Kamis, 28 Februari 2013

Iklan Politik dan Dromologi


Iklan Politik dan Dromologi
Muhammadun Analis Studi Politik
pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Februari 2013


IKLAN politik sudah membanjiri industri media di Indonesia. Para kandidat, menjelang pemilu kepala daerah, menjadi saksi bahwa media dijadikan corong politik untuk mendulang suara yang maksimal. Siapa yang menguasai media, ia akan menjadi rebutan politik. Hary Tanoesoedibjo menjadi bukti. Pascamundur dari Partai NasDem, ia menjadi magnet yang diburu partai politik (parpol).

Ketika Hary Tanoe berlabuh ke Hanura, industri media yang dimilikinya akan dikerahkan secara maksimal untuk meningkatkan elektabilitas Hanura. Tahun politik 2013 akan menjadi pertaruhan media di tengah kontestasi politik.
Iklan politik yang hadir di media tertentu menjadi drama politik yang dimainkan untuk kepentingan sesaat: 2014.

Perkembangan industri media sekarang mengalami percepatan yang luar biasa. Sorotan media membuktikan bahwa media menjadi kekuatan politik yang sangat krusial untuk mengundang simpati dan mendulang citra. Media menjadi jala komunikasi yang siap `menyergap' para penikmat untuk `tergiur' oleh dunia pencitraan yang digebyarkan.

Sebagai lembaga penyiaran, media berperan sangat penting dalam membantu penciptaan bangsa yang maju dan beradab. Dengan mengandalkan tipologi teknologi yang terus melaju, media sering kali menampilkan fakta kehidupan yang provokatif. Berbeda dengan lainnya, media hadir lebih lugas dan bisa dinikmati dengan saksama. Akan tetapi, kecepatan arus informasi media di tengah godaan pragmatisme bisnis dan politik menjadikan media sering kali terjebak dalam hiperrealitas media.

Jean Baudrillard dalam Simulations (1983) menjelaskan hiperrealitas media ialah perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan, kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran, isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas (Yasraf: 2006, 222).

Berkembangnya hiperrealitas media sangat terlihat dalam gelanggang dunia politik di Indonesia. Pencitraan politik dalam media hadir dengan penuh serba-serbi, makin menguatnya quick count, dan sajian kampanye yang serbamanis. Semua menjadi kamuflase yang disebarkan dalam berbagai tayangan televisi. Publik terjebak dengan penuh takjub melihat adegan politik yang disajikan kaum elite. Berbagai kepalsuan menjelma menjadi isu yang dikonsumsi tanpa henti. Kebenaran justru semakin tertutupi karena bisa membuat malapetaka.

Citra Palsu

Coba kita lihat kasus-kasus korupsi, bencana lumpur Lapindo, dan kasus tendertender besar. Semua dicitrakan penuh kepalsuan. Pengungkapan kebenaran dibatasi dan keberanian membongkar fakta sebenar nya juga semakin ciut nyalinya. Sementara itu, kepalsuan yang hadir dari berbagai elite politik ditayangkan sedemikian rupa, simulasi bisnis berbagai merek tayang penuh sensasi, reality show hanya mengumbar gaya hidup yang absurd. Iring-iringan hiperrealitas menyebarkan berjuta kepalsuan informasi dan menebarkan berjuta kesemuan citra. Terjadi lah pemutarbalikan tanda dalam semiotika politik (pseudosign), terjadi penjungkirbalikan makna semantik politik (pseudo meaning), dan terjadi penciptaan kesadaran semu politik (false conscious ness).

Objektivitas dan kredibilitas informasi yang disajikan televisi telah menciptakan disinformasi yang penuh ketidakpastian. Realitas yang disajikan sudah tidak mempunyai basis objektivitas karena setting politik telah menciptakan ruang gerak kepalsuan yang bergerak semaunya. Data publik, angka statistik, hasil pemilu, angka korupsi, skandal kuasa, dan sebagainya telah kehilangan kredibilitas karena topeng kepalsuan tidak menggambarkan realitas sosial yang sesungguhnya.

Disinformasi itu juga mengakibatkan depolitisasi. Depolitisasi bisa dilihat dari berbagai janji politik yang disajikan di media hanyalah untuk mendulang suara. Itu bukan sebagai iktikad baik untuk membangun Indonesia, melainkan jabatan dan kekuasaan yang ingin direngkuh. Diskusi dan seminar dalam skala nasional hanyalah menyajikan data kepalsuan dan iktikad yang absurd untuk memperbaiki bangsa. Kajian kemiskinan hanya menjadi proposal kekuasaan.

Diskusi pengangguran hanya untuk meraih simpati kaum buruh. Depolitisasi terjadi penuh dengan keganjilan.

Karena kepalsuan informasi diproduksi berjutajuta tanpa henti, lahirlah banalitas informasi. Di dalam banalitas informasi, Jean Baudrillard dalam In The Shadow of the Silent Majorities (1983) menjelaskan apa pun diubah menjadi informasi, menjadi tontonan, menjadi berita, dan menjadi data. Tak peduli betapa banalnya berita itu, ia tetap menjadi subjek informasi. Massa publik yang dikepung berjuta-juta tanda dan citra tidak mampu lagi menginternalisasikan dan m enyubli masikan makna yang dihasilkannya (Yasraf: 224).

Dromologi

Kecepatan teknologi informasi yang dimainkan media telah menjadikan fakta baru bernama dromologi politik. Paul Virilio dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geo-politics) telah diambil alih oleh semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam sebuah mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).

Dromologi media dalam gelanggang politik, bagi Yasraf (2006), pada kenyataannya tidak mampu meningkatkan kualitas dan nilai-nilai luhur politik, bahkan semakin menghancurkannya. Manusia politik berubah menjadi homo-animalis atau homo-criminalis, yang melakukan berbagai tindak tak manusiawi, kekerasan, dan kejahatan dalam rangka kekuasaan ekonomi-politik mereka. Dalam titik tersebut, manusia politik justru telah menghancurkan politik itu sendiri (prinsip, kualitas, nilai, dan makna).

Mereka gagal mencipta homo-humanis, yakni manusia politik yang di dalam setiap aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaannya serta mampu mengangkat harkat manusia itu sendiri pada posisi yang lebih tinggi. Saatnya film kembali kepada khitahnya dalam rangka ajang kreativitas kebudayaan dan sarana pendidikan serta pencerdasan warga. Di sinilah peran menciptakan homohumanis bisa dijalankan dengan baik.

Apa pun peran politik dan peran bisnis yang dimainkan, kalau komitmen mencipta homo-humanis selalu terjaga, peran politik dan peran bisnis serta peran edukatif bisa menjadi jembatan emas dalam merealisasikan tujuan luhur yang akan dicapai. Perkembangan informasi yang semakin cepat menuntut penciptaan homo-humanis juga semakin cepat dan akurat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar