Kamis, 28 Februari 2013

Nasib Demokrat


Nasib Demokrat
Umbu TW Pariangu Dosen Fisipol Undana, Kupang
KORAN TEMPO, 28 Februari 2013


Pengunduran diri Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat setelah penetapannya sebagai tersangka bukanlah tutup buku, melainkan lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya. Demikian disampaikan Anas sebelum secara resmi melepas jubah kebesaran Demokrat-nya di hadapan para wartawan di kantor DPP Partai Demokrat (Sabtu, 23 Februari).
Tak sedikit yang berspekulasi bahwa pernyataan tersebut merupakan bagian dari insinuasi politik ala Anas terhadap Cikeas. Anas akan melucuti fakta-fakta yang selama ini mengendap rapi di bawah karpet partai. Mungkin Anas sangat percaya diri karena merasa memiliki "memori institusional" perihal isi dapur Demokrat. Jejak kariernya sebagai komisioner KPU, Ketua Fraksi Demokrat DPR RI, hingga Ketua Umum Partai Demokrat (PD) memungkinkan dia mengungkap berbagai tabir penyimpangan yang terjadi di partai segitiga biru tersebut. Bahkan mantan Wakil Eksekutif DPP PD, Muhammad Rahmad, mengatakan Anas akan siap berdiri di barisan terdepan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Apakah ini pertanda perang head to head Anas versus SBY telah dimulai? Atau sebaliknya, psywar Anas itu pada akhirnya cuma gertak sambal sebagaimana yang sering dilakoni para calon pesakitan umumnya. Jawabannya ada di buku biru tanpa sinopsis yang akan kita baca di hari-hari mendatang. Jika halaman demi halaman di buku Anas memang kaya kejutan, menegangkan, dan menguras adrenalin pembacanya, maka genderang perang sedang ditabuh. 
Namun, jika yang terjadi sebaliknya, di mana sesumbar Anas tak terbukti dan klimaks bab buku biru tersebut berujung sembulan fakta-fakta yang telah "diaborsi" oleh proses kompromi, atau justru Anas sekadar mengada-ada, maka halaman pertama sebagaimana diisyaratkan Anas di podium pengunduran dirinya kemarin sesungguhnya tak pernah ada. Alur cerita Anas dalam drama Demokrat akan berakhir sesuai dengan skenario yang sudah diprediksi publik. 
Dalam hal ini, KPK-lah pemenangnya dan kian menuai simpati serta dukungan dari publik, karena komisi antirasuah ini mampu membuktikan di hadapan publik sebagai lembaga yang imun terhadap intervensi kekuasaan. Perkara kontroversial bocornya surat perintah penyidikan (sprindik), karena dugaan adanya friksi di tubuh pimpinan KPK atau adanya intervensi politik dari pihak luar terkait dengan opsi penetapan Anas sebagai tersangka, sejatinya sah-sah saja. Apalagi KPK merupakan lembaga yang menganut kepemimpinan kolektif-kolegial yang tak mengenal "kepala". 
Perbedaan pendapat, sepanjang berlangsung dalam suasana kebatinan--mewujudkan penegakan hukum yang adil--tentu bukanlah sebuah persoalan yang harus dibesar-besarkan. Pun ujung-ujungnya Anas toh sudah ditetapkan sebagai tersangka. Komite Etik yang mengusut dan menyelidiki kebocoran sprindik tentu berguna di level ketaatan prosedur--agar dokumen-dokumen rahasia KPK di lain waktu tidak gampang jatuh di pihak ketiga--dan rekomendasi sanksi yang akan diberikan terhadap pembocor sprindik tersebut.
Namun, yang tak kalah substantif: bagaimana KPK menjalankan tugasnya di masa mendatang dengan lebih otonom, imparsial, dan profesional, terutama dalam mengungkap kasus yang menimpa Anas? Dan tugas rakyat adalah mengawal kinerja KPK agar tak "masuk angin" dan profesional dalam mengungkap skandal dimaksud hingga ke anak tangga terakhir. 
Nasib Partai Demokrat
Lalu, bagaimana nasib elektabilitas Partai Demokrat pasca-Anas akan membaik? Tak mudah untuk menjawabnya. Bagaimanapun, sejarah kepartaian Demokrat untuk beberapa saat mendatang masih memerlukan kekuatan konsistensi diri seorang Susilo Bambang Yudhoyono sebagai aktor pemersatu. Artinya, kebijakan yang ditempuh SBY terhadap PD mendatang akan menentukan ke mana peta dan performa elektoral partai bergerak. Sebagai pendiri partai, SBY akan menjadi determinator bagi upaya penyelamatan reputasi PD di hadapan publik maupun konstituennya. 
Tentu langkah mendesak yang perlu dieksekusi SBY adalah menyolidkan kembali kader-kader PD dari ancaman faksionalitas pasca-Anas, baik di struktur elite maupun di daerah. SBY perlu menginisiasi suatu kerangka politik soliditas melalui kesepakatan di antara kader untuk membangun visi dan tujuan bersama (shared vision and goal). Politik soliditas ini ada kaitannya dengan seberapa menariknya postur dan wajah calon anggota legislatif yang diusung PD dalam pemilu 2014. Dengan kata lain, aspek integritas dan kapabilitas calon legislator harus menjadi kunci utama yang mencerminkan wajah dan reputasi partai baik dalam hal ideologi maupun kaderisasi. 
Saat ini PD sepertinya masih kewalahan "menjual" kader-kader terbaiknya di level kompetisi pemilu 2014 terhitung sejak skandal Wisma Atlet dan proyek Hambalang merebak, di mana nyanyian Nazaruddin mulai menyentuh nama pimpinan Demokrat, yakni Anas Urbaningrum. Dalam survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 12 Agustus 2012, misalnya, kita bisa melihat bagaimana bobot elektabilitas kader Demokrat masih di kisaran nol koma. Elektabilitas Anas, misalnya, hanya 0,2 persen; Marzuki Alie (Wakil Ketua Dewan Pembina PD) hanya 0,1 persen; Ibu Ani Yudhoyono sedikit lebih tinggi, yakni 1,4 persen. Sedangkan Pramono Edhie Wibowo, yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden dari PD, memiliki tingkat dukungan 0,0 persen, lebih rendah dari calon presiden alternatif PD lainnya, yakni Djoko Suyanto (Menko Polhukam), yakni 0,1 persen. 
Partai Demokrat memerlukan gizi politik baru untuk meraih kembali empati publik. Karena itu, PD perlu direkonstruksi sebagai partai kader dengan memperluas sayap dan jaringan organiknya untuk merekrut kader-kader terbaik, kemudian dilatih dan dibentuk menurut spirit dan prinsip-prinsip ideologi partai. Upaya ini penting berdasarkan prinsip "leaders are not only born, but the effective leaders have to be made" (pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi juga dibentuk). Hanya dengan begini, PD bisa meraih kembali "royalti" elektoral seperti yang pernah diperolehnya dalam pemilu 2004 dan 2009.  ●

Darurat Demokrat Jelang Pilgub


Darurat Demokrat Jelang Pilgub
Fahrul Muzaqqi Dosen di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
JAWA POS, 28 Februari 2013


KEKALAHAN quick count pasangan yang diusung Partai Demokrat (PD), Dede Yusuf-Lex Laksamana, dalam pemilihan gubernur (pigub) Jawa Barat sedikit banyak memperlihatkan bahwa partai ini memang sedang layu. Sebelumnya, kekalahan serupa terjadi di pilgub DKI. Selain dua daerah tersebut, Jawa Timur, yang sedang menyongsong pilgub 2013, merupakan daerah penting dalam barometer politik nasional (dalam pemilu 2009, PD urutan pertama di Jatim mengungguli PDIP dan PKB, Red). 

Analogi dalam istilah militer, ketika suatu wilayah sedang dalam keadaan terancam, status darurat perlu diberlakukan untuk segera diambil tindakan-tindakan cepat untuk menyelamatkannya. Begitu juga untuk PD menghadapi pilgub Jatim tahun ini.

Sangat kentara PD di Jatim sedang melemah. Di antara semua kabupaten/kota di Jawa Timur, hanya di Pacitan PD mampu memenangi dukungan dalam pilkada. Selebihnya, partai ini hanya mampu membonceng partai lain sebagai pasangan wakil bupati/wali kota, yakni di Blitar, Malang, dan Lamongan.

Padahal, pilkada dan pilgub merupakan momentum konsolidasi partai politik untuk barometer nasional. Di sisi lain, Jatim tidak dapat diabaikan sebagai salah satu episentrum. Ibarat gempa, episentrum itu nanti turut menentukan besar kecilnya jangkauan gempa yang terjadi.

Namun, kondisi PD yang hanya mampu menguasai sedikit kabupaten/kota di Jatim itu agak terselamatkan manakala melihat calon yang diusung dalam pilgub masih menempatkan pasangan incumbent Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Setidaknya pasangan ini telah memiliki start yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pasangan lain karena masyarakat Jatim tentu sudah mengenal sosok keduanya sebagai gubernur dan wakil gubernur berikut sejumlah prestasi yang ditorehkan.

Ketokohan memang lebih penting selain menggantungkan kepada mesin partai sebagaimana terjadi di pilgub Jabar. Calon PKS (Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar) menang dalam hitung cepat di tengah serudukan kasus sapi yang menimpa Lutfi Hasan Ishaaq semasa menjadi presiden PKS. 

Pertanyaan menggelitik berikutnya untuk PD adalah, apakah pasangan itu dapat menjamin stabilitas dukungan dalam pilgub Jatim di tengah kondisi PD yang sedang ditempa bertubi-tubi prahara. Saat pilgub sebelumnya, kondisi PD relatif bagus jika dibandingkan dengan saat ini setidaknya terlihat dari jajaran pengurus -baik pusat maupun daerah- yang terkonsolidasi dengan rapi. Dalam kondisi partai yang prima, pasangan Karsa dapat dengan leluasa melakukan konsolidasi internal maupun eksternal untuk meraih dukungan pemilih.

Akan tetapi, dalam kondisi partai yang prima sekalipun, pasangan Karsa masih kesulitan memenangi raihan suara secara mutlak. Pilgub Jatim 2008 berlangsung dalam dua putaran ditambah satu kali pemilihan ulang di beberapa tempat di Madura setelah sengketa pilgub di Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, PD tidak bisa mengabaikan begitu saja pentingnya konsolidasi internal maupun eksternal menghadapi pilgup walaupun tetap mengusung incumbent.

Langkah Darurat Internal 

Setali tiga uang, pekerjaan rumah yang tidak main-main beratnya menghadang PD menjelang pilgub Jatim. Pekerjaan rumah dimaksud ialah mengonsolidasikan kondisi internal PD sembari merangkul dukungan-dukungan dari luar. Kondisi internal itu tidak dapat dilepaskan dari kondusivitas kepengurusan di tingkat pusat yang belakangan sedang ditempa tsunami politik. Konflik internal di kepengurusan pusat itu tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap kepengurusan partai di level Jatim atau sekurang-kurangnya bagi citra PD di mata masyarakat pendukungnya.

Tidak berhenti di situ. Kondisi internal PD di Jawa Timur juga sedang mengalami prahara politik. Hal itu terjadi pada pemecatan dua orang kader PD yang sedang menjabat Ketua DRPD Surabaya Wishnu Wardhana dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Surabaya Agus Santoso yang kini masih alot. Sebagaimana ungkapan populer bahwa perang saudara lebih berdarah daripada perang biasa, pemecatan dua orang kader PD tersebut hingga kini belum menemukan titik solusi. 

Dua sosok itu masih ngotot bahwa posisinya sebagai kader PD maupun sebagai wakil rakyat Kota Surabaya tidak bisa digoyahkan oleh induk partai. Lebih jauh, pemecatan dua orang tersebut bahkan melebar kepada pernyataan-pernyataan kontraproduktif sebagai ungkapan kekecewaan dari keduanya terhadap Ketua DPD PD Jatim Soekarwo yang tidak lain adalah calon gubernur incumbent yang diusung PD. 

Melihat kondisi internal yang serbasulit tersebut, langkah darurat internal kiranya diperlukan. Konflik internal, baik di level pusat maupun daerah, hendaknya secepatnya diselesaikan dengan tegas dan terukur. Hal itu terkait dengan pertimbangan waktu yang mendekati pilgub Jatim, bahkan lebih jauh lagi Pemilu 2014. 

Kalaupun di level pusat masih kesulitan mencari solusi, setidaknya konflik tersebut tidak melebar ke daerah. Konflik yang berlarut-larut jelas akan menguras tenaga dan biaya yang seharusnya lebih difokuskan untuk menyambut perhelatan pilgub. 

Jangan sampai terjadi, alih-alih mempersiapkan secara matang pertarungan di pilgub, jajaran pengurus PD malah kehabisan energi untuk menyelesaikan konflik internal. Sementara calon-calon yang lain sedang bergerilya mengonsolidasikan diri untuk mengambil alih kursi Jatim 1. Alhasil, masyarakat Jatim akan terus mengawasi calon-calon maupun partai-partai yang nanti bertempur dalam Pigub Jawa Timur 2013.

Perubahan Selalu Bising


Perubahan Selalu Bising
Rhenald Kasali Ketua Program MM UI
SINDO, 28 Februari 2013


“Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.”  Barack Obama

Tak dapat disangkal, saat ini banyak orang menyenangi kata “perubahan”. Tapi apakah mereka mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir change atau perubahan adalah “ganti orang” atau ganti pimpinan. Maka tak aneh bila kata “perubahan” bukan cuma laku dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu. 

Kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat “musuh baru”,yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara. Mengapa begitu? 

Selalu Ada Resistensi 

Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti, perubahan selalu berhubungan dengan adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka. Dan “kehilangan muka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku-pelaku transformasi. 

Padahal transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energi yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan. Banyak orang tak menyadari, setiap langkah transformasi sangat berisiko bagi jabatan seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang kompleks dan mudah mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangannya. 

The Burning Platform 

Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu potensi.

Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu. Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.” Robby memang selalu bicara to the point. 

Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit kembali. Namun manakala kita kalah, betapa bisingnya suara di luar. Apalagi bila Anda melakukan perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah. Anda akan menyaksikan banyak “peluru nyasar” yang tidak jelas hendak ditembak ke mana.

Perhatikan saja betapa “bisingnya” keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan suara. Itu pun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas korupsi. Ada peluru yang ditujukan kepada salah satu kandidat meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam yang ditujukan kepada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO. 

Penembak yang lihai ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat karena begitu masuk ke ranah politik, tiap pihak punya kepentingan yang berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali. Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad. 

Kisahnya kurang lebih begini. Thariq yang lahir sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilahNafazahdi AfrikaUtara. Perawakannya tinggi, keningnya lebar, dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya, dan terutama keberaniannya. Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol. 

Lalu, Thariq diutus untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Roderick sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan 7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak dinamai Jabal (Gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gibraltar. 

Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah, kaget, dan sebagian bahkan marah. Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.” Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform dan itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin transformasi. 

Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus. Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, mereka harus maju membenahi bersama. 

Hanya itu pilihannya. Masalahnya, apakah para aktivis kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah mereka yang sedang kehilangan muka? Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers yang resisten atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung kebaikan. Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, semua ada ongkosnya dan tentu saja ada tukang catutnya. ●

Memantapkan Ekonomi Konstitusi


Memantapkan Ekonomi Konstitusi
Ahmad Erani Yustika Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef     
SINDO, 28 Februari 2013


Pada saat Indonesia memiliki pemimpin baru (presiden) pada 2014 nanti, rasanya itulah momentum yang paling tepat untuk merombak tatanan ekonomi nasional.

Tatanan tersebut bisa berjalan apabila terdapat sistem, kebijakan, dan kelembagaan yang terpadu sehingga koherensi menuju cita-cita konstitusi dapat terwujud. Saat ini memang mendesak bagi DPR dan pemerintah untuk segera mendesain Undang- Undang Sistem Ekonomi Nasional (UU SEN) sebagai payung dari seluruh kegiatan ekonomi seperti UU penanaman modal, pertambangan, koperasi, lembaga keuangan, industri, perdagangan.

Memang konstitusi telah memberi rumusan umum tentang prinsip ekonomi tersebut, tetapi akibat terlalu umum, sebagian prinsip itu harus dijabarkan dalam bentuk UU yang lebih operasional. Ketiadaan UU SEN tersebut menyebabkan banyak sekali UU terkait bidang ekonomi yang dianggap melanggar konstitusi dan sebagian pasal-pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. 

Kerja Sama Ekonomi 

Salah satu kotak hitam yang belum diselesaikan hingga saat ini adalah menerjemahkan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yakni “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”.Jika dilihat secara cermat, sebetulnya roh pasal tersebut sangat radikal,yaitu tidak mengizinkan praktik persaingan ekonomi atau kompetisi/competition (seperti yang diyakini sistem ekonomi kapitalis), tetapi menghendaki sebuah kegiatan ekonomi yang mendorong munculnya “kerja sama” ekonomi (co-operation). 

Kerja sama ini secara operasional mempertemukan tiga poros berikut: pekerja–pemilik usaha; usaha kecil/menengah– besar; dan perusahaan– masyarakat. Dalam unit usaha terkecil, misalnya perusahaan, antara pekerja dan pemilik bukanlah dua entitas yang terpisah sehingga kerap terlibat dalam perselisihan, tetapi keduanya merupakan satu kelompok yang menyatu, antara lain difasilitasi kepemilikan saham yang besar oleh pekerja. 

Model semacam itu juga terjadi antara usaha kecil/menengah– besar dan perusahaan– masyarakat di mana mereka dirancang untuk mendukung dan terkait (linkage) satu dengan yang lain sehingga sifatnya bukan saling mematikan (predator). Dalam konteks yang lebih mikro, kerja sama ekonomi itu tidak lain adalah manifestasi dari prinsip-prinsip koperasi. Koperasi itu sebetulnya merupakan kumpulan gagasan/ide mengenai suatu organisasi atau manajemen usaha ekonomi dan berisi prinsip-prinsip perjuangan ekonomi sehingga wujudnya bisa bermacam-macam. 

Prinsip itu antara lain kegiatan ekonomi/usaha merupakan kumpulan orang (bukan modal), kesetaraan suara, dan kesejahteraan bersama. Hakikat ekonomi itu sebetulnya interaksi antarmanusia,bukan hubungan modal. Implikasinya, posisi tawar tidak ditentukan oleh jumlah modal, tetapi relasi kebersamaan yang dibingkai dalam kesejahteraan bersama. 

Jika prinsip ini dijalankan, kegiatan usaha itu tidak akan menimbulkan paradoks pertumbuhan dan ketimpangan (seperti yang selama ini terjadi). Oleh karena itu,penghayatan terhadap rumusan ekonomi kerakyatan sebenarnya bermula dari orientasi usaha bersama tersebut. Usaha bersama itu tidak lain adalah tindakan kolektif yang muaranya terpantul dalam efisiensi ekonomi, kohesi sosial, dan posisi tawar yang sepadan antarpelaku ekonomi. 

Selama ini terdapat anggapan bahwa persaingan ekonomi selalu berujung pada efisiensi ekonomi, padahal dalam kenyataannya tidak seperti itu. Bahkan persaingan ekonomi yang terlalu keras merangsang munculnya perilaku tidak patut demi tujuan mematikan usaha lain, yang selanjutnya hal itu makin menjauhkan dari prinsip efisiensi ekonomi, terlebih lagi menimbulkan residu friksi sosial.

Dalam tata kelola seharihari, tiap usaha itu akan dibimbing nilai-nilai yang tersurat dalam Pancasila,yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Ini memang warisan nilai adiluhung yang sulit untuk dijalankan sehingga seluruh daya mesti dikerahkan. 

Aset Produktif 

Bagaimana operasionalisasi konsep ekonomi kerakyatan yang bersumber dari konstitusi tersebut? Sekurangnya terdapat lima pilar yang tidak boleh ditanggalkan agar konsep itu berjalan tegak di lapangan. Pertama, aset produktif harus berada di tangan rakyat, bukan dikuasai segelintir pelaku ekonomi. Aset produktif yang paling penting adalah tanah dan modal. 

Harus diakui saat ini aset produktif itu hanya dikuasai sedikit pelaku ekonomi (kakap) sehingga ini menjadi objek yang harus segera dibenahi. Kedua, produksi dan distribusi ekonomi di tangan rakyat (dengan spirit koperasi), kecuali untuk sektor-sektor tertentu yang memerlukan penguasaan teknologi ataupun kebutuhan modal yang besar. Ketiga, kebijakan permodalan yang mudah diakses oleh rakyat dan murah.

Keempat, penguatan organisasi ekonomi rakyat, baik dalam bidang produksi, distribusi, pemasaran maupun yang lainnya. Kelima, struktur pasar yang memihak pelaku ekonomi rakyat dengan jalan mengembangkan kerja sama usaha, bukan persaingan usaha. Di luar itu, masalah krusial yang harus diurus dalam pengelolaan perekonomian adalah aspek perdagangan.

Sektor ini menempati sisi yang unik karena menjadi mediasi antara mereka yang berproduksi dan melakukan konsumsi. Fakta yang ada, acap kali faktor perdagangan ini menjadi sumber perputaran ekonomi sendiri sehingga membuat rantai ekonomi menjadi panjang dan tidak efisien. Hal lainnya, liberalisasi perdagangan betul-betul harus dipahami secara cermat. 

Sekurangnya terdapat lima pagar yang harus dijadikan rujukan: (a) kebebasan perdagangan hanya bisa dibuka untuk sektor atau komoditas yang daya saingnya sudah kuat; (b) hanya untuk komoditas yang berorientasi ekspor; (c) cuma untuk komoditas input yang dipakai untuk bahan baku produksi di dalam negeri; (d) hanya untuk produk yang tidak diproduksi di dalam negeri atau tidak punya komoditas substitusi di pasar domestik; dan (e) hanya dalam rangka penguatan kedaulatan pangan,energi,dan keuangan. 

Terakhir, seperti yang sudah disinggung di awal tulisan,pembagian dan pengaturan usaha antarpelaku ekonomi merupakan hal niscaya yang harus dikerjakan. Di dalam amanah Pasal 33 UUD 1945 setidaknya dibuat tiga jenis kegiatan ekonomi yang harus diatur secara khusus, yakni sumberdaya alam, hajat hidup orang banyak, dan sektor strategis. 

Ketiga jenis kegiatan ekonomi ini mesti dikuasai negara melalui operasi yang dijalankan BUMN. Tugas terpenting dari amanah konstitusi ini adalah merumuskan jenis usaha apa saja yang termasuk kategori SDA, hajat hidup orang banyak, dan sektor strategis. Selebihnya, di luar kategori tersebut jenis usaha dilakukan oleh koperasi/usaha kecil, usaha menengah, dan besar dalam bingkai kerja sama ekonomi di atas. Meskipun usaha besar, spirit kumpulan orang (bukan modal) harus menjadi pedoman sehingga keberadaannya tidak menimbulkan ketimpangan pendapatan. Cita-cita inilah yang harus diwujudkan generasi sekarang. ●

Assad di Tengah Gempuran Oposisi


Assad di Tengah Gempuran Oposisi
Faisal Ismail Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINDO, 28 Februari 2013


Gerakan prodemokrasi mengguncang dunia Arab seiring terjadinya Arab Spring pada awal 2011. Gelombang gerakan prodemokrasi ini menggelegar sebagai suatu kekuatan raksasa yang tak terbendung dan secara masif-eksplosif melanda negara-negara Arab.
Gerakan prodemokrasi mengguncang dunia Arab seiring terjadinya Arab Spring pada awal 2011. Gelombang gerakan prodemokrasi ini menggelegar sebagai suatu kekuatan raksasa yang tak terbendung dan secara masif-eksplosif melanda negara- negara Arab.

Akibatnya, satu per satu rezim Arab yang otoriter tumbang. Rezim represif Zainal Abidin ben Ali di Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun runtuh pada 14 Januari 2011.Rezim otoriter Hosni Mubarak yang telah bertahta di kursi kepresidenan selama 30 tahun terjungkal pada 11 Februari 2011. Rezim diktator Khadafi di Libya yang telah bercokol di tampuk pemerintahan selama 42 tahun tergusur pada 21 Agustus 2011. Hanya rezim represif Bashar al- Assad di Suriah yang masih bertahan di tengah gempuran sengit pasukan oposisi.

Perang Sipil 

Pada 17 Juli 2000,Bashar al-Assad dilantik sebagai presiden menggantikan Hafez al- Assad (sang ayah) yang berkuasa selama 29 tahun. Dinasti Assad terus bertengger di negeri itu. Saat Bashar Assad hendak menggantikan ayahnya, dia belum berumur 40 tahun. Menurut konstitusi, calon presiden harus berumur 40 tahun. Segera parlemen merevisi konstitusi itu dan menyesuaikannya dengan usia Assad.

Bashar Assad mulus menduduki kursi kepresidenan tanpa rintangan apa pun.Pada Pemilu 2007, Assad terpilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan tujuh tahun berikutnya. Di awal konflik, Assad bersedia memenuhi tuntutan oposisi. Pertama, mencabut undang-undang keadaan darurat yang telah diberlakukan selama 50 tahun. Kedua, membebaskan tidak kurang dari 200 tahanan yang sudah lama mendekam dalam penjara.

Ketiga, membubarkan Pengadilan Keamanan yang ditugasi untuk mengadili para pembangkang. Keempat, membolehkan demonstrasi damai. Kelima, merombak kabinetnya. Tapi kelompok oposisi tidak puas terhadap pelonggaran sikap politik Assad. Akibatnya, konflik Assad versus oposisi menyeret pecahnya perang saudara yang dibumbui sentimen sektarian. Rezim Assad yang berhaluan ideologi Alawiyin (didukung Iran) berjibaku melawan kubu oposisi yang berbasis paham Suni (disokong Arab Saudi).

Kubu oposisi menuntut Assad mundur dari kursi kepresidenan. Tapi Assad bersikeras mempertahankan kekuasaannya demi mempertaruhkan gengsi dinasti dan harga diri politiknya. Untuk mengefektifkan gerakan perlawanan, kubu oposisi membentuk Koalisi Nasional (diketuai Muaz al-Khatib). Perang saudara dengan menggunakan senjata berat terus berkecamuk dan sudah berlangsung selama 23 bulan.

Diperkirakan sudah 90.000 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam perang berkuah darah ini.Ribuan warga Suriah mengungsi. Dilaporkan setiap harinya 5.000 orang mengungsi dalam beberapa pekan terakhir ini. Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Suriah karena dinilai telah melakukan “pembunuhan” terhadap rakyat sipil dalam jumlah yang besar.

Akibat embargo ini, Suriah tidak dapat menjual minyaknya ke Uni Eropa sehingga kehilangan pendapatan negara sebesar 2 miliar dolar AS. Prancis mengusulkan agar Barat melakukan intervensi militer ke Suriah, tapi AS tidak menyetujuinya. Rusia dan China juga menolak intervensi militer Barat ke Suriah. Liga Arab mendepak Suriah dari keanggotaannya sehingga rezim Damaskus semakin terisolasi. Seruan AS, negara-negara Uni Eropa, dan beberapa negara Arab agar Assad mundur tidak digubris Assad.

Gempuran Pasukan Oposisi 

Di tengah kecamuk perang saudara, beberapa petinggi militer dan polisi Suriah (Letjen Abdul Aziz al-Shalal) membelot. Sudah lebih dari 2.000 tentara Suriah dilaporkan membelot ke Yordania. Dalam waktu yang sama, PM Riad Farid Hijab juga membangkang dan membelot ke Yordania. Sementara itu, AS dan Uni Eropa memperingatkan Assad untuk tidak menggunakan senjata kimia melawan pasukan oposisi.

Situasi politik yang rentan di Suriah menebar konflik dengan Turki (negara tetangganya). Merasa terancam dengan bara konflik yang terjadi di Suriah, Turki meminta NATO menempatkan rudal patriot dan tentaranya di perbatasan Suriah-Turki. Rusia, yang pada mulanya mendukung Assad, kini berubah sikap. Rusia memastikan tidak akan memberikan suaka politik kepada Assad seandainya dia terguling.

Tapi Assad boleh menarik napas lega karena Rusia masih mau memasok senjata untuk memperkuat persenjataan tentaranya. Akibat perang sipil, Suriah hancur secara sosial-ekonomi. Gedung, rumah, dan fasilitas umum luluh lantak. Penggantian tujuh menteri yang ditugasi menangani bidang ekonomi tak akan banyak membantu perbaikan ekonomi. Di tengah situasi eksplosif ini, pesawat Israel menyerang sasaran yang diduga sebagai pusat riset nuklir Suriah.Assad marah,tapi tidak berkutik melawan Israel.

Dalam pertempuran terakhir, pasukan oposisi berhasil menguasai bandara strategis Aleppo. Kemudian pasukan oposisi merebut Dam Al- Thawra, dam terbesar yang menjadi simbol industri paling bersejarah dalam empat dekade kekuasaan rezim dinasti Assad.Tidak lama setelah itu, pasukan oposisi (Tentara Pembebasan Suriah) menembakkan dua mortir ke sisi selatan tembok Istana Tishreen (salah satu istana Assad). Asad dan rezimnya semakin terancam. Di tengah gempuran sengit pasukan oposisi, Assad bergeming. Ia bahkan mau maju dalam pertarungan Pilpres 2014.

Ia mengklaim, konflik yang terjadi di negaranya adalah konspirasi AS dan kaum Zionis internasional, bukan perang antara tentara pemerintah dengan kelompok Islamis atau Salafis.Assad bersumpah tidak akan meninggalkan negaranya. Hidup atau mati, ia akan tetap bertahan di Suriah. Mampukah Assad bertahan seperti Chavez di Venezuela dan Ahmadinejad di Iran atau ia akan tumbang secara tragis seperti Ben Ali, Mubarak, dan Khadafi? ●

Politik Ambang Batas


Politik Ambang Batas
Soegeng Sarjadi Ketua Soegeng Sarjadi
KOMPAS, 28 Februari 2013


Mencermati dinamika politik di Tanah Air akhir-akhir ini yang riuh bukan untuk hal-hal yang substansial, saya jadi teringat Moeslim Abdurrahman almarhum. Sambil makan siang di ruang kerja penulis, dia pernah mengatakan bahwa rumah civil society sejatinya kini sudah kosong.

Para penghuninya sudah lama pergi ke ranah bisnis dan politik. Sementara generasi baru terkena sindrom budaya pop akut. Mereka lebih menyukai sesuatu yang instan. Ingin cepat kaya dan menjadi pejabat meskipun kapabilitasnya belum mencukupi. Kekosongan rumah masyarakat sipil itu diperburuk miskinnya kaderisasi dan rekrutmen di tubuh partai politik.

Akibatnya, para politisi yang menguasai ranah publik secara umum hanya berpijak pada pencitraan politik. Mereka tidak memanggul kesadaran nurani bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Mereka bukan pemimpin berkarakter ”hulu” yang lahir dari proses pengaderan sistematis sehingga menguasai permasalahan riil rakyat, jejaring sosial akar rumput, dan basis ideologi yang kukuh.

Dua Opsi

Karena para politisi kita pada umumnya bukan figur yang muncul dari hulu, tidak mengherankan jika mereka kurang mumpuni dalam membangun budaya politik. Seluruh konstruksi politik yang mereka bayangkan selama ini hanya sebatas kontestasi jangka pendek. Ini bisa dilihat, misalnya, dari aturan mengenai ambang batas presiden (presidential threshold).

Sejauh ini tidak ada argumen yang jernih mengenai penetapan ambang batas presiden sebesar 20 persen kursi parlemen. Patut diduga, besaran angka tersebut dimunculkan karena partai-partai besar, khususnya Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat merasa mampu meraih angka tersebut. Dengan istilah lain, politik ambang batas adalah persepsi diri ketiga partai besar itu yang meyakini bahwa peluang mereka untuk mengusung calon presiden sendiri (tanpa perlu koalisi) terbuka lebar. Untuk itulah, angka 20 persen dimunculkan.

Apabila rasionalisasinya adalah dalam rangka memperkuat pemerintah karena mendapat dukungan kuat di parlemen, angka itu tetap belum signifikan. Baru berarti jika ambang batasnya adalah 40 persen. Secara hipotesis, hampir mustahil ada partai yang mampu mencapai angka ini. Hasilnya, tidak ada partai yang jumawa karena merasa memperoleh suara besar seperti yang selama ini terjadi. Seluruh partai tidak ada pilihan lain kecuali berkoalisi.

Kepentingan Sempit Partai

Ambang batas tinggi seperti itulah yang menjadi variabel pengontrol terhadap argumen para politisi yang mengatakan bahwa pemerintahan akan efektif apabila mempunyai dukungan parlemen yang kuat. Apabila mereka menolaknya, politik ambang batas yang mereka panggul selama ini pada dasarnya tak lebih dari cermin kepentingan sempit partai-partai besar tersebut.

Variabel lain yang dapat mengontrol kemurnian argumen ambang batas presiden adalah dihapuskannya ketentuan itu. Maksudnya, seluruh partai politik yang punya kursi di parlemen berhak mengajukan calon presiden. Dengan demikian, perlakuan adil terhadap tiap partai dijunjung. Apabila partai-partai besar tak bersetuju dengan langkah tersebut, dan bersikukuh dengan angka 20 persen, itu bukti bahwa selama ini mereka dibelit kepentingan politik sempit.

Kedua opsi itu (ambang batas tinggi dan tanpa ambang batas) masing-masing akan melahirkan kepemimpinan nasional yang dikehendaki publik. Karakter dan ketokohan yang kuat dari seorang calon presiden akan mendorong publik memilih partai yang mencalonkan figur tersebut. Di sini, meskipun ambang batas tinggi, kalau tokoh tersebut begitu populer dan partai bekerja dengan hebat, tidak mustahil angka tersebut bisa dicapai. ●

Pakta Integritas Politik


Pakta Integritas Politik
Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh
Koordinator Program Transparency International
KOMPAS, 28 Februari 2013


Khalayak ramai dan institusi menggunakan pakta integritas tanpa mendalami makna dan konsekuensinya. Akibatnya, pakta integritas hanya jadi jargon penanda janji itikad baik. Tanpa makna, bahkan melenceng jadi komoditas politik pencitraan.

Terungkapnya berbagai skandal korupsi pucuk elite beberapa parpol bagaikan petir menyambar. Kredibilitas parpol hancur di mata publik. Skandal membuat partai menjilat ludah sendiri. Janji kampanye antikorupsi hanya politik pencitraan. Yang terjadi, bangunan legitimasi politik untuk melanggengkan korupsi, memperkaya diri dan perusahaan kroni. Pakta integritas kemudian muncul belakangan.

Konsep Pakta Integritas

Pakta integritas secara konsep bukanlah alat pertobatan dan cuci dosa. Sebaliknya, ia instrumen pencegahan tindak kejahatan publik, mengikat individu atau institusi untuk berintegritas.

Sejak didengungkan pada pertengahan 1990-an oleh Transparency International, lewat konsep island of integrity, pakta integritas menjadi instrumen yang mengawali perubahan di banyak institusi pemerintahan, terutama dalam melawan suap terhadap pejabat publik. Secara institusi, instrumen ini digunakan untuk mengurangi ongkos bisnis dalam proses privatisasi, perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.

Pakta integritas mensyaratkan setidaknya tiga elemen dasar. Pertama, adanya kesepakatan dan pernyataan integritas oleh pejabat publik. Kedua, adanya pengakuan publik dan terbuka. Ketiga, adanya sanksi dan arbitrase sebagai konsekuensi dan resolusi konflik. Pakta integritas awalnya digunakan untuk mempermudah infiltrasi bisnis di awal fase globalisasi kapital. Perkembangan selanjutnya kemudian diadopsi dengan sebuah pendekatan perubahan sistem dengan tajuk integritas sistem.

Integritas sistem memiliki ranah lebih luas dengan dua aras perubahan (Hubert, Six, 2008). Pertama, pengondisian di ranah institusi menyangkut pengakuan nilai, perubahan kebijakan, kontrol, dan sanksi. Di ranah luar institusi, sistem integritas mensyaratkan adanya institusi pengawasan independen dan kebebasan media mengontrol integritas sistem. Selain itu, perlu pengondisian di masyarakat dalam bentuk pendidikan integritas untuk melawan sikap permisif publik atas korupsi atau tindakan tak berintegritas. Pendidikan di masyarakat, menurut Hubert, penting dalam bentuk penciptaan pemicu dari pengungkapan skandal publik yang jadi ranah lembaga pemantau korupsi.

Ijtihad ”Pakta Integritas” yang oleh beberapa partai politik sebenarnya inisiatif yang baik meski masih terlihat cacat konsep.

Pertama, pakta untuk politisi dibuat di akhir masa jabatan politik. Sangat terlambat, terutama jika dilihat dari statuta dan janji politik partai-partai inisiator yang mengusung isu anti- korupsi sebagai tema kampanye utama. Seharusnya, pakta ini dibuat di awal sebagai instrumen pencegahan di ranah etika politisi dengan sanksi administratif yang tegas dan berat.

Kedua, pakta integritas dibuat sebatas pernyataan tanpa perikatan aturan internal partai. Seharusnya, komitmen etik sebagai tindak lanjut pelaksanaan pakta integritas dilakukan dengan dasar aturan internal partai jelas. Misalnya, jika terjadi pelanggaran etik, bagaimana mekanismenya? Apakah dibawa ke sidang etik partai atau langsung mundur dengan sebuah pernyataan publik?

Ketiga, perikatan integritas seorang politisi hanya kepada majelis partai atau konstituen partai, atau kepada publik secara luas. Apakah dimungkinkan konstituen atau publik partai melaporkan peristiwa pelanggaran etik? Atau, semata karena penilaian petinggi partai? Apakah pakta integritas ini berlaku publik atau cukup di wilayah partai yang masih setengah privat setengah publik? Jika berlaku publik, instrumen ini dapat digunakan publik untuk menagih janji integritas, terutama jika terjadi peristiwa pelanggaran integritas.

Keempat, cakupan ranah integritas. Dalam konteks etik, perikatan pakta integritas untuk politisi seharusnya tidak hanya berkaitan dengan korupsi. Juga mengatur persoalan kinerja dan tanggung jawab publik seorang politisi terkait fungsi dan tanggung jawabnya di ranah publik. Jika seorang politisi ingkar janji atau tak pernah ikut sidang di parlemen atau melakukan kebohongan kepada konstituen, seharusnya bisa dipermasalahkan lewat pakta integritas ini.

Salah Kaprah

Salah kaprah di dalam penggunaan pakta integritas akan menimbulkan kebingungan publik, terutama ketika mengukur komitmen nilai-nilai integritas yang dianut parpol. Jika diterapkan secara salah dan setengah-setengah, pakta integritas ini akan memunculkan konflik nilai dan tidak konsisten. Pada titik ini, publik akan menganggap pakta integritas hanya dibuat untuk kepentingan elite semata, jadi pemanis muka dan alat cuci dosa.

Tujuan substansial dari lahirnya konsep integritas sistem adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik. Untuk mencapai hal ini, partai politik harus jadi partai terbuka, baik terkait prestasi maupun dosa-dosa. Tidak mungkin ada pengampunan dosa jika tidak ada pengakuan dosa terlebih dahulu. Elite partai harusnya sadar, integritas adalah satu kata dan perbuatan, bukan penyepakatan kebohongan. ●

Memudarnya Partai Islam


Memudarnya Partai Islam
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
KOMPAS, 28 Februari 2013


Sejak 1945, banyak ormas Islam tergabung dalam Partai Masyumi. Pada 1952, Nahdlatul Ulama beralih dari ormas Islam menjadi partai Islam.

Partai Syarikat Islam Indonesia melanjutkan kiprah politik Syarikat Islam yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Pada Pemilu 1955, kekuatan politik partai Islam berkisar pada angka 43 persen. Masyumi menjadi partai terbesar kedua, sedangkan Partai NU menjadi partai ketiga.

Pada Pemilu 1971, kekuatan politik partai Islam menurun. Hanya Partai NU yang lumayan suaranya. Golkar mendapat sekitar 62 persen suara. Pada 1973, partai-partai Islam didorong bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai non-Islam didorong bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemenang pemilu 1977-1997 adalah Golkar karena didukung pemerintah dengan berbagai cara. Pemenang kedua, PPP, jauh dari perolehan suara Golkar.

Pemilu 1999 adalah pemilu kedua terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari 48 peserta pemilu, terdapat belasan partai Islam atau berbasis massa Islam. Yang menjadi pemenang adalah PDI-P (sekitar 34 persen). Kedua, Partai Golkar (sekitar 21 persen). Ketiga, PKB (sekitar 12 persen). Keempat, PPP (sekitar 10 persen). Kelima, PAN (sekitar 7 persen).

PKB didirikan oleh tokoh-tokoh utama NU. Struktur NU di banyak tempat mendukung PKB. Namun, sejumlah tokoh NU, terutama di daerah, bergabung dengan PPP, Golkar, dan partai kecil yang didirikan tokoh-tokoh NU. Jelas, dukungan struktur NU itu mendongkrak perolehan suara PKB. PAN didirikan Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang baru saja mengundurkan diri. Banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di PAN. Saat itu, PAN identik Muhammadiyah.

Pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar. Perolehan suara PDI-P menurun belasan persen. Perolehan PKS meningkat secara mencolok. Sementara perolehan PKB, PPP, dan PAN sedikit turun. Muncul pendatang baru yang tiba-tiba melejit, Partai Demokrat, yang mengandalkan ketokohan SBY.

Pasca-2004, sebagian tokoh PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama dan sebagian tokoh PAN mendirikan Partai Matahari Bangsa. Kedua partai itu tak memperoleh kursi di DPR. PKB terbelah menjadi kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur. Maka, perolehan suara PKB pada 2009 anjlok sekitar 50 persen dibanding 2004. Suara PPP juga anjlok. PKS tetap bertahan. Partai Demokrat meroket menjadi pemenang pertama. Golkar dan PDI-P menjadi pemenang kedua dan ketiga. Muncul partai baru yang bukan partai Islam, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Belakangan sejumlah survei menunjukkan partai Islam dan berbasis massa Islam mengalami penurunan. PKS mengalami pukulan akibat ditangkapnya Presiden PKS dengan tuduhan suap terkait impor daging sapi. Tentu ada pertanyaan, mengapa partai Islam atau berbasis massa Islam makin menurun perolehan suaranya? Menurut Komaruddin Hidayat, partai Islam akan menerima sanksi lebih berat dibanding bukan partai Islam jika tokohnya korupsi.

Jaringan Ormas Islam

Kita perlu melakukan pendekatan berbeda, yaitu melalui aspek keterkaitan ormas Islam/tokohnya terhadap parpol Islam atau berbasis massa Islam. Juga pendekatan melalui aspek mencairnya politik aliran sejak 1973 hingga kini.

Pada Pemilu 1955, semua ormas Islam mendukung partai-partai Islam. Muhammadiyah dan semua organisasi afiliasinya mendukung Partai Masyumi. HMI dan PII juga begitu. Karena ormas NU menjadi parpol, semua organisasi afiliasinya mendukung Partai NU. Pada Pemilu 1971, sudah ada ormas Islam yang mendukung Golkar, yaitu GUPPI. Setelah itu, sejumlah tokoh pesantren di Jawa Timur bergabung dengan Golkar. Kemudian tokoh-tokoh HMI, PII, Muhammadiyah banyak yang menjadi aktivis Golkar termasuk di daerah.

Pada Muktamar 1984, NU menerima asas Pancasila dan menyatakan akan menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada. Maka, banyak tokoh NU yang menjadi aktivis Golkar. Bahkan, Gus Dur juga menjadi anggota MPR dari FKP. Tokoh-tokoh ormas Islam yang dulu aktif di Golkar hampir semua tetap berkiprah di Partai Golkar. Perubahan sikap NU yang dulu memperjuangkan negara berdasar Islam dan kini menerima asas Pancasila, membawa perubahan mendasar dalam diri anak-anak muda NU. Perubahan yang sama mungkin juga terjadi di dalam Muhammadiyah dan ormas Islam lain.

Ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, terlihat peran tokoh HMI dalam DPP Partai Golkar mulai menurun, tetapi di tingkat daerah jaringan mereka masih cukup kuat. Anas Urbaningrum mampu meraih posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Itu bisa dicapai berkat kemampuan jaringan alumni HMI menyusun kekuatan di dalam struktur Partai Demokrat. Badai politik yang menerjang Anas tidak mengurangi kekuatan jaringan HMI di dalam Demokrat. Alumni PMII juga ada di Golkar dan Partai Demokrat, tetapi tidak sekuat alumni HMI.

Kekuatan jaringan tokoh ormas Islam di Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Hanura merupakan daya tarik bagi pemilih dari kalangan Islam. Kini, sudah cukup banyak alumni HMI dan PMII dan aktivis NU yang masuk ke dalam PDI-P melalui Baitul Muslimin Indonesia.

Aliran Islam

Saat pembahasan RUU Perkawinan (1973) terjadi penolakan kuat terhadap sejumlah pasal dalam RUU itu. Visi kenegarawanan Pak Harto membuat Golkar dan ABRI menerima usul perubahan dari PPP, yang membuat UU Perkawinan jadi UU pertama yang menerima ketentuan syariat Islam yang partikular. Hanya PDI yang menolak. Peristiwa yang sama terulang saat DPR menerima UU Peradilan Agama. Golkar, ABRI, dan PPP menerima UU itu, sedangkan PDI menolak.

Pengalaman di atas menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa Golkar ternyata tak anti-Islam seperti terlihat pada Pemilu 1971. Saat itu, pemerintah dan Golkar memang gigih melawan partai-partai Islam yang belum menerima asas Pancasila. Pengalaman membuktikan, Golkar selalu memihak kalangan Islam dalam pembahasan UU yang mengandung pasal-pasal yang menimbulkan pro-kontra kuat terkait masalah keagamaan. Misalnya, UU Sisdiknas dan UU Pornografi. Kalau mau ditarik ke awal, Partai Demokrat dan Partai Hanura tak banyak berbeda ideologinya dengan Golkar. Mungkin Gerindra dan Nasdem juga demikian. Jadi tidak ada garis batas atau pembeda yang tegas antara Partai Golkar dan turunannya dengan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam dalam masalah hubungan agama dan negara.

Jadi, berdasar dua aspek itu—jaringan ormas Islam dan kemiripan dalam visi hubungan agama dan negara antara partai-partai tengah dengan partai Islam dan partai berbasis massa Islam—dapat dipahami bahwa sebagian besar pemilih dari ormas Islam memilih partai-partai tengah itu. Partai Islam akan mempunyai nilai lebih di mata pemilih bila mampu mengambil prakarsa dan mewujudkan UU dan kebijakan yang islami dalam masalah ekonomi, dalam pengertian lebih memperhatikan pemerataan daripada pertumbuhan. Juga kalau berhasil mengegolkan kebijakan dalam memperluas akses kepada masyarakat dalam memperoleh pendanaan untuk usaha. ●

Berpusat pada Pembelajar


Berpusat pada Pembelajar
Doni Koesoema Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 28 Februari 2013


Ada perubahan dasar dalam Kurikulum 2013. Perubahan ini terkait konsepsi terhadap siswa. Sekarang, siswa dianggap sebagai pembelajar utama.
Begitu konsep terhadap siswa berubah, tujuan pendidikan juga berubah. Demikian juga dengan seluruh metode dan strategi pengajaran serta sistem evaluasi. Perubahan konsep ini memiliki implikasi moral, kultural, dan pedagogis yang tidak kecil. Selama perubahan dalam tiga dimensi ini tidak disentuh, Kurikulum 2013 terancam gagal, sekadar macan kertas, karena praktik dan sistem budaya yang ada tetap sama.

Tiga Implikasi

Secara moral, kebijakan pendidikan dalam kurikulum baru menekankan kebaikan yang ditujukan bagi siswa dalam belajar. Karena itu, fokus pendidikan yang terutama adalah siswa.

Setiap kebijakan pendidikan, sebelum dirancang harus bertanya: apakah kebaikan siswa yang akan diperoleh melalui desain pendidikan? Pandangan ini memiliki implikasi moral bahwa siswa tak lagi boleh dianggap obyek, baik itu bagi pertarungan kepentingan politik maupun ajang pencarian nama baik, apalagi pencitraan atas nama apa pun.

Siswa adalah individu yang harus dihargai keberadaannya sebagai individu karena mereka adalah pembelajar utama dalam pendidikan. Merekalah pelaku utama dalam pendidikan. Siswa adalah subyek yang belajar. Tugas pendidik adalah menumbuhkan gairah belajar dalam diri siswa.

Secara kultural, model pendidikan yang selama ini telah terbentuk adalah cara belajar yang monolog, searah. Siswa selama ini dianggap semacam gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu oleh pendidik dan guru. Demikian juga siswa. Mereka sendiri mengasumsi demikian. Dia hanya akan belajar sesuai dengan apa yang diinginkan pendidik.

Kultur belajar yang terjadi selama ini tidak otentik, melainkan mengikuti apa yang dimaui guru, baik dalam pembuatan tugas maupun ulangan. Karena itu, murid hanya berusaha membuat guru senang karena apa yang diminta guru telah mereka penuhi. Namun, sesungguhnya, mereka tidak belajar. Mereka hanya pura-pura belajar karena belajar dianggap sekadar memenuhi apa yang diminta guru.

Oleh karena itu, siswa sekarang pun mesti diajak untuk berpikir yang berbeda dari sebelumnya. Ia belajar bukan karena permintaan guru atau pertanyaan guru, melainkan ia belajar sesuatu karena ingin mendalami ilmu itu dengan lebih baik yang akan berguna bagi hidupnya di masa sekarang dan yang akan datang. Siswa adalah pelaku aktif dalam proses belajar. Jadi, perubahan pedagogis juga merupakan sebuah keharusan.

Pedagogi berbicara tentang bagaimana cara-cara pendidik mendampingi anak-anak muda ini dalam mengembangkan dan menumbuhkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dimensi pembelajaran yang mengembangkan rasa ingin tahu melalui kegiatan bertanya, mengamati, dan mengeksplorasi jadi hal yang sentral dalam proses belajar.

Di sini terjadi pergeseran peran guru. Guru pun bukan lagi merupakan pemonopoli ilmu pengetahuan, melainkan menjadi fasilitator pembelajaran bermakna bagi siswa.
Pembelajaran bukan lagi sebuah proses yang terjadi secara statis, monolog—dari guru ke siswa—melainkan guru memberikan kesempatan dan ruang bagi siswa untuk mendalami, belajar dari pengalaman, mengeksplorasi tema-tema tertentu sehingga ilmu yang mereka dapatkan akan semakin utuh dan lengkap. Guru menjadi pendesain ruang-ruang, memancing tanya, serta membuka wawasan siswa agar berani memasuki dunia eksplorasi dan penjelajahan ilmu pengetahuan secara efektif.

Ketiga hal di atas mengandaikan adanya kebebasan berpikir, bertindak dalam diri pendidik dan siswa. Alhasil, yang terjadi dalam setiap proses pembelajaran adalah pembelajaran yang otentik, bertumpu pada rasa penasaran intelektual dalam diri siswa sampai pada pemahaman yang makin mendalam tentang gejala-gejala, baik itu alamiah maupun yang sublim, secara intensif dan mendalam. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti inilah dapat terlahir para pendidik dan pembelajar yang bertanggung jawab atas anugerah ilmu pengetahuan yang telah ia terima dari Sang Pencipta.

Takut Kebebasan Berpikir

Sayangnya, dinamika di la- pangan menunjukkan, para pendidik dan pelajar belum terbiasa dengan suasana kebebasan berpikir. Kita ingat konsep pendidikan yang berpusat pada siswa pernah dilaksanakan tahun 1984 dengan Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Namun, apa yang terjadi di lapangan? Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks. Siswa pun masih memiliki kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang diajukan hanya berdasar pada teks. Demikian juga dengan jawaban siswa. Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks. Pendidikan kita sangat textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata yang memerlukan analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.

CBSA gagal karena kultur di lapangan, di tingkat pendidik dan siswa tidak selaras dengan konsep dasar yang ingin dikembangkan. Siswa diharapkan aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan bahwa jawaban siswa harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu sebagaimana ada dalam buku teks. Akhirnya, CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan siswa pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA gagal melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.

Kebebasan bereksplorasi dan belajar inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan oleh para pengambil kebijakan sehingga cara-cara bereksplorasi pun diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan tema-temanya. Ini sangat kentara dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan guru. Jika buku babon ini hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias tidak memberi ruang bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok, gagasan besar Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi tidak terjadi di lapangan.

Perubahan Kultural

Tantangan pendidikan ke depan memang tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun, pembaruan kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru dan siswa berpikir dan melakukan pendidikan juga tidak diubah.

Melihat realitas para pendidik di lapangan sebagai pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural perlu dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis, guru-muridisme, dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan pelaku di lapangan tidak menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya sentralisme yang memasung kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru senang, dan asal murid naik kelas, meski sesungguhnya mereka tidak layak mendapatkan itu semua.

Mengubah budaya ini merupakan keharusan. ●

Privatisasi Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Sipil


Privatisasi Keselamatan dan Keamanan
Penerbangan Sipil
Shalahuddin Haikal Pendidik
KOMPAS, 28 Februari 2013

Navigasi penerbangan adalah salah satu kunci keselamatan dan keamanan penerbangan udara. Kata keselamatan dan keamanan berbeda dengan kenyamanan. Sebab, keselamatan dan keamanan merupakan barang publik yang seharusnya disediakan oleh negara.

Tanpa banyak mendapat sorotan media, Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI > Perum Navigasi) mulai beroperasi setelah kelengkapannya sebagai perusahaan umum dipenuhi, 16 Januari lalu. Perum Navigasi didirikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yakni Pasal 271.

Sebelum lahir PP No 77/2012 tentang Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, yang merupakan tindak lanjut dari UU No 1/2009 tentang Penerbangan, tanggung jawab navigasi penerbangan ada pada UPT Dirjen Perhubungan Udara dan PT (Persero) Angkasa Pura I dan II. Pada saat UU No 1/2009 disahkan, Pasal 271 yang merupakan spin off antara regulator dan operator, diduga layanan navigasi ini diambil alih langsung Kementerian Perhubungan.

Layanan Navigasi

Layanan navigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah dinyatakan pada Pasal 270 UU No 1/2009, terdiri atas (a) pelayanan lalu lintas penerbangan; (b) pelayanan telekomunikasi penerbangan; (c) pelayanan informasi aeronautika; (d) pelayanan informasi meteorologi penerbangan; dan (e) pelayanan informasi pencarian dan pertolongan. Kelima jenis layanan navigasi tersebut berkesesuaian dengan peranan Air Traffic Services, sebagaimana disebutkan dalam Annex 11 statuta ICAO.

Dengan kecepatan terbang minimal 300 kilometer per jam, pesawat terbang perlu dinavigasi jalur udara dan ketinggiannya. Selama dalam area manuver, aktivitas pesawat harus terlebih dulu mendapat clearance dan mandat dari Air Traffic Control (ATC) terdekat. Kemudian akan dilakukan serah terima kontrol navigasi dari satu ATC ke ATC lain. Itulah sebabnya UU No 1/2009 mendefinisikan navigasi penerbangan sebagai proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.

Sungguh disayangkan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang sudah ditunggu-tunggu selama tiga tahun berbentuk perusahaan umum. Saya duga terjadi salah tafsir terhadap Ayat (3) dan Ayat (4) Pasal 271 UU Penerbangan.

Kontradiksi

Ayat (1) Pasal 4 PP No 77/2012 merupakan salinan dari Ayat (3) Pasal 271 UU Penerbangan, yakni (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b) tidak berorientasi pada keuntungan, (c) secara finansial mandiri, (d) biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan peningkatan operasional. Sementara Ayat (4): lembaga tersebut dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Bentuk perusahaan umum pada lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan tak tepat. Sebagaimana didefinisikan pada UU No 19/2003 tentang BUMN, perusahaan umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Kalimat ”tidak berorientasi pada keuntungan” adalah kalimat bersayap. Sebab, pada penjelasan UU Penerbangan, ”tidak berorientasi pada keuntungan” adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola pendapatannya dimanfaatkan untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.

Jika demikian halnya, maka Perum LPPNPI tidak akan berbeda dengan PT Kereta Api Indonesia. Setiap kali akan melakukan investasi baru atau pergantian peralatan dan peningkatan kualitas layanan akan dibebankan kepada pengguna layanan. Dalam hal ini, maskapai penerbangan, yang ujungnya adalah pengguna jasa maskapai penerbangan.
Persoalan terbesar dari bentuk hukum perum ada pada kualitas layanan sebab layanan Perum LPPNPI adalah layanan keselamatan dan keamanan penerbangan. Untuk dua kata ini, keselamatan dan keamanan, tidak ada bentuk superlatifnya. Selamat ya selamat, aman ya aman, tidak ada lebih selamat juga tidak ada lebih aman.

Dengan bentuk perum yang ”tidak berorientasi pada keuntungan”, pemerintah telah melepas tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Jika tidak mau disebut lepas tangan, maka bentuk paling pas adalah badan layanan umum (BLU), sebagaimana diatur pada PP No 23/2005. Secara organisasi dan manajemen, pengelola BLU hanya memiliki satu superordinat, yakni kementerian yang dipimpin oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban suatu BLU, dalam hal ini menteri perhubungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Perhubungan

Sementara sebagai perum, Perum Navigasi punya dua superordinat: menteri BUMN (selaku kuasa pemilik modal negara) dan menteri Perhubungan. Sebagai perum, harus menyajikan rencana kerja dan anggaran perusahaan serta rencana jangka panjang perusahaan yang harus disetujui menteri Perhubungan terlebih dulu dan kemudian dimintakan persetujuannya kepada menteri BUMN.

Korporatisasi layanan umum adalah definisi luas dari privatisasi. Definisi sempitnya adalah penjualan kepemilikan negara kepada korporat bentukan negara. Oleh karena itu, pernyataan saya bahwa pendirian Perum Navigasi adalah korporatisasi layanan umum adalah valid.

Keselamatan dan keamanan tidak untuk dijual! ●