Rabu, 27 Februari 2013

Mengamati India


Mengamati India
Dinna Wisnu Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
SINDO, 27 Februari 2013



Pagi itu masih gelap, baru pukul 2.30, ketika saya dan dua rekan dari Institut Pertanian Bogor tiba di bandar udara internasional Indira Gandhi di New Delhi, India. Bandara itu begitu luas, megah, dan modern.

Desain dan fasilitasnya tak kalah dengan bandara sekelasnya di Asia. Di sana sini dipajang tulisan yang membanggakan bandara ini sebagai bandara terbaik nomor dua di Asia. Menurut data, bandara ini melayani sekitar 16,5 juta penumpang per tahun. Sebenarnya ini jumlah yang relatif kecil dibandingkan Bandara Soekarno- Hatta yang melayani 22 juta penumpang per tahun, atau Changi di Singapura yang melayani 44 juta penumpang per tahun. 

Dengan fasilitas yang ada, India sebenarnya bisa melayani jumlah penumpang yang jauh lebih besar. Meskipun pertumbuhan ekonomi India termasuk yang cukup pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun ini, belum banyak orang yang menganggap negeri ini sebagai tempat wisata, berbisnis, atau meneruskan pendidikan tinggi. Mungkin karena itu pula, volume pengunjung dari luar negeri belum terlihat memadati bandara itu. 

Undangan yang sampai ke meja saya dan rekan-rekan saya tadi dilatarbelakangi oleh semangat pemerintah dan masyarakat India untuk keluar dari citra lama negeri ini yakni yang kerap digambarkan seperti gajah gemuk yang bergerak sangat lamban. Suasana di bandara tadi menggambarkan langkah perubahan itu. Lamban? Maklumlah, karena dalam sejarah, India memang bukan negara yang terbiasa untuk membuka diri seluasluasnya pada pengaruh asing. 

Dari segi ideologi,memang kini ada ragam ideologi yang hidup dalam partai-partai politik yang bertarung dalam pemilu di sana, dari yang sosialis (seperti partai Congress) sampai yang belakangan ini sangat gencar mempromosikan ide liberalisasi ekonomi (yakni partai BJP alias Bharatiya Janata Party).Tapi, realitanya ada nilai-nilai sosial yang mereka pegang kuat sampai sekarang yakni ketaatan pada tradisi agama dan adat serta juga ajaran Gandhi dan Nehru yang mengutamakan kesederhanaan dan kemanusiaan. 

Berjalan di New Delhi yang katanya sudah termasuk paling modern dibandingkan kotakota lain di India, hampir tak terlihat dominasi mal atau pusat perbelanjaan berlogo perusahaan asing. Yang ada adalah kumpulan pedagang kaki lima, rangkaian toko yang relatif besar di bangunan tua, atau rangkaian toko kecil di bangunan baru yang baru setengah jadi di pinggir jalan yang berdebu karena telah berbulan-bulan belum usai jua pembangunannya.

Di sana berkembang juga gerai makanan siap saji seperti McDonald atau KFC walau pada awal 1990-an meluas protes keras atas kehadiran perusahaan asing macam ini.Menu gerai mereka pun disesuaikan dengan diet nondaging sapi dan kegemaran masyarakat India pada bumbu kari. Namun, keseharian masyarakat India bukanlah pelahap makanan ala Barat macam itu. Menyusul krisis ekonomi 2008,saat ini rata-rata masyarakat India merasakan penurunan daya beli akibat mata uangnya yang melemah. 

Yang pertama-tama mereka “potong” adalah kebiasaan jajan di restoran. Dari segi penampilan, ratarata masyarakat hidup dengan sangat sederhana. Boleh dikatakan, India sangat apa adanya. Di perempatan jalan utama, dapat kita saksikan para tunawisma yang tidur beralas kasur lusuh serta tali-tali jemuran yang memanfaatkan tonggak hiasan kota.Menurut pejabat yang saya tanyakan, Pemerintah India memang terganggu dengan pemandangan macam itu.

Karena belum bisa memberi solusi yang permanen untuk masalah kemiskinan, biarlah si miskin memanfaatkan fasilitas umum yang ada saja.Selain itu, nyaris tidak saya temui orangorang yang berpenampilan glamor dalam keseharian di sana.Semua berpakaian serupa dan bersahaja. Rata-rata kendaraan yang hilir mudik adalah bus, taksi, bajai, dan kendaraan- kendaraan pribadi yang rata-rata ber-cc kecil. Bayangkan, sulit bagi mereka untuk saling kebut-kebutan bukan? Kalaupun mereka saling kebut, suasananya sungguh mirip yang sering kita saksikan di pentas Bollywood. 

Mereka saling sodok, bahkan bertabrakan, tapi selesai mengangkat bahu, berlalulah semua itu. Jalanan yang paling ramai pun ternyata tidak sampai macet total pada jam-jam sibuk. Masyarakat berbondong memadati kereta api yang memang menjangkau berbagai wilayah dan kota di pelosok India. Yang menarik,kesederhanaan tersebut berpadu dengan otak yang cerdas dan rasa ingin tahu yang besar pada ilmu. 

Tempat paling menarik di India ternyata adalah toko buku. Dalam ruang yang sempit, berjejer buku-buku terkini dengan ragam topik dari berbagai penjuru dunia. Bukubuku terbitan asing yang ditulis oleh ekonom atau tokoh ternama, yang biasanya hardcover dan mahal, di India bisa didapatkan dalam bentuk softcoverdengan ukuran lebih kecil dan jenis kertas yang lebih murah.Harganya pun hanya sepertiga harga aslinya.

Semuanya sah karena rupanya ada kerja sama antara penerbitan di India dan para penerbit asing agar distribusi ke pasar India tetap dipegang penerbitan lokal.Serunya,para penjaga toko buku ternyata rajin membaca deretan buku-buku itu! Beda betul suasananya dengan toko buku di Indonesia. Saya kaitkan ini dengan agenda kedatangan saya ke India. 

Dalam bidang luar negeri, tahun ini merupakan tahun kelima mereka mensponsori Delhi Dialog, yakni forum diplomasi track 1.5 yang melibatkan dialog antarpejabat negara di bidang luar negeri dan kerja sama regional (ASEAN) dengan para akademisi dan peneliti dalam membahas isuisu strategis bagi pengembangan kerja sama India dengan ASEAN. Media massa berjejal di baris belakang, mengabadikan tiap perkembangan dan dari berbagai sudut. 

Jadi, yang istimewa di sini adalah bahwa tahun ini, India makin menunjukkan keseriusannya untuk menembus lapisan-lapisan “pertahanan” Asia Tenggara. Rata-rata penduduk Asia Tenggara boleh dikatakan masih memandang sebelah mata pada India,dan India mau mengubah itu semua. Kepada masyarakatnya, Pemerintah India pun menegaskan bahwa jalur perekonomian dan kerja sama industri (termasuk agrobisnis dan energi) yang strategis adalah dengan Asia Tenggara. 

Itu sebabnya mereka mendesak universitas-universitas mereka untuk membuka diri pada mahasiswa dari Asia Tenggara. Pemerintah India bahkan menyodorkan paket-paket beasiswa untuk menarik universitas di India maupun ASEAN. Singkat kata,jika pada 2011 saya pernah menulis di koran SINDO bahwa India ingin semakin dekat pada ASEAN. Dalam kurun waktu relatif singkat, mereka membuktikan kegigihan niatnya itu.

Pada 20- 21 Desember 2012, India berhasil mengumpulkan kepalakepala pemerintahan ASEAN untuk menandatangani Kerangka Kerja Sama Strategis. Tahun ini mereka masuk ke jantung permasalahan. Kepentingan mereka adalah ketahanan pangan, pasar energi, perluasan konektivitas Asia Tenggara dengan daratan India lewat Indo-China dan kerja sama maritim serta pembukaan pelabuhan-pelabuhan di sisi Timur India. 

Jepang segera menanggapi hal ini dengan menawarkan bantuan dan ide pembangunan jalan raya serta jalur kereta api yang menjangkau pelosok India. Di mana posisi Indonesia dalam hal ini? India paham betul bahwa mereka sudah punya cukup modal untuk merambah pasar baru di Asia Tenggara. Saya pun yakin mereka bisa berhasil karena niat pemerintah dan para akademisi di sana cukup bulat dan terpadu.Kompetensinya pun ada.Justru ada kegamangan karena Pemerintah Indonesia masih terlihat wait and see. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar