyawarahkan demi ketercapaian kesepakatan perihal skema pengembalian modal usaha dan progress pengembangan usaha tersebut.
Tantangan pengembangan bank syariah memang besar. Kendati mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tak mudah mengajak mereka bermitra dengan bank syariah. Mereka mengesampingkan alasan religi atau fondasi keagamaan, tergantikan aspek bisnis. Hanya sebagian kecil nasabah yang loyal terhadap perbankan syariah dengan persentase 22,4%.
Dengan demikian, perlu sosialisasi dan edukasi lebih intensif perihal keberadaan dan sistem operasional bank syariah. Tentu perlu kreativitas tinggi untuk menyosialisasikan dan mengedukasikan. Program yang dijalankan hingga saat ini, terutama yang dimotori Bank Indonesia, semisal sarasehan, ekspo perbankan syariah di mal atau pusat keramaian, partisipasi pada peringatan hari besar keagamaan, termasuk bakti sosial, sudah cukup baik.
Edukasi Masyarakat
Namun, untuk mencapai lompatan pertumbuhan aset dan peningkatan market share di tengah berbagai tantangan dan ancaman krisis global, memerlukan langkah khusus dan kreatif sekaligus concern terhadap pengedukasian terhadap kalangan muda perihal sistem bank syariah.
Pasalnya, pada masa mendatang merekalah yang akan sering menggunakan jasa perbankan syariah. Terutama, pengedukasian intensif pada kantong-kantong strategis, seperti himpunan pengusaha muda, atau organisasi kepemudaan.
Pengundangan regulasi baru yang mewajibkan uang muka pembiayaan pembelian motor/ mobil dari perusahaan pembiayaan atau multifinance syariah minimal 20% berdasarkan Permenkeu Nomor 220/PMK.010/2012 perihal Perubahan atas Permenkeu Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan, semestinya tak perlu diberlakukan lebih dulu. (SM, 31/12/12).
Pasalnya, selain makin memberatkan masyarakat mengingat sebelumnya ada aturan pembatasan uang muka minimal 30% untuk pembiayaan kepemilikan rumah (KPR), regulasi baru itu akan memengaruhi portofolio pembiayaan pada bank syariah. Kebijakan pemerintah semestinya linier dengan semangat mengembangkan bank syariah.
Misalnya, meningkatkan infrastruktur, mempermudah perizinan terkait bisnis syariah, atau menghentikan pengenaan double tax pada bank syariah.
Lebih baik lagi bila pemerintah mengenakan pajak lebih rendah terhadap bank syariah ketimbang bank konvensional. Selain itu, pemerintah lebih gencar lagi mengedukasi masyarakat mengenai keberadaan dan sistem perbankan syariah demi meningkatkan perekonomian rakyat dengan cara yang menenteramkan dan lebih berkeadilan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar