Rabu, 27 Februari 2013

Konflik Papua, Presiden Salah!


Konflik Papua, Presiden Salah!
Natalius Pigai Komisioner/Koordinator Subkomisi Pemantauan
dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM RI
SINAR HARAPAN, 26 Februari 2013


Kematian delapan prajurit TNI dan empat warga sipil di Puncak Jaya cukup menggetarkan kita semua. Bahkan dengan kejadian ini menunjukkan bahwa konflik di Papua masih belum berakhir dan berlarut-larut, serta tidak ada titik temunya.

Saya sendiri cukup prihatin dengan kematian prajurit yang bertugas di daerah konflik dan rakyat sipil yang meninggal sia-sia. Karena itu pada konferensi pers di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (22/2) kemarin, secara tegas dan jelas saya sampaikan bahwa konflik Papua yang tidak pasti ini merupakan kesalahan presiden sebagai kepala negara dan panglima tertinggi.

Andai saja penempatan jumlah pasukan yang diperkirakan mencapai 12.000-16.000 dan 200 intelijen di atas jika didahului dengan audit manajemen keamanan nasional (termasuk Papua) tentu tidak mungkin korban prajurit dalam jumlah yang banyak sebesar ini.

Audit Manajemen Keamanan di Papua sangat penting untuk memutus rentang antara kuantitas prajurit dan kualitas prajurit tetap terjaga sehingga keamanannya menjadi efektif. Pertanyaannya adalah mengapa presiden tidak mau audit kemanan?

Saya menduga presiden kurang berani atau juga mungkin merasa dirinya hilang kewibaan di hadapan stafnya: Menko Polkam, Menteri Pertahanan, Panglima TNI dan Kapolri. Padahal jika kita melihat institusi TNI dan Polri selama 10 tahun terakhir sangat responsif dengan irama reformasi dibandingkan dengan institusi sipil (kementerian, atau LPND dan BUMN sebagai lembaga-lembaga milik negara) yang mandek.

Pada masa yang akan datang, bagaimana menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh atas dasar perdamaian abadi dan kemanusian yang adil dan beradab, tentu tentu berpulang pada presiden sebagai kepala negara. Harapan demi harapan telah Presiden SBY sampaikan selama menjabat kurang lebih delapan tahun ini, terakhir saat pidato kenegaraan presiden 17 Agustus 2012 dengan menyatakan bahwa: “kita selesaikan masalah Papua dengan hati”.

Secara simbolis kata-kata ini cukup menyejukkan perasaan rakyat Papua dan aktivis kemanusiaan, juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Namun dengan melihat ekskalasi konflik yang makin membara tentu saja secara substansial tidak mengalami perubahan signifikan terhadap kondisi Papua.

Pada saat ini rakyat sedang menagih janji presiden di hadapan rakyat Indonesia, juga di hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang diungkapkan di depan perlemen kita yang terhormat. Seorang pemimpin harus teguh pada prinsip dan konsisten antara tutur kata dan perbuatan, voice of accountability, tiap kata dapat dikuntifikasi dan dihitung. Itulah letak dan titik puncak kewibaan seorang pemimpin.

Saya apresiasi Bapak Menkopolkan, terakhir kami dua berkomunikasi dua hari yang lalu. Beliau juga ingin melakukan berbagai upaya penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh tentu juga dengan mendengarkan masukan dari Komnas HAM tentang penyelesaian konflik Papua dengan memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) dan ingin menyelesaikan masalah 11 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampai saat ini masih belum ditindaklanjuti oleh pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung.

Pernyataan pers presiden bahwa “ingin menciptakan perdamaian abadi”, saya maknai sebagai sekadar menjawab kritikan cukup tajam yang saya sampaikan dalam beberapa hari terakhir ini, termasuk melalui Menko Polkam Bapak Djoko Suyanto.

Namun kita juga beri harapan kepada presiden agar kata-kata tersebut tidak hanya sebagai ungkapan simbol empati atas berbagai kondisi di Papua, namun harus dilaksanakan secara konkret dengan langkah-langkah penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh.

Dalam perspektif Komnas HAM, ada beberapa kerangka penyelesaian yang perlu dilakukan; 1) penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Papua; Peristiwa Wasior, Wamena, Abepura yang saat ini masih di ranah pemerintah. 2) Penyelidikan secara tuntas pelanggaran HAM yang menjadi memori buruk bagi orang Papua, yakni Pembunuhan Arnold Ap, Dr Thomas Wappay Wanggai, Mako Tabuni, dan peristiwa dom Papua. 3) Perhatian bagi tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol) yang saat ini ada di berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia khususnya (kenyamanan, kesehatan, dan amnesti bagi mereka); 4) TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata harus berdialog bersama agar konflik di antara mereka tidak merembes ke masyarakat lokal yang tidak berdosa. 5) Perlunya dialog agar tercipta prakondisi dengan kebijakan desekuritisasi sebelum dialog menyeluruh yang digagas oleh berbagai Tokoh, baik Jakarta maupun Papua dilakukan.

Usaha-usaha ini juga sedang disiapkan oleh Komnas HAM yang akan berkerja dalam kerangka kerja Tim Penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, diharapkan agar semua pihak dapat berpartisipasi dalam penyelesaian masalah Papua ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar