Kamis, 28 Februari 2013

Berpusat pada Pembelajar


Berpusat pada Pembelajar
Doni Koesoema Pemerhati Pendidikan
KOMPAS, 28 Februari 2013


Ada perubahan dasar dalam Kurikulum 2013. Perubahan ini terkait konsepsi terhadap siswa. Sekarang, siswa dianggap sebagai pembelajar utama.
Begitu konsep terhadap siswa berubah, tujuan pendidikan juga berubah. Demikian juga dengan seluruh metode dan strategi pengajaran serta sistem evaluasi. Perubahan konsep ini memiliki implikasi moral, kultural, dan pedagogis yang tidak kecil. Selama perubahan dalam tiga dimensi ini tidak disentuh, Kurikulum 2013 terancam gagal, sekadar macan kertas, karena praktik dan sistem budaya yang ada tetap sama.

Tiga Implikasi

Secara moral, kebijakan pendidikan dalam kurikulum baru menekankan kebaikan yang ditujukan bagi siswa dalam belajar. Karena itu, fokus pendidikan yang terutama adalah siswa.

Setiap kebijakan pendidikan, sebelum dirancang harus bertanya: apakah kebaikan siswa yang akan diperoleh melalui desain pendidikan? Pandangan ini memiliki implikasi moral bahwa siswa tak lagi boleh dianggap obyek, baik itu bagi pertarungan kepentingan politik maupun ajang pencarian nama baik, apalagi pencitraan atas nama apa pun.

Siswa adalah individu yang harus dihargai keberadaannya sebagai individu karena mereka adalah pembelajar utama dalam pendidikan. Merekalah pelaku utama dalam pendidikan. Siswa adalah subyek yang belajar. Tugas pendidik adalah menumbuhkan gairah belajar dalam diri siswa.

Secara kultural, model pendidikan yang selama ini telah terbentuk adalah cara belajar yang monolog, searah. Siswa selama ini dianggap semacam gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu oleh pendidik dan guru. Demikian juga siswa. Mereka sendiri mengasumsi demikian. Dia hanya akan belajar sesuai dengan apa yang diinginkan pendidik.

Kultur belajar yang terjadi selama ini tidak otentik, melainkan mengikuti apa yang dimaui guru, baik dalam pembuatan tugas maupun ulangan. Karena itu, murid hanya berusaha membuat guru senang karena apa yang diminta guru telah mereka penuhi. Namun, sesungguhnya, mereka tidak belajar. Mereka hanya pura-pura belajar karena belajar dianggap sekadar memenuhi apa yang diminta guru.

Oleh karena itu, siswa sekarang pun mesti diajak untuk berpikir yang berbeda dari sebelumnya. Ia belajar bukan karena permintaan guru atau pertanyaan guru, melainkan ia belajar sesuatu karena ingin mendalami ilmu itu dengan lebih baik yang akan berguna bagi hidupnya di masa sekarang dan yang akan datang. Siswa adalah pelaku aktif dalam proses belajar. Jadi, perubahan pedagogis juga merupakan sebuah keharusan.

Pedagogi berbicara tentang bagaimana cara-cara pendidik mendampingi anak-anak muda ini dalam mengembangkan dan menumbuhkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dimensi pembelajaran yang mengembangkan rasa ingin tahu melalui kegiatan bertanya, mengamati, dan mengeksplorasi jadi hal yang sentral dalam proses belajar.

Di sini terjadi pergeseran peran guru. Guru pun bukan lagi merupakan pemonopoli ilmu pengetahuan, melainkan menjadi fasilitator pembelajaran bermakna bagi siswa.
Pembelajaran bukan lagi sebuah proses yang terjadi secara statis, monolog—dari guru ke siswa—melainkan guru memberikan kesempatan dan ruang bagi siswa untuk mendalami, belajar dari pengalaman, mengeksplorasi tema-tema tertentu sehingga ilmu yang mereka dapatkan akan semakin utuh dan lengkap. Guru menjadi pendesain ruang-ruang, memancing tanya, serta membuka wawasan siswa agar berani memasuki dunia eksplorasi dan penjelajahan ilmu pengetahuan secara efektif.

Ketiga hal di atas mengandaikan adanya kebebasan berpikir, bertindak dalam diri pendidik dan siswa. Alhasil, yang terjadi dalam setiap proses pembelajaran adalah pembelajaran yang otentik, bertumpu pada rasa penasaran intelektual dalam diri siswa sampai pada pemahaman yang makin mendalam tentang gejala-gejala, baik itu alamiah maupun yang sublim, secara intensif dan mendalam. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti inilah dapat terlahir para pendidik dan pembelajar yang bertanggung jawab atas anugerah ilmu pengetahuan yang telah ia terima dari Sang Pencipta.

Takut Kebebasan Berpikir

Sayangnya, dinamika di la- pangan menunjukkan, para pendidik dan pelajar belum terbiasa dengan suasana kebebasan berpikir. Kita ingat konsep pendidikan yang berpusat pada siswa pernah dilaksanakan tahun 1984 dengan Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Namun, apa yang terjadi di lapangan? Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks. Siswa pun masih memiliki kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang diajukan hanya berdasar pada teks. Demikian juga dengan jawaban siswa. Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks. Pendidikan kita sangat textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata yang memerlukan analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.

CBSA gagal karena kultur di lapangan, di tingkat pendidik dan siswa tidak selaras dengan konsep dasar yang ingin dikembangkan. Siswa diharapkan aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan bahwa jawaban siswa harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu sebagaimana ada dalam buku teks. Akhirnya, CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan siswa pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA gagal melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.

Kebebasan bereksplorasi dan belajar inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan oleh para pengambil kebijakan sehingga cara-cara bereksplorasi pun diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan tema-temanya. Ini sangat kentara dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan guru. Jika buku babon ini hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias tidak memberi ruang bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok, gagasan besar Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi tidak terjadi di lapangan.

Perubahan Kultural

Tantangan pendidikan ke depan memang tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun, pembaruan kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru dan siswa berpikir dan melakukan pendidikan juga tidak diubah.

Melihat realitas para pendidik di lapangan sebagai pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural perlu dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis, guru-muridisme, dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan pelaku di lapangan tidak menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya sentralisme yang memasung kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru senang, dan asal murid naik kelas, meski sesungguhnya mereka tidak layak mendapatkan itu semua.

Mengubah budaya ini merupakan keharusan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar