Minggu, 24 Februari 2013

Paten dan Pengembangan Mobil Listrik


Paten dan Pengembangan Mobil Listrik
Sabartua Tampubolon Kabid Masyarakat,
Asdep Kekayaan Intelektual dan Standardisasi Iptek, Kemenristek
MEDIA INDONESIA, 23 Februari 2013


KECELAKAAN mobil listrik Tuxuci yang sedang dikendarai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan di lereng Gunung Lawu, Magetan, pada Sabtu (5/1) lalu masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Terlepas dari kontroversi di seputar kecelakaan tersebut, salah satu hal yang menarik berkaitan dalam hal ini ialah dugaan pencurian teknologi yang sempat disangkakan oleh pembuatnya, meski kemudian dibantah oleh Menteri Dahlan Iskan.

‘Pencurian teknologi’, entah itu mobil listrik ataupun invensi lainnya, sering dihubungkan orang dengan hak kekayaan intelektual (HKI). Tulisan ini merupakan elaborasi terhadap isu tersebut, terutama paten yang berkaitan erat dengan pengembangan mobil listrik sebagai salah satu teknologi yang diharapkan menjadi solusi alternatif untuk mengatasi persoalan makin terbatasnya sumber daya energi di dalam negeri.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) urgensi pentingnya mengelaborasi aspek HKI, khususnya paten dalam pengembangan mobil listrik. Pertama, kata kunci dalam pembahasan mobil listrik ialah teknologi. Dalam perspektif HKI yang diakui dan berlaku secara internasional, invensi yang berkaitan dengan teknologi dilindungi dengan sistem paten.

Pengakuan atas invensi suatu teknologi harus dilakukan dengan mendaftarkan patennya di instansi yang berwenang sebagai dasar pemberian hak eksklusif oleh negara kepada inventornya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Dalam kaitan ini, teknologi (termasuk mobil listrik) dapat dibagi dalam dua bagian besar, yaitu pertama, teknologi yang dilindungi dengan sistem paten, dan yang kedua, menyangkut keahlian (skill) dan keterampilan (technical know how) (Muchlinski, 2007).
Mengacu pada pembagian tersebut, `pencurian teknologi' seperti diduga oleh pembuat mobil listrik kepada tim bentukan Menteri Dahlan Iskan lebih mungkin pada pencurian dalam konteks yang terakhir, yaitu technical know how, bukan pada teknologi yang telah dilindungi dengan sistem paten.

Mencuri Teknologi

Modus pencurian dengan mempelajari keunggulan teknologi seperti ini banyak dilakukan oleh inventor di nega ra berkembang terhadap teknologi negara maju. Dalam hal ini, `pencuri' teknologi juga harus memiliki keahlian yang hampir setara dengan pemilik teknologi sebenarnya. Beberapa negara yang kemu dian berhasil maju di bidang teknologi melakukan `pencuri an teknologi' melalui apa yang disebut dengan politik teknologi mengejar ketertinggalan (catch up).

Hal ini seperti `halal' untuk dilakukan karena dalam praktiknya nyaris tidak ada proses alih teknologi, terutama dari negara maju ke negara berkembang yang dilakukan secara sukarela. Teknologi harus direbut atau dalam ungkapan yang lebih langsung dicuri Jepang, misalnya, pernah meramaikan dunia dengan resep curi teknologi (Achmad Zen Umar Purba, 2011).

Demikian juga China dan Korea yang kini sebagian produk teknologinya berhasil mendominasi pasar dunia, termasuk Indonesia. Lewat cara itu pula, negara-negara tersebut berhasil mencatatkan diri dalam jajaran 10 besar pemohon pendaftaran paten, termasuk di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Indonesia. Dalam beberapa bidang tertentu, mereka bahkan berhasil mengalahkan negara maju yang teknologinya `dicuri', termasuk dalam komponen teknologi mobil listrik yang kini didominasi oleh paten Jepang dan China.

Sayangnya modus itu tidak berhasil dipraktikkan oleh Indonesia. Alhasil, sampai saat ini, pertumbuhan paten yang berkaitan dengan teknologi ini berlangsung relatif lamban, sehingga pendaftaran paten domestik Indonesia masih tergolong rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negaranegara ASEAN sekalipun.

Berbasis Riset

Kedua, sebagai teknologi masa depan, pengembangan mobil listrik juga harus berbasis pada kegiatan riset yang harus dikembangkan secara memadai, terarah, dan berkelanjutan. Dalam skala riset, suatu teknologi sejatinya tidak berhenti pada prototipe saja, tetapi harus sampai pada pendaftaran paten, sebelum kemudian diproduksi/dikomersialkan atau masuk skala industri.

Secara teknologi, sistem mobil listrik terdiri dari tiga bagian besar, yaitu sistem kendali, penyimpanan energi, dan motor/power inverter. Tentu saja tidak harus semua komponen utama dalam mobil listrik ini dikuasai. Oleh karena itu, peneliti/perekayasa mobil listrik dalam negeri harus berhitung secara cermat, potensi dan kemampuan SDM yang dimiliki untuk memilih komponen mana yang harus di l akukan riset mendalam hingga memperoleh paten, dan komponen/teknologi mana yang mesti diimpor.

Berdasarkan data yang dimiliki penulis, belum terdapat pendaftaran paten yang signifikan dilakukan oleh lembaga riset termasuk perguruan tinggi berkaitan dengan teknologi mobil listrik ini. Dari penelusuran secara terbatas di Ditjen HKI, penulis hanya menemukan satu pendaftaran paten Marmut Listrik LIPI (Marlip) yang diajukan oleh LIPI.

Realitas itu tentu saja membuat risau, mengingat telah banyak lembaga riset dan perguruan tinggi yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan mobil listrik. Dalam catatan penulis, setidaknya ada dua lembaga riset besar yakni LIPI dan BPPT yang relatif sudah lama mengerjakan kegiatan riset di bidang ini. Di lingkungan perguruan tinggi, tercatat empat perguruan tinggi besar Indonesia yakni ITB, UI, ITS, dan UGM yang juga melakukan kegiatan serupa. Tak ketinggalan juga badan usaha seperti PT Pindad dan PT Inka, termasuk beberapa badan usaha perorangan.

Tercatat ada tiga orang inventor domestik yang mendaftarkan invensi yang berkaitan dengan bidang itu ke Ditjen HKI. Meskipun seperti halnya di lembaga riset di atas, paten tersebut belum diaplikasikan atau tidak berkaitan secara langsung dengan mobil-mobil listrik yang ada atau pernah diperkenalkan kepada masyarakat.
Ketiga, pentingnya mengedepankan paten dalam pengembangan mobil listrik juga erat kaitannya dengan aspek kemandirian bangsa.

Kepemilikan paten ini penting untuk membangun kebanggaan karena sejatinya ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian dari harkat dan martabat bangsa. Hal itu sekaligus untuk menepis anggapan bahwa mobil listrik yang dikembangkan hanya sekadar teknologi `rakitan'. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar