Rabu, 27 Februari 2013

Papua dan Kekerasan Politik


Papua dan Kekerasan Politik
Adriana Elisabeth Ketua Tim Kajian Papua
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
MEDIA INDONESIA, 26 Februari 2013

INSIDEN penembakan di Puncak Jaya, Papua, beberapa hari lalu, kembali menjadi topik hangat. Apakah perhatian publik kali ini disebabkan kasus itu merupakan kasus pertama yang telah merenggut nyawa manusia paling banyak, yakni tewasnya 8 anggota TNI dan 2 warga sipil? Bahkan pada waktu evakuasi korban coba dilakukan, helikopter M17 kembali ditembaki, yang mengakibatkan tiga awak tertembak sehingga evakuasi batal dijalankan.

Apakah itu merupakan kejadian acak ataupun strategi ‘baru’ kelompok masyarakat sipil bersenjata di Papua untuk mencari perhatian otoritas yang berkuasa? Berbagai spekulasi itu tidak dapat dijawab sampai pihak yang berwenang mengusut tuntas dan mengumumkannya secara resmi kepada publik.

Meski demikian, di dalam buku Papua Road Map (PRM) yang ditulis pada akhir 2008 dan diluncurkan pada awal 2009, para peneliti Tim Papua LIPI telah menjelaskan empat isu utama di dalam konflik vertikal antara Jakarta dan
Papua.

Pertama, masalah marginalisasi terhadap orang asli Papua dan efek diskriminasi yang ditimbulkan karena kebijakan yang ambigu.

Kedua, kegagalan pembangunan karena implementasi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang tidak optimal, khususnya di empat sektor prioritas pembangunan, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.

Ketiga, kekerasan negara dan pelanggaran HAM di masa lalu. Keempat, masalah sejarah dan status politik di Papua.

Kemudian pada 17 Desember 2012, Tim Kajian Papua LIPI mencatat sepanjang tahun itu, Papua masih diwarnai dengan kekerasan politik, baik yang dilakukan aparat keamanan, masyara kat sipil bersenjata, maupun antarpendukung calon kepala daerah di dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) langsung.

Merujuk ke PRM dan catatan akhir 2012 dari LIPI, kekerasan di Papua memang bukan masalah baru. Namun, insiden terakhir di Papua membuktikan siklus kekerasan di Papua memang belum bisa diakhiri, bahkan tidak ada pihak yang dapat menjamin kapan kekerasan di Papua akan berakhir. Kapan Papua akan menjadi daerah yang aman dan damai? Itu sebagian pandangan pesimistis mengenai masa depan Papua, how to secure the future of Papua?

Masa depan Papua ditentukan perbaikan kesejahteraan fisik dan nonfisik. Kesejahteraan fisik mencakup, antara lain, peningkatan pelayanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. Kese jahteraan nonfisik meliputi penghentian kekerasan dan perbaikan komunikasi politik ataupun dialog.

Tujuan utama komunikasi politik antara Jakarta dan Papua bukan untuk mempertegas dikotomi di antara keduanya, melainkan untuk mengurangi kesalahpahaman serta perbedaan pemahaman dan pandangan mengenai akar masalah di Papua, juga kesenjangan nilai.

Perdamaian di Papua bukan hal yang mustahil. Kalau tercipta perdamaian, yang paling beruntung adalah masyarakat yang hidup di Papua meskipun hal itu otomatis menjadi ‘kemenangan’ pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan fisik dan nonfisik bagi masyarakat di wilayah itu.

Tekad untuk menciptakan perdamaian di Papua harus dilandasi kesadaran pemerintah dan masyarakat bahwa Papua adalah Indonesia yang harus dibangun setara dengan daerah lainnya. Tanpa kesadaran tersebut, upaya membangun perdamaian di Papua hanya merupakan sebuah reaksi sesaat yang melemahkan legitimasi pemerintah atas setiap keputusan dan kebijakan politik yang ditujukan untuk perbaikan di Papua.

Demikian pula, tanpa kesadaran Papua untuk menerima kenyataan bahwa dia merupakan bagian dari Indonesia, kemajuan Papua akan semakin lamban.
Tanpa kesadaran Papua untuk menerima kenyataan bahwa dia merupakan bagian dari Indonesia, kemajuan Papua akan semakin lamban. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar