Selasa, 26 Februari 2013

KPK di Lisan Anas


KPK di Lisan Anas
Reza Indragiri Amriel Pengajar Psikologi Forensik,
Anggota World Society of Victimology
JAWA POS, 25 Februari 2013


SIAPA PUN yang menyaksikan pidato pernyataan berhenti Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum Partai Demokrat (PD) pada Sabtu (23/3) sangat mungkin bersepakat bahwa Anas adalah pembicara publik yang mengagumkan. Tanpa naskah, tanpa cue card, tanpa teleprompter,  pilihan kata dan urutan kalimat Anas sangat jitu dan rapi (teksnya dimuat lengkap Jawa Pos kemarin).

Dalam substansi pidatonya, terdapat dua penilaian yang sebenarnya kontradiktif terhadap KPK. Awalnya, Anas menggunakan tiga kata sifat untuk menunjukkan kepercayaannya pada profesionalitas KPK. Yaitu, KPK akan mengusut keterlibatan kasus Hambalang secara ''adil, objektif, dan transparan''. Namun, pada bagian berikutnya, Anas mengungkapkan keyakinannya bahwa perkembangan situasi, yakni dia lantas dijadikan tersangka oleh KPK, adalah didorong oleh desakan pihak tertentu agar status Anas segera diperjelas serta setelah pihak yang sama memberikan kesempatan kepada Anas untuk berfokus pada masalah hukumnya di KPK.

Anas, berdasar penuturannya, sudah menduga meningkatnya status hukum dirinya di KPK. Itu, bisa dibayangkan, terasa memberatkan. Tapi, momen yang kiranya membuat Anas paling terpukul justru bukan langkah hukum KPK. Melainkan, tindakan atau sanksi sosial yang diterima Anas beberapa hari sebelumnya dari jajaran puncak kelompok sosial yang terdekat dengan dirinya.

Menurut pakar psikologi Albert Bandura, sebagai alternatif terhadap sanksi hukum yang kerap tidak efektif, sanksi sosial bisa menjadi ganjaran yang guncangannya tak terperikan. Bagi Anas selaku aktivis dengan jam terbang tinggi di keorganisasian, pengucilan ''halus'' oleh kelompok sosialnya jelas merupakan godam yang menyakitkan.

Sensasi yang tidak menyenangkan tersebut, disayangkan, memengaruhi affect  bias pada diri Anas. Affect bias adalah kecenderungan manusia untuk membuat penilaian berdasar perasaan senang maupun tidak senang terhadap suatu objek. Anggapan Anas bahwa langkah KPK memiliki mata rantai dengan pengucilan dirinya oleh kelompoknya merupakan perwujudan affect bias  tersebut.

Perasaan gundah yang begitu hebat menghalangi Anas untuk berpikir secara lebih menyeluruh guna menemukan nalar lebih logis di balik penetapan dirinya selaku tersangka Hambalang. Anas menarik kesimpulan terlalu sederhana yang menurut terma psikologinya disebut jalan pintas mental (mental shortcut).

Berpikir jalan pintas, yang dalam konteks Anas berupa affect bias, merupakan cara klasik bagi individu mana pun yang harus memahami dunia selekas mungkin namun dalam situasi yang tak menentu. Surat perintah penyidikan yang bocor, pemberian status tersangka oleh KPK, dan diperetelinya wibawa Anas selaku orang nomor satu di organisasinya belum tentu berkaitan secara linear, tapi karena pada saat yang sama Anas harus membangun pemahaman yang ''utuh dan akurat'' tentang situasi yang tengah dia hadapi. Pemahaman itu pun harus menguntungkan dirinya serta didorong oleh faktor perasaan negatif.

Anas pun terperangkap dalam keterbatasan kognitifnya sendiri. Keterbatasan yang sesungguhnya sangat manusiawi. Wujud nyatanya adalah penilaian bahwa KPK, di mata Anas, tidak berdaulat dari tekanan kekuasaan. Apa boleh buat, saat terdesak, seorang politikus terdidik sekaliber Anas pun akhirnya tetap berlindung di balik ''teori'' konspirasi.

Pemunculan affect bias dalam penarikan kesimpulan tentang langkah KPK menjadikan Anas senada seirama dengan para tersangka dan terpidana korupsi lainnya. Sejajar di sini tak berarti Anas pasti bersalah dalam kasus Hambalang. Melainkan, Anas yang secara umum tampak matang pada saat berpidato ternyata tetap mendemonstrasikan ironi viktimisasi seperti yang lazim diperagakan mereka yang mengenakan jaket putih KPK. 

Memang tidak dengan mengekspos keluarga atau tampil mengenakan busana religius atau mendadak sakit untuk merebut simpati publik. Ironi viktimisasi ditampilkan Anas lewat pengambinghitaman pihak lain sebagai kalangan yang telah membuat dirinya sebagai orang bermasalah. Kalangan yang, menurut Anas, sejak dulu ingin menggusur dirinya selaku bayi yang tak dikehendaki dan kini menemukan momentum sempurnanya untuk membuang si jabang bayi.

Ironi itu pun sesungguhnya merupakan tendensi perilaku manusia: mengklaim diri sendiri sebagai aktor yang menciptakan situasi positif, namun berkelit dan menuding pihak lain sebagai pembuat masalah tatkala berhadapan dengan keadaan yang tidak diharapkan. Itu pulalah dalih kebanyakan orang pada fase-fase awal menjadi incaran hukum.

Anas bisa jadi memang tidak tahu apa dan bagaimana seluk-beluk Hambalang. Tidak menutup kemungkinan dia memang tidak bersalah dan hanya menjadi korban fitnah ''Sengkuni''. Atas dasar itulah, saya menyemangati Anas untuk menepati janji dengan habis-habisan membuka halaman demi halaman buku kisah di balik skandal Hambalang dan lainnya.

Dengan begitu, ini juga mendukung KPK. Institusi itu mempunyai catatan fantastis dan membanggakan, yakni sangat telak dalam menyusun setiap dakwaan, sehingga sulit lolos. Maka, kerja keras itu pula yang diharapkan dalam memproses Anas secara ''adil, objektif, dan transparan'' hingga ending. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar