Rabu, 27 Februari 2013

Melawan Kartel Pangan


Melawan Kartel Pangan
Toto Subandriyo Peminat Masalah Sosial-Ekonomi, 
Alumnus IPB dan Magister Manajemen UNSOED 
SINDO, 27 Februari 2013



Praktik kartel pangan di negeri ini semakin nyata dan menggurita. Korbannya bukan lagi rakyat jelata, melainkan sudah menyentuh kalangan elite politik. Sesuai dengan tabiatnya, kartel pangan ini selalu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. 

Membelit lingkaran kekuasaan merupakan jurus wajib yang harus dilakukan agar dapat menancapkan kuku-kuku pengaruh dan mempermudah segala urusan. Terkuaknya kasus dugaan suap terkait rekomendasi alokasi impor daging sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu mengamini keberadaannya. 

Para pelaku kartel (kartelis) selalu memainkan jurusjurus busuk, kongkalikong, patgulipat, dan hanky panky untuk memainkan harga berbagai kebutuhan pangan. Mulai dari beras,daging sapi,gula, minyak goreng, kedelai, dan berbagai kebutuhan pangan lain. Beberapa waktu lalu Kamar Dagang dan Industri Indonesia memperkirakan potensi kartel pangan di Indonesia mencapai Rp11,3 triliun per tahun dari total impor pangan sebesar Rp90 triliun. 

Praktik kartel menciptakan kegiatan ekonomi yang distortif, struktur pasar timpang, monopolistik, serta oligopolistik. Kartelis-kartelis inilah yang seringkali membuat bahan kebutuhan pokok langka dan harganya bergejolak tanpa penyebab yang jelas. Mekanisme pasar sering lumpuh, hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) tak berfungsi dengan baik. Gonjang-ganjing harga gula dan daging sapi merupakan dua contoh ulah para kartelis. 

Saat musim giling tahun lalu, ketika stok gula dalam negeri melimpah, harga gula meroket melampaui batas psikologis masyarakat. Kasus yang sama juga terjadi pada daging sapi. Menurut hitunghitungan di atas kertas, ketersediaan daging sapi yang berasal dari produksi dalam negeri dan dari impor sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kenyataannya, harga daging sapi melonjak tak terkendali sampai detik ini. 

Kondisi seperti ini jelasjelas merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja diciptakan sebagai bentuk pukulan balik (kick back) dari para kartelis terhadap kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi yang nyatanyata memangkas pendapatan mereka. Para kartelis tak peduli jeritan rakyat, hati nurani tak jadi ukuran, ukurannya adalah jumlah fulusyang dapat mereka keruk dari aktivitas ini. 

Tender Terbuka 

Penulis yakin praktik kartel di negeri ini bisa dilawan dan diberantas melalui mekanisme dan koridor hukum yang ada. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara jernih menegaskan “antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat”. 

Untuk menegakkan undang- undang tersebut telah lama dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tugas kita bersama adalah mendorong agar lembaga ini lebih serius mencurahkan energi dalam menegakkan aturan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara tegas, konsisten, serta tidak tebang pilih. 

Bagaimanapun praktik kartel pangan ini sangat potensial meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu pemerintah harus membuat regulasi yang mengatur jumlah importir produk pangan utama agar tidak terkonsentrasi hanya pada beberapa gelintir pengusaha. Mekanismenya harus melalui tender terbuka.Kalaupun melalui pembagian kuota, harus dilakukan secara transparan sehingga sangat akuntabel.

Caracara seperti ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Praktik kartel dapat dilawan jika negara mempunyai lembaga otoritas pangan yang kuat, profesional, dan independen. Sungguh merupakan ide yang cerdas mengembalikan peran dan fungsi Bulog sebagai stabilisator harga kebutuhan pangan strategis seperti sebelum lembaga ini dikebiri Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. 

Selain beras, Bulog juga harus diberi kewenangan mengatur kebutuhan pangan strategis lain di antaranya daging sapi, gula, minyak goreng, dan kedelai. Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang merupakan revisi Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 telah mengamanatkan perlunya dibentuk Badan Otoritas Pangan (BOP) yang langsung berada di bawah presiden. Ditinjau dari berbagai segi, sepertinya saat ini tidak ada lembaga yang lebih pantas untuk menerima mandat sebagai BOP itu selain Perum Bulog. 

Lembaga ini telah berpengalaman dan memiliki sarana prasarana serta jaringan luas dalam pengadaan, penyimpanan, dan distribusi pangan. Jurus-jurus para kartelis pangan dapat dengan mudah dilumpuhkan jika Bulog ditetapkan menjadi BOP. Melalui penguatan jaringan dengan para pelaku usaha mikro, kecil,menengah,dan koperasi, bangsa ini akan mampu melawan belenggu kartel. Kita tak bisa memungkiri bahwa Bulog pada masa lalu punya banyak noda.

Mengingat track record yang kurang menggembirakan itu,ke depan prinsip good corporate governance harus ditanamkan betul pada manajemen Bulog. Jika hal itu yang dilakukan, keberadaan Bulog akan lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Untuk tujuan tersebut, Bulog harus menjadi lembaga independen, dijauhkan dari intervensi partai politik yang akan menjadikannya sebagai mesin uang. 

Agar Bulog mampu memerankan diri sebagai lembaga stabilisator harga yang kuat, dukungan politik dari legislatif dan eksekutif sangat dibutuhkan. Lembaga ini perlu diberi hak-hak istimewa seperti hak untuk mengimpor komoditas pangan dengan persentase yang lebih besar dibanding pelaku pasar lainnya. Dengan hak istimewa ini, Bulog akan mampu melawan dominasi para “naga” dan “samurai” yang telah menguasai mata rantai perdagangan pangan dari sentra produksi hingga pasar ritel. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar