Rabu, 30 Januari 2013

Transisi Kepemimpinan dan Politik Regional di Asia Pasifik


Transisi Kepemimpinan
dan Politik Regional di Asia Pasifik
Shohib Masykur Diplomat Indonesia
DETIKNEWS, 28 Januari 2013



Kita meninggalkan tahun 2012 dengan menyaksikan transisi kepemimpinan di pemain-pemain utama kawasan Asia Pasifik: Jepang, China, Korea Selatan, dan ASEAN. Beberapa isu yang dapat berdampak pada politik regional di Asia Pasifik menyertai proses transisi ini.

Transisi di China berjalan cukup lancar meskipun terdapat sedikit hiruk pikuk. Pada tanggal 15 November 2012, Xi Jinping secara resmi didaulat menggantikan Hu Jintao sebagai pemimpin Partai Komunis China dalam sebuah transisi yang berlangsung sepuluh tahun sekali.

Di Jepang, pemilihan umum diselenggarakan sebulan kemudian pada tanggal 16 Desember 2012 dan berakhir dengan kemenangan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang tiga tahun sebelumnya sempat kehilangan dominasinya atas politik Jepang yang sudah dipegangnya sejak Perang Dunia II. Shinzo Abe dari LDP menjabat sebagai Perdana Menteri untuk kedua kalinya, menggantikan Yoshihiko Noda dari Partai Demokratik Jepang (DJP) yang sebelumnya berkuasa.

Di Korea Selatan, Park Geun-hye terpilih sebagai presiden perempuan pertama dalam sejarah Korea setelah partainya memenangkan pemilu pada tanggal 19 Desember 2012. Park mengalahkan Moon Jae-in dari Partai Persatuan Demokratik.

Sementara ASEAN, meskipun kepemimpinannya tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan negara, juga mengalami transisi dengan penyerahan jabatan Sekretaris Jenderal dari Surin Pitsuwan (Thailand) ke Le Luong Minh (Vietnam) pada tanggal 9 Januari 2012. Minh adalah mantan wakil menteri luar negeri Vietnam yang telah berkarir sebagai diplomat selama lebih dari 30 tahun.

Isu-isu Krusial

Beberapa isu politik luar negeri mengemuka seiring dengan terjadinya transisi berturut-turut di Asia Pasifik. Para pemimpin baru pun menghadapi tantangan baru.

Salah satu isu utama adalah persengketaan China dan Jepang atas pulau Diaoyu (atau Senkaku dalam versi Jepang) yang telah menyulut nasionalisme China. Warga China memprotes dan menuntut agar para pemimpin mereka mengambil langkah tegas atas Jepang dalam isu ini.

Pada saat yang sama, Jepang juga dihadapkan pada meningkatnya sentiment nasionalisme. Abe, yang juga merupakan seorang nasionalis, pernah menyerukan amandemen konstitusi pasifis Jepang agar memberikan peran yang lebih besar kepada militer. Dia membentuk kabinet yang berisi para tokoh konservatif yang ingin agar sejarah Jepang direvisi dan menghilangkan kesan Jepang sebagai negara agresif di masa Perang Dunia II sebagaimana diajarkan di buku-buku sekolah. Ini merupakan langkah yang membuat khawatir negara-negara tetangga yang merasakan agresivitas Jepang di era Perang Dunia II.

Sejarah menunjukkan bahwa meningkatnya nasionalisme, yang dapat berujung pada ultranasionalisme, bukanlah berita baik untuk negara-negara tetangga. Jika ada hal yang lebih buruk dari meningkatnya ultranasionalisme satu negara, maka itu adalah meningkatnya ultranasionalisme dua negara yang bertetangga secara bersama-sama, dan fakta bahwa keduanya berseteru hanyalah membuat situasi makin buruk lagi.

Kita bisa memperkirakan bahwa ketegangan antara China dan Jepang akan sangat mungkin meningkat dalam waktu dekat, dan hal ini dapat berdampak negatif bagi kawasan Asia Pasifik yang saat ini tengah digadang-gadang sebagai motor penggerak perekonomian dunia di tengah krisis yang melanda negara-negara Barat. Karenanya, apa yang terjadi antara Jepang dan China akan menjadi perhatian dunia internasional mengingat dampak global yang mungkin ditimbulkannya.

Sementara itu, ketegangan antara Korea Selatan dan Korea Utara juga meningkat setelah Pyongyang berhasil meluncurkan roket untuk petama kalinya pada tanggal 12 Desember 2012. Hal ini bukan pertanda baik buat Park yang selama kampanye menunjukkan pendekatan yang lunak terhadap tetangganya itu dengan menerapkan kebijakan merangkul Korea Utara. Kebijakan Park ini lebih bersahabat jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya, Lee Myung-bak. Negara-negara Barat pun mengkritik keras peluncuran roket Korut tersebut.

Sukurlah pendulum sepertinya bertolak balik ketika pada awal 2013 Kim Jong-un menyampaikan pidato tahun baru dengan mengatakan ingin berdamai dengan Seoul. Ini merupakan sebuah pernyataan yang langka dari pucuk pimpinan Korut. Namun Park, dan juga negara-negara tetangga di kawasan, belum boleh senang dulu karena berdasarkan pengalaman, tidak banyak pernyataan dari Korut yang dapat dipercaya kecuali ketika mereka bilang akan mengembangkan senjata nuklir. Bagaimanapun, sinyal yang dipancarkan Pyongyang layak untuk disambut baik oleh Seoul demi tercapainya kemajuan langkah menuju perdamaian di antara keduanya.

Kunci untuk ini sebenarnya banyak terletak pada Korea Utara yang selama ini menjadi pihak yang suka memancing ketegangan dengan uji coba nuklirnya. Dalam hal ini, China yang memiliki hubungan dekat dengan Korea Utara akan memainkan peran penting dalam menentukan sikap Pyongyang. Karena itu, Xi yang kooperatif dibutuhkan tidak hanya oleh Park tetapi juga oleh kawasan.

Di ASEAN, isu utamanya adalah batas waktu penerapan ASEAN Community 2015 yang semakin mendekat. Minh masih harus berjuang dengan masih kurangnya pengetahuan tentang ASEAN bahkan di kalangan penduduk ASEAN sendiri. Meskipun banyak langkah telah dijalankan oleh pemerintah negara-negara tersebut untuk mendorong integrasi, akan tetapi kontak di antara sesama penduduk ASEAN masih kurang karena kendala konektivitas. Di antara negara tetangga yang sedang berseteru, ASEAN sibuk mempersiapkan agendanya sendiri. Namun begitu, ASEAN perlu mewaspadai perkembangan terkini di Asia Pasifik karena hal itu akan berpengaruh terhadap upaya pencapaian ASEAN Community 2015.

Di antara semua itu, isu yang paling penting tetaplah perseteruan di Laut China Selatan yang melibatkan China, Taiwan, dan beberapa negara ASEAN. Mengingat China cenderung semakin nasionalis, dan ASEAN sendiri dipimpin oleh tokoh dari Vietnam yang juga terlibat dalam perseteruan, sangat mungkin persoalan Laut China Selatan ini tidak akan mengalami perkembangan dalam jangka yang cukup panjang.

Sementara itu, bersikap tenang namun tetap waspada adalah Australia yang menjadi salah satu jangkar utama AS dalam menancapkan porosnya di Asia Pasifik. Obama yang baru saja terpilih kembali sebagai Presiden AS akan melanjutkan kebijakannya menjadikan Asia Pasifik sebagai poros kebijakan luar negerinya, dan kehadiran pangkalan militer AS di Darwin menunjukkan bagaimana Australia berperan penting dalam hal itu.

Pihak yang paling berhak merasa terusik dengan hadirnya tentara AS di Darwin tersebut adalah Indonesia yang menjadi tetangga dekat Australia dan, tentu saja, China yang merasa keberadaannya di kawasan disaingi oleh AS. Namun tampaknya sejauh ini kedua negara tersebut tidak menunjukkan reaksi yang terlalu keras, paling tidak di permukaan. Kita tahu dalam hubungan internasional, reaksi dan intensi seringkali sama-sama samar dan tak bisa ditebaknya. Saya pribadi percaya China melakukan langkah-langkah strategis untuk merespons isu ini meskipun tidak banyak yang mereka ucapkan kepada media.

Akhirnya, di tengah semua hiruk-pikuk di kawasan Asia Pasifik, ada satu hal yang bisa dipastikan menjadi kepentingan bersama semua pihak: stabilitas. Jika ada hal yang disetujui oleh seluruh pihak, termasuk AS, tapi barangkali dengan pengecualian Korea Utara, itu adalah kebutuhan untuk menghindari perkembangan situasi yang bisa mengganggu upaya mereka mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. Sebab pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik berarti petumbuhan ekonomi global. Jadi di kawasan yang sepanjang sejarahnya penuh dengan pertentangan politik dan ideologi ini, ekonomi dapat berperan sebagai faktor pemersatu. Alangkah bijaknya apabila seluruh pihak dapat fokus pada hal ini dan mengesampingkan perseteruan yang hanya mendatangkan kerusakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar