Selasa, 26 Februari 2013

Akhir Politik Santun


Akhir Politik Santun
Adhie M Massardi Gerakan Indonesia Bangkit
SUARA KARYA, 25 Februari 2013


Partai Demokrat akan diuji. Ini kata Anas Urbaningrum beberapa saat menjelang peletakan jabatannya sebagai ketua umum partai penguasa itu. Menurut Anas, ada tiga etika politik partai yang akan diuji: bersih, cerdas, dan santun.

Kita tahu, soal "bersih" partai yang pernah gencar beriklan "katakan tidak pada korupsi" ini sudah batal demi hukum. Sebab, semua struktur penting partai sudah menyumbang tersangka dan terpidana korupsi. Dari sektor Dewan Pembina, ada Hartati Murdaya (anggota), menyusul kemudian Andi Mallarangeng (sekretaris). Dari kesekjenan sudah diwakili Angelina Sondakh (wakil). Terbaru ketua umumnya, Anas Urbaningrum. 

Sedangkan beberapa nama elite partai, seperti Sutan Bhatoegana, Johny Allen Marbun, Jero Wacik, sudah terdaftar di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kalau soal kecerdasan, ujiannya nanti dalam Pemilu 2014. Kalau tetap bertahan sebagai pemenang, apalagi dengan persentase yang meningkat dibanding Pemilu 2009, sudah pasti partai (Demokrat) ini sangat cerdas. Bisa meniti buih. Berselancar di atas gelombang isu yang dahsyat. Tapi, kalau gagal, toh orang juga tidak akan menvonisnya sebagai partai yang tidak cerdas.

Ujian terberat justru pada poin santun. Sebab, santun dibawa ke dunia politik dan dikembangkan dengan sangat sukses oleh Susilo Bambang Yudhoyono, bos besar Partai Demokrat. Sebelum Yudhoyono terjun ke dunia politik praktis (2004), kita nyaris tidak pernah mendengar istilah "politik santun".

Kini, kesantunan sudah resmi menjadi salah satu syarat yang harus dimiliki calon pemimpin. Padahal, sebelum Yudhoyono terjun ke dunia politik, kesantunan tidak pernah menjadi ukuran kepemimpinan. Ini berlaku di seluruh dunia.

Itu sebabnya, para pemimpin besar yang mendunia nyaris tidak ada yang santun. Sebut saja, Lee Kuan-yew, Mahathir Mohammad, Deng Xioping, Soekarno, bahkan Bang Ali (Sadikin) dikenal masyarakat luas, khususnya warga Jakarta, adalah pemimpin yang apa adanya, egaliter, tidak ada santun-santunnya. Namun, mereka umumnya memang menjunjung tinggi etika. Bukan kesantunan yang terkesan munafik.

Karena itu, kesantunan biasanya merupakan perilaku di kalangan para bos mafioso. Dalam film-film mafia, terutama Godfather besutan sutradara Francis Ford Coppola yang sudah menjadi legenda, bisa kita saksikan betapa para don mafia dalam setiap pertemuan sangat santun. Cipika-cipiki. Saling hormat. Saling memuji kesuksesan mereka. Tetapi, di balik kesantunan itu, mereka sembunyikan keganasan yang cenderung sadis. Itulah sebabnya, konflik antargeng, perseteruan di antara mereka, selalu bersimbah darah. Nyawa manusia menjadi tidak ada harganya.

Anas tampaknya juga tergoda, tepatnya curiga, apakah kesantunan yang dikembangkan di partainya setali tiga uang dengan budaya santun di kalangan para mafioso?
Makanya, selain bersih dan cerdas, juga diuji apakah Demokrat akan menjadi partai yang santun ataukah sadis. "Apakah yang terjadi kesantunan politik atau sadisme politik?" tanya Anas dengan suara yang lantang tapi dingin.

Pernyataan ini merupakan sikap mantan Ketua PB HMI (1997-1998) itu atas perjalanannya menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anas menjadi tersangka setelah para petinggi partainya, bahkan Ketua Dewan Pembina, bermanuver untuk segera menyingkirkannya dari kursi pimpinan partai. Maklum, dalam musim pemilu, posisi Anas memang sangat menentukan.

Itulah sebabnya, akhir karier poltik Anas di Demokrat mungkin juga akan mengakhiri era politik santun yang dipelopori Yudhoyono. Sebab, politik akhirnya bisa menerkam siapa saja dengan cara yang jauh dari kesantunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar